Jumat, 05 Mei 2017

Tugas Mata Kuliah Wariga



WARIGA
Dosen Pengampu : Drs. I Ketut Mardika, M.Si




Oleh :
I Nyoman Alit
14.1.1.1.1.115
PAH / B2 / VI Denpasar



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2017
Soal :
1)      Buat resume cerita, Makna dan Filosofi cerita wuku/ Mitologi wuku!
2)      Gambar tempat urip wewaran dalam bentuk pengider-ider!
Mengapa wewaran itu memiliki tempat dan urip apa dampaknya terhadap kehidupan manusia?
3)      Klasifikasikan wuku-wuku yang bisa digunakan sebagai pedewasaan!
Jawaban
1)      Resume Mitologi Wuku berdasarkan teks Lontar Medang Kemulan (Dinas Kebudayaan Bali halaman 5-14) dan teks Lontar Purwaning Watugunung (Dokumentasi Budaya Bali halaman 2-11) dijelaskan mengenai mitologi wuku yang menjadi dasar sistem pawukon.
Tersebutlah seorang Raja di Kundadwipa yang ernama Dang Hyang Kulagiri, Raja ini mempunyai dua orang permaisuri. Setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.
Setelah sekian lama sang raja bertapa, sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa). Kedua istri sang raja berangkat dari kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan  melahirkan. Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. Kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. dan karena bayinya lahir di atas batu, Dewa Brahma anugrahi nama I Watugunung. Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian kembali  Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka.
Setelah itu sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Heranlah kedua permaisuri  itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu kali  masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Pada suatu hari ibunya  sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya  seraya minta nasi untuk dimakan. Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya. Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya saja mengambill makanan, merampok terutama dalam hal  makanan, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Penduduk di  sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk. Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu, akhirnya  masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk  membunuh Watugunung.
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan  kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan  memukul dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut  yang kesemuanya tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan  mengobrak-abrik yang menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja sangat  marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung. Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang  sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan itu. Perang tanding itu  berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada akhirnya Raja Giriswara dapat  dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan kerajaan Emalaya.
Sang Watugunung melanjutkan  serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa. karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat itu. Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk kepada Watugunung.  Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang  lainnya dengan mudah dapat ditundukkan.
Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua Rajanya tunduk  kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya  menjadi jajahan sang Watugunung.  Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Setelah semua raja-raja itu tunduk, Watugunung melanjutkan serangannya untuk menyerang Kerajaan Kundadwipa yang dipimpin oleh dua orang raja yang sangat cantik yang bernama Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Sintakasih menyerah dalam 7 hari pertempuran dan Dewi Sanjiwartia menyerah dalam 1 hari pertempuran. Akhirnya kerajaan Kundadwipa dapat dikalahkan dan kedua raja perempuan itu dijadikan sebagai permaisuri.
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh  kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai  angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit.
Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini.
Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya.
Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).  Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu  Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang  ditujukan kepada sang Watugunung agar mati ditangan Dewa Wisnu.
Kedua Dewi menjadi amat sedih karena menikah dengan anak sendiri. Dalam kesempatan itu Dewi Sintakasih menyatakan bahwa dirinya sedang mengidam untuk menjadikan Dewi Sri (istri Dewa Wisnu) sebagai madu, Watugunung pun menyanggupinya.
Sang Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh. Watugunung masuk ke dalam tanah dan menemui Dewa Wisnu. Disana ia menyampaikan maksudnya untuk memperistri Dewi Sri. Dewa Wisnu amat murka dan terjadilah pertempuran dahsyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan garangnya.
Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api  berkobar-kobar menyala.
Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi),  atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya.
Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya.

Makna dalam cerita mitologi wuku adalah:
v  Mengajarkan manusia untuk tidak berbuat seperti Watugunung yang sifatnya tidak boleh ditiru karena sifat dari Prabu Watugunung yaitu tidak bakti dengan orang tua (durhaka) terutama ibunya. Selain itu Prabu Watugunung mengawini ibunya yang menyebabkan keletehan cuntaka bagi alam semesta ini dan sudah tentu melanggar ajaran agama Hindu.
v  Dalam cerita ini tersirat makna bahwa kita tidak boleh menganggap diri sakti yang melebihi kemahakuasaan Tuhan (Mambek Acintya).
v  Dalam cerita ini juga terkandung nilai Agama seperti Sad Ripu terutama Kama (Nafsu), Lobha (rakus), dan Mada (Mabuk) karena kesaktian.
v  Sapta Timira yaitu kasuran yang artinya mabuk karena kelebihan yang dimiliki dalam hal ini kesaktian Watugunung yang tak tertandingi mengakibatkan dirinya mabuk karena kesaktiannya itu.






Mengapa wewaran itu memiliki tempat dan urip serta apa dampaknya terhadap kehidupan manusia:
Dalam Lontar Bhagawan Garga lampiran 7-8 dijelaskan sebagai berikut :
Demikianlah tentang wewaran semuanya lahir dari yoganya Sang Hyang Ketu, begitu juga para Dewa ada karena Sang Hyang Ketu. Sedangkan Sang Hyang Rahu disusruh oleh beliau Sang Hyang Licin untuk mengadakan ciptaan yang memenuhi Trimandala, lalu beliau menjadi warga desa yang bertempat di arah Wayabya (Barat laut), tidak akan menyaingi keluarga desa di wayabya, bersinar seperti matahari sebanyak sepuluh ribu. Diperintahkannya semua para dewa dan wewaran untuk menyerang desa yang ada di wayabya, lalu  beliau Sang  Hyang  Sangkara berdiri (ada) di wayabya. Itu di adu oleh para kala melawan para dewa, Sang Hyang Rahu, Sang Hyang Ketu, sebagai pemimpin perang menyerbu seluruh warga yang ada di wayabya. Sangatlah seru pertempuran itu saling tusuk menusuk, panah memanah, semua mengeluarkan kesaktiannya, matilah kala semuanya, kehidupan kembali oleh Sang Hyang Adikala yang telah berhasil yoganya.
Selanjutnya setelah para kala hidup semuanya, lagi terjadi peperangan yang sangat dasyat, sehingga akibatnya banyak diantara dewa, wewaran terbunuh menjadi korban perang, tetapi akhirnya juga kembali dihidupkan. Oleh karena Kala dihidupkan hanya sekali saja, itulah sebabnya Sang Hyang Kala mempunyai hurip 1 (satu). Hyang Sangkara dibunuh oleh Kala Mretyu sekali, itulah sebabnya sehingga mempunyai urip 1 (satu). Batara Siwa dibunuh oleh Kala Ekadasabumi delapan kali, itu sebabnya Kliwon mempunyai urip 8 (delapan), Hyang Iswara dibunuh oleh Kala Sanjala lima kali, oleh karenanya Umanis mempunyai urip 5 (lima). Hyang Brahma terbunuh oleh Kala Wisesa sembilan kali, itulah sebabnya Pahing mempunyai urip 9 (sembilan), Hyang Mahadewa dibunuh oleh Kala Agung tujuh kali, karenanya Pon mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka empat kali, oleh karena itu Wage mempunyai urip 4 (empat). Demikian pula Saptawara, Hyang Aditya dibunuh oleh Kala Limut lima kali, karenanya Radite mempunyai urip 5 (lima). Hyang Candra terbunuh oleh Kala Angruda empat kali, karenanya Coma mempunyai urip 4 (empat). Sang Manggal dibunuh oleh Kala Enjer tiga kali, oleh sebab itu Anggara mempunyai urip 3 (tiga).sang Buda terbunuh oleh Kala Salongsongpati tujuh kali, karenanya Buda mempunyai urip 7 (tujuh). Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat delapan kali, itulah sebabnya Wraspati mempunyai urip 8 (delapan). Sang Hyang Kawia terbunuh oleh Kala Greha enam kali, oleh karenanya Sukra mempunyai urip 6 (enam), Dewi Sori terbunuh oleh Kala Telu sembilan kali, itulah sebabnya Saniscara mempunyai urip 9 (sembilan). Begitu pula Astawara, Hyang Giriputri dibunuh oleh Kala Luang enam kali, karenanya mempunyai urip 6 (enam), Hyang Guru dibunuh oleh Kala Durgastana delapan kali, oleh sebab itu Guru mempunyai urip 8 (delapan), Hyang Yama dibunuh oleh Kalantaka sembilan kali, karenanya Yama mempunyai urip 9 (sembilan). Hyang Rudra terbunuh oleh Kala Pundutan tiga kali, sehingga Ludra mempunyai urip 3 (tiga), Hyang Brahma dibunuh oleh Kala Agni tujuh kali, sehingga Brahma mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Kala terbunuh oleh Hyang Guru sekali, sehingga kala mempunyai urip 1 (satu). Hyang Mreta terbunuh oleh Kala Padumarana empat kali, sehingga Uma mempunyai urip 4 (empat). Lain lagi halnya Sangawara, Dangu terbunuh 5 kali. Jangur terbunuh 6 kali, Gigis terbunuh  8 kali, Nohan terbunh 1 kali (sekali). Ogan terbunuh 8 kali, Erangan terbunuh 3 kali, Urungan 7 kali. Tulus terbunuh 9 kali, Dadi terbunuh 4 kali. Itulah semuanya menjadi uripnya masing-masing. Mengenai Sadwara, Tungleh terbunuh 7 kali, Aryang terbunuh 6 kali, Urukung terbunuh 5 kali, Paniron terbunuh 8 kali, Was terbunuh 9 kali, Maulu terbunuh 3 kali Begitu pula halnya Caturwara, Hyang Angga terbunuh 4 kali, sehingga Sri mempunyai urip 4 (empat), Hyang Bayu terbunuh 5 kali, sehingga Laba mempunyai urip 5 (lima). Hyang Purusa dibunuh 9 kali, sehingga Jaya mempunyai urip 9 (sembilan), Hyang Kencanawidi terbunuh 7 kali, sehingga mandala mempunyai urip 7 (tujuh)
Demikian cerita kehidupan Wewaran berperang melawan Kala semuanya yang  akhirnya dihidupkan kembali oleh Hyang taya, itulah sebabnya semua wewaran mempunyai urip/neptu seperti telah tersebut di atas. Dari sinilah kiranya Padma Anglayang yang juga disebut dengan pengider-ngider, setiap arahnya mempunyai urip tertentu.  Sehubungan dengan terciptanya alam semesta yang keadaannya sudah stabil,  sempurna dan  sejahtera artinya masing-masing dari benda-benda alam (Brahmanda) telah berdiri sendiri-sendiri disebut dengan Swastika sebagai lambang suci agama Hindu.
Terutama para Dewata Nawa Sangga inilah diperintahkan oleh Sang Hyang Widhi untuk menjaga semua penjuru mata angin dunia supaya stabil dengan memiliki urip masing-masing seperti yang telah diuraikan dalam  Lontar Bhagawan garga seperti di bawah ini:
Sang Hyang Iswara melawan para Kala, beliau terbunuh oleh Kala Sanjaya 5 kali, tetapi dihidupkan 5 kali oleh Sang Hyang taya. Sang Iswara diperintahkan oleh Sang Hyang Widhi mengatur memimpin alam bagian Timur. Itulah sebabnya dalam pangider-ngider arah Timur mempunyai 5 (lima).
Sang Hyang Maheswara atau Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat 8 kali, dihidupkan oleh Sang Hyang Taya 8 kali, sehingga Sang Hyang Maheswara yang memimpin arah Tenggara mempunyai urip 8 (delapan)
 Sang Hyang Brahma terbunuh 9 kali oleh Kala Wiwesa, kemudian dihidupkan 9 kali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Hyang Brahma yang diperintahkan memimpin arah Selatan mempunyai urip 9 (sembilan).
Sang Hyang Rudra dibunuh 3 kali oleh Kala Pundutan dan dihidupkan juga 3 kali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Rudra memperoleh tugas dibagian Barat daya mempunyai urip 3 (tiga).
Sang Hyang Mahadewa dibunuh 7 kali oleh Kala Agung, tetapi dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 7 kali, sehingga Sang Hyang Mahadewa yang ditugaskan memimpin arah Barat mempunyai urip 7 (tujuh).
Sang Hyang Sangkara terbunuh oleh Kala Mretiu sekali, kemudian dihidupkan juga sekali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Sangkara yang ditugaskan memimpin arah Barat Laut mempunyai urip 1 (satu).
Sang Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka 4 kali, juga dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Wisnu yang ditugaskan menagtur atau memimpin arah Utara mempunyai urip 4 (empat).
Sang Hyang Sambhu atau Sang Hyang Kawia dibunuh oleh Kala Greha 6 kali kemudian dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 6 kali, sehingga Sang Hyang Sambhu yang ditugaskan memimpin arah Timur Laut mempunyai urip 6 (enam).
Sang Hyang Siwa terbunuh 8 kali oleh Kala Eka Dasabumi, dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 8 kali juga, sehingga Sang Hyang Siwayang ditugaskan di bagian Tengah sebagai proses mempunyai urip 8 (delapan).
Dari uarain diatas maka timbullah Padma Anglayangatau pangider-ngider yang menunjukkan setiap arah itu memiliki urip/neptu tertentu  dan akhirnya menjadi patokan yang nantinya diikuti oleh Wewaran maupun Wuku.
Dampaknya dalam kehidupan manusia yaitu:
Dapat Menentukan Sifat dan karakteristik dari manusia yang lahir pada wewaran tetentu dan menentukan baik buruknya pedewasan

3. Klasifikasi  wuku-wuku yang bisa digunakan padewasaan baik.
          Dalam Lontar Wariga Diwasa dijelaskan mengenai ketetapan ala/ayuning wuku. Wuku yang dapat digunakan sebagai Padewasan berdasarkan Teks Wariga Diwasa adalah sebagai berikut :
1.      Sinta
2.      Ukir
3.      Tolu
4.      Gumbreg
5.      Warigadean
6.      Julungwangi
7.      Kuningan
8.      Langkir
9.      Merakih
10.  Matal
11.  Dukut


1 komentar:

  1. suksma infonya jro mangku, smoga kedepan lebih banyak info yg bisa dibagi

    BalasHapus