CUNTAKA
Mata Kuliah
Acara III
Dosen : Drs. I
Nengah Sumantra, M.Ag
Oleh :
1.
I Nyoman Alit (14.1.1.1.1.115) (10)
2.
Komang Adi
Wijaksana (14.1.1.1.1.112) (11)
3.
Tiara Krisna
Widya Dharma (14.1.1.1.1.118)
(12)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2016
Kata Pengantar
Om Swastyastu
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan asung kerta
waranugrahanyalah penulis dapat menyelesaikan laporan persentasi tentang “Cuntaka”. Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Acara Agama Hindu I.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :
1.
Bapak Drs. I Nengah Sumantra, M.Ag., selaku Dosen Mata Kuliah.
2.
Orang tua kami yang telah membantu baik moril maupun materi
3. Rekan-rekan satu kelompok yang
telah membantu dalam penyusunan laporan ini
Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari Dosen mata kuliah guna
menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa
yang akan datang.
Om santih,
santih, santih, om
Denpasar, 4 Desember 2016
Penyusun
Daftar Isi
Kata
Pengantar.........................................................................................................i
Daftar
Isi..................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3 Tujuan penulisan................................................................................................2
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Cuntaka
.........................................................................................
3
2.2 Penyebab terjadinya cuntaka........................................................................... 5
2.3 Ruang Lingkup dan Batas waktu cuntaka ......................................................
7
2.4 Upacara dan Upakara pembersihan bagi yang
terkena cuntaka..................... 10
BAB III
Penutup
3.1 Simpulan........................................................................................................
18
3.2 Saran..............................................................................................................
18
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai umat manusia tentunya kita
tidak selalu bisa dalam keadaan bersih dan suci, namun ada saat – saat tertentu
dimana kita dinyatakan dalam keadaan kotor. Hal ini biasa dikenal dengan
sebutan Cuntaka oleh umat Hindu. Apabila dalam keadaan yang sedang kotor atau
tidak suci maka kita tidak diperbolehkan untuk bersembahyang di tempat suci
(Pura). Sampai pada batas waktu yang sudah ditentukan dan sudah mendapatkan
Tirtha Pebersihan barulah kita diperbolehkan untuk bersembahyang di Pura.
Namun, di antara daerah satu dengan
lainnya tentunnya memiliki perbedaan baik dari segi budaya dan tradisi. Begitu
pula dengan Cuntaka, pastinya antar daerah memiliki perbedaan. Perbedaannya
bisa berupa sebab – sebab terjadinya Cuntaka, lama waktu orang yang mengalami
Cuntaka tidak diperbolehkan ke Pura, maupun cara pebersihan dan penyucian orang
yang telah mengalami Cuntaka
Maka dalam hal ini penulis akan
membahas tentang Proses pelaksanaan
cuntaka dalam kehidupan beragama.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa
yang dimaksud dengan Cuntaka?
1.2.2 Apa saja penyebab
terjadinya Cuntaka?
1.2.3 Ruang Lingkup dan Batas Waktu Cuntaka?
1.2.4 Apa saja upacara dan upakara bagi orang yang
terkena cuntaka?
1.3
Tujuan Masalah
1.3.1 Untuk mengetahui
pengertian Cuntaka.
1.3.2 Untuk mengetahui
sebab – sebab terjadinya Cuntaka.
1.3.3 Untuk mengetahui cara
untuk membersihkan dan menyucikan kembali orang yang telah mengalami Cuntaka.
1.3.4 Untuk mengetahui upacara dan upakara yang digunakan
bagi orang yang terkena cuntaka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cuntaka
Istilah cuntaka mengandung suatu
pengertian mengenai suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu.
Kata cuntaka berasal dari bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) yang artinya suatu
keadaan tidak suci akibat dari suatu kematian. Berdasarkan atas pengertian
tersebut, berarti setiap kematian akan dapat menyebabkan keadaan cuntaka.
Kematian yang dimaksud dalam pengertian ini adalah akibat kematian manusia.
Sedangkan kematian bagi makhluk lain tidaklah menyebabkan cuntaka.
Di dalam lontar Çiwa Çasana ada
disebutkan istilah “cuntaka janma” yang berarti orang hina dalam kehidupannya.
Orang yang dipandang cuntaka janma di dalam lontar Çiwa Çasana adalah orang
yang dijadikan korban, orang yang diserahkan pada waktu upacara Sawa Wedhana
atau dalam upacara Asti. Dari sumber ini membawa pengertian bahwa cuntaka
mengandung pengertian yang cukup luas meliputi keadaan yang abstrak dan
relatif, karena masalah hina dan jelek serta kotor (cemer) adalah masalah nilai
yang tidak sama pada masing – masing orang.
Penerapannya dalam kehidupan sosial
masyarakat khususnya di Bali, kata cuntaka disamakan dengan kata “sebel”. Sebel
(dalam bahasa Bali) berarti berhalangan karena kematian, haid, halangan
keluarga, dan lain sebagainya.
Menurut pengertian kamus Kawi-Indonesia istilah
cuntaka berarti cemer (letuh). Berdasarkan keputusan pesamuhan agung PHDP Nomor
015/Tap/PA.PHDP/1984 dipergunakan istilah cuntaka untuk menyatakan suatu
keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal – hal lain yang
dipandang kotor. Dalam hal ini istilah cuntaka dan sebel diartikan sama sebagai
istilah untuk menyatakan suatu keadaan yang kotor secara spiritual baik karena
kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor oleh segi adat agama. Di
kalangan umat Hindu istilah cuntaka belum merata dikenal orang, yang populer
dipakai/dikenal di masyarakat adalah istilah sebel.
Dari
pengertian tersebut maka cuntaka dapat digolongkan menjadi 2 macam :
1. Cuntaka
karena diri sendiri adalah orang yang dalam keadaan kotor, sehingga tidak boleh
melakukan suatu upacara Agama dan memasuki tempat suci.
2. Cuntaka
yang disebabkan oleh orang lain adalah orang yang dalam hubungan duka karena
kematian, sehingga tidak boleh melakukan upacara keagamaan dan memasuki tempat
suci kecuali kegiatan yang ada hubungannya dengan upacara kematian tersebut.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa cuntaka
hanya disebabkan oleh keadaan manusia sendiri dan menurut pandangan manusia
sehingga ia disebut mengalami suatu kecuntakaan.
Tentang istilah kata “letuh” beberapa
sumber lontar tidak ada yang memberikan pengertian yang difinitif. Menurut
pandangan masyarakat, letuh adalah suatu keadaan kotor dalam pandangan agama
Hindu. Sesuatu yang dipandang letuh dihindari untuk dipakai di tempat – tempat
suci. Dalam uraian ini dapat dikemukakan sebagai contoh letuh :
1. Seperti
binatang peliharaan sapi, kerbau, kambing, babi, dan lain – lain tidak
dibenarkan untuk memasuki tempat suci kecuali pada waktu upacara, khusus
dipergunakan untuk kepentingan upacara.
2. Tumbuh –
tumbuhan dipandang letuh dan tidak bisa dipergunakan untuk kepentingan
kahyangan seperti tumbuh – tumbuhan yang hidup di kuburan, pohon – pohon yang
disambar petir, itu semuanya dipandang letuh.
3. Bunga –
bungaan yang dipandang letuh tak bisa dipergunakan untuk kepentingan
agama seperti bunga gemitir yang kemerah – merahan.
4. Manusia yang
mengalami masa cuntaka dipandang letuh sehingga tidak diperbolehkan untuk
mengikuti upacara keagamaan, kecuali untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Jadi keputusan Parisada Hindu Dharma
Pusat istilah cuntaka dan sebel dinyatakan sama dan dipakai untuk menyatakan
suatu keadaan yang letuh secara kerohaniaan yang diakibatkan oleh kematian
maupun hal – hal lain yang dipandang kotor (cemer) dari adat agama.
2.2 Sebab – Sebab
Cuntaka
Mengingat apapun yang terjadi di dunia ini
adalah karena hubungan sebab akibat. Hukum sebab akibat inilah yang
mempengaruhi kehidupan di alam ini. Atas kenyataan ini cuntaka pasti ada
penyebabnya. Secara keseluruhan penyebab cuntaka dalam kehidupan spiritual
masyarakat Hindu dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.
Cuntaka yang disebabkan
oleh orang lain yaitu karena akibat kematian. Batas waktunya yaitu disesuaikan
dengan loka dresta dan sastra dresta.
2.
Cuntaka yang disebabkan
oleh diri sendiri, antara lain sebagai berikut :
a.
Akibat keguguran
kandungan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.
Keguguran kandungan
pada umur kandungan di bawah 6 bulan termasuk dalam cuntaka karena haid.
2.
Keguguran
kandungan di atas umur enam bulan dianggap sudah berupa bayi, maka berlaku
cuntaka penuh yaitu kematian bayi sebelum kepus puser.
Batas waktunya sekurang- kurangnya 42 hari dan
berakhir setelah mendapat tirtha pabersihan.
b.
Akibat
dari menstruasi/datang bulan yang umum terjadi pada wanita normal. Saat – saat
keluarnya darah haid pada wanita dipandang kurang harmonis. Setiap wanita
mengalami cuntaka karena haid ± 1 bulan sekali, waktunya berbeda pada setiap
orang yang mengalaminya. Batas waktunya selama masih mengeluarkan darah sampai
membersihkan diri.
c.
Cuntaka akibat
berlangsungnya upacara perkawinan/pernikahan yang dialami oleh kedua mempelai
sebelum dibersihkan dengan upacara penyucian. Batas waktunya sampai dengan
mendapat tirta pabeakaonan.
d.
Akibat mitra ngalang
yaitu :
Hubungan
seks di luar perkawinan/pernikahan.Batas waktunya sampai dengan upakara
beakaon.
e.
Agamya gamana adalah
hubungan seks antara anak dengan orang tua, atau termasuk juga hubungan seks
antara saudara kandung. Batas waktunya sampai diceraikan, diadakan pembersihan
baik terhadap diri pribadi maupun desa adat/ kahyangan.
f.
Akibat salah timpal
yaitu manusia melakukan hubungan seks dengan binatang. Batas waktunya
diselesaikan sebagaimana mestinya sesuai dengan adat dan agama Hindu. Sampai
dengan upakara beakaon.
g.
Cuntaka akibat
melahirkan/bersalin yang dialami oleh ayah dan ibunya serta anak yang
dilahirkan. Batas waktunya sekurang- kurangnya 42 hari dan berakhir setelah
mendapat tirtha pabersihan dan suaminya sekurang- kurangnya sampai lepas puser
bayinya.
h.
Terjadinya kehamilan di
luar perkawinan/pernikahan dan juga melahirkan tanpa didahului dengan upacara
perkawinan/pernikahan. Batas waktunya sampai dengan upakara beakaon.
i.
Orang yang pernah
melakukan sad atetayi. Batas waktunya sampai diprayascita dan sama sekali tidak
boleh menjadi rohaniawan.
j.
Penderita sakit
kelainan juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan kemasyarakatan,
karena khawatir akan akibat yang ditimbulkan oleh sakit yang dideritanya.
Dari semua penyebab cuntaka yang
disebutkan di atas, ada pula cuntaka yang disebabkan oleh diri sendiri yang
disebut dengan manusia “cilaka”. Manusia cilaka adalah wanita yang tak pernah
mengalami haid, dilihat dari umurnya sudah seharusnya mengalami haid, manusia
yang demikian dipandang letuh. Di dalam lontar Krama Pura ada disebutkan
demikian :
Manih kawuningan ana mewasta cilaka nga, janma luh tan
wenten/nahen mangrajaswala, nga, camah, sampun patuting yusania mangrajaswala,
tur sampun kawusadan, neher ya tan dados mangrajaswala, punika sane mewasta
letuh, tan wenten ipun kengin ke pura – pura, twin salwir pekaryan ipun tan
kengin aturang ke Widhi, lwir ipun, mekarya canang, bebanten punapi lwire ne
katur kedewa, mwang katur ring meraga suci putus, apan dahat kecuntakaning janma
ika, nga.
Terjemahannya :
Disebutkan lagi ada yang bernama cilaka
yaitu manusia yang tak pernah mengalami haid, padahal dilihat dari segi umurnya
sebenarnya sudah mengalami masa haid, dan sudah mendapat pengobatan namun tidak
juga mengalami haid itu disebut letuh, orang demikian tidak dibenarkan ke pura,
juga segala pekerjaannya tidak dibenarkan untuk dihaturkan kepada Ida Sang
Hyang Widhi, seperti membuat canang serta banten apa saja yang akan dihaturkan
kepada dewa dan juga yang akan dihaturkan kepada dewa dan juga yang akan
dihaturkan kehadapan pendeta, sebab orang yang demikian dipandang sangat
cuntaka.
2.3 Ruang Lingkup, dan
batas waktu Cuntaka (sebel) :
Ruang lingkup
cuntaka adalah penunjukan lingkungan pengaruh cuntaka baik berupa pekarangan,
benda, binatang dan manusia yang ada di sekitar areal peristiwa cuntaka.
Demikian pula karena penyebab cuntaka itu banyak macamnya, maka ruang lingkup
cuntaka akan berbeda satu sama lain. Begitu pula perlu dimaklumi, bahwa dari
macam cuntaka yang sama akan terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya di antara
desa – desa adat di Bali. Berikut penjelasan yang menyangkut tentang ruang
lingkup cuntaka.
1.
Sumber yang
berupa lontar
Dalam lontar
Cuntaka Graha Mantra, penjelasannya sama dengan uraian di dalam lontar Catur
Cuntaka mengenai ruang lingkup cuntaka yaitu: apabila cuntaka akibat dari
kematian salah satu keluarga dalam tunggal persembahyangan, maka seluruh
keluarga penyungsung pura tersebut kena cuntaka. Di dalam lontar Catur Cuntaka
menyebutkan, apabila seorang pendeta brahmana meninggal atau seorang Nabe
kerohanian meninggal, maka pendeta sisyanya termasuk seluruh sisyanya cuntaka
juga.
Selain itu ada
juga mengenai alat – alat upacara yang juga terkena imbas cuntaka, seperti
disebutkan dalam lontar Catur Cuntaka sebagai berikut :
Mwah yan kewanten wadah layon, sawa,
wangke, asti, tulang, awu, tumpang salu, bandusa, tekaning anggawa anggon –
anggon prateka upakara, sane sekala raket ring layon, sawa, wangke, lwirniya,
kajang, rurub, ukur, kwangi pengerekan, angenan, pancarengga, rantasan, damar
kurung, benang penuntun sawa, tetukon, panjang, geganjaran, cegceg yeka pateh
makasih pada kehanan cuntaka, nanging sadina purna, maka sadanan adyus,
akajamas dulurana thirta.
Terjemahannya :
Dan bila ada wadah layon, sawa, wangke,
asti, tulang, arang, abu, tumpang salu, bandusa, sampai pada segala
perlengkapannya daripada alat – alat upacara atiwa – tiwa yang jelas termasuk
perlengkapan serta melekat pada jenasah, seperti : kajang, rurub, kwangi
pengerekaan, angenan, pancarengga, rantasan, damar kurung, benang penuntun
sawa, cegceg, tetukon, panjang, geganjaran, itu sama – sama cuntaka, namun
sehari saja hilang letehnya, dengan sarana adyus, akajamas serta dilengkapi
dengan tirtha.
Jadi dapat dianalisa bahwa alat – alat sisa
upacara, alat – alat bekas upacara yang dipakai tempat banten dapat disucikan
kembali setelah sehari lamanya dengan sarana upacara seperti kutipan di atas.
2.
Sumber yang
berupa kitab
Dalam sumber
yang beripa kitab dijelaskan secara mendetail tentang ruang lingkup cuntaka.
Kitab yang memuat tentang hal ini terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra. Di
dalam kitab ini dijelaskan bahwa cuntaka karena kematian dapat menyebabkan
keluarganya kena cuntaka.
Atas dasar sumber tersebut dan adanya
kebijaksanaan di tiap – tiap desa adat yang berbeda antara desa yang satu
dengan yang lainnya, maka Parisada Hindu Dharma Pusat telah menetapkan garis –
garis atau pedoman untuk mewujudkan keseragaman gerak langkah masyarakat dalam
penetapan ruang lingkup cuntaka. Pedoman tersebut diatur dalam himpunan
keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama Hindu I – XI,
adapun keputusan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kematian
: keluarga terdekat serta orang-orang yang ikut mengantar jenasah,
sesuai Loka dresta dan Sastra Dresta.
2. Haid
: diri pribadi serta kamar tidurnya, sampai bersih darah dan membersihkan
diri.
3. Wanita bersalin : diri
pribadi, suaminya dan rumah
yang ditempatinya, masa cuntaka selama sekurang-kurangnya 42 hari dan
berakhir setelah mendapat tirtha pebersihan, sedangkan suaminya
sekurang-kurangnya sampai kepus puser bayinya.
4. Keguguran
: diri pribadi, suaminya dan rumah yang ditempatinya, 42 hari dan
mendapat tirtha pebersihan.
5. Perkawinan
: diri pribadi dan kamar tidurnya, smpai mendapat tirtha pebyakaonan.
6. Karena
sakit : Pribadi dan pakaiannya.
7. Gamia
gamana : diri pribadi dan desa tempat tinggalnya, sampai diceraikan, diadakan
upacara pebersihan baik diri pribadi dan desa adat.
8. Wanita
hamil tanpa byakaon : diri pribadi dan kamar tidurnya, sampai diadakan upacara
byakaon
9. Mitra
ngalang : diri pribadi dan kamar tidurnya, sampai upacara byakaon
10. Orang
lahir dari kehamilan tanpa upacara perkawinan : diri pribadi. Anak dan rumah
yang ditempati, sampai ada yang memeras (mengangkat anak dengan upacara agama)
11. Orang
yang pernah melakukan Sad Atatayi
: diri pribadi, sampai diprayascita dan selamanya tidak boleh menjadi
rohaniwan.
Ø Agnida,
membakar milik orang lain.
Ø Wisada,
meracuni orang lain.
Ø Atharwa,
melakukan ilmu hitam untuk membunuh orang lain.
Ø Sastraghna,
mengamuk sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Ø Dratikrama,
memperkosa sehingga membuat orang lain kehilangan kehormatan.
Ø Rajapisuna,
suka memfitnah sampai mengakibatkan kematian orang.
2.4 Upacara dan Upakara
Penyucian Terhadap Cuntaka
Penyucian terhadap cuntaka adalah usaha pengembalian
keadaan yang dipandang tidak suci, agar menjadi suci kembali, baik berupa
benda-benda, bangunan, lingkungan maupun keadaan manusia. Usaha penyucian
tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara. Upacara adalah pelaksanaan dari usaha
manusia dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Selanjutnya didalam pelaksanaan
upacara akan diperlukan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara. Upacara
(pelaksanaan aktivitas keagamaan) adalah merupakan suatu kewajiban, sedangkan
upakara adalah merupakan sarana penunjang /pelengkap sehingga jumlahnya dan
jenisnya dapat disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Bagi umat Hindu,
penyelenggaraan upacara keagamaan menggunakan sarana pelengkap (upakara) berupa
banten yaitu beberapa jenis bahan yang diatur sedemikian rupa sehingga indah
dilihat dan mempunyai arti simbolis religius keagamaan sesuai dengan fungsi dan
pengaruhnya terhadap keadaan tertentu.
Sesungguhnya upakara disamping sebagai
persembahan atau tanda terima kasih juga memiliki fungsi tertentu antara lain :
1. Sebagai alat
konsentrasi, untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan
sebagai simbol perasaan seseorang.
2. Sebagai
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau atau juga
perwujudan orang yang diupacarai.
3. Sebagai dana
punia.
4. Sebagai sarana
atau alat penyucian.
Suatu sarana yang tergolong dalam
upakara penyucian yaitu prayascita, durmanggala, beakala (beakawon), pedudusan,
caru. Dari semua jenis banten tersebut tidaklah terpisah satu sama lainnya, tapi
tidak mesti setiap penyucian memakai semua banten tersebut. Penggunaan sarana
banten tersebut sangatlah dipengaruhi oleh keadaan yang hendak disucikan.
Apabila keadaan cuntaka dianggap berat dan ruang lingkupnya meliputi masyarakat
desa adat maka upakara penyuciannya hendaknya memakai semua perangkat upakara
tadi. Semakin ringan dirasa cuntaka itu dan semakin sempit ruang lingkupnya
maka banten penyucian yang dipakai juga semakin sedikit. Diantara semua jenis
upakara penyucian yang paling sederhana adalah prayascita. Prayascita merupakan
sarana yang selalu menyertai upakara penyucian. Banten prayascita adalah
seperangkat banten yang merupakan inti dari upacara penyucian. Maka dari itu
banten penyucian selain banten prayascita merupakan pelengkap banten prayascita.
Dalam hubungan antara banten penyucian dengan macam – macam cuntaka tidak ada
sumber yang jelas menyatakan banten yang mesti dipakai untuk penyucian.
Dengan demikian dapat dikatakan besar kecilnya upakara penyucian yang
dipergunakan sangatlah dipengaruhi oleh rasa agama dan situasi kondisi dari
masing-masing pebersihan untuk penyucian terhadap cuntaka.
Jnana tapo’ gniharan mrinmano waryupajnanam, wayuh
kamarkakalan ca çudheh kartrini dehinam. (Manawa
Dharmasastra V. 105)
Terjemahannya :
Yang merupakan sarana-sarana penyucian bagi
makhluk-makhluk hidup adalah pengetahuan akan kemahapengasihan Tuhan api,
makanan suci, tanah, pengendalian pikiran, angin, upacara suci, matahari, dan
sang waktu.
Adbhirgatrani çuddhayanti manah satyane çuddhayati, widyatapobhyambhutatma
budhir jnanena çuddhayati. (Manawa
Dharmasastra V. 109)
Terjemahannya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan
dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata kecerdasan
dengan pengetahuan yang benar.
Memperhatikan sarana penyucian seperti
tersebut dalam kutipan di atas, maka jelas bahwa usaha penyucian terhadap
cuntaka bukan hanya dengan sarana banten penyucian saja, melainkan dapat pula
dilakukan dengan tanpa banten penyucian. Bila dihubungkan dengan kenyataan
praktek pelaksanaannya di kalangan masyarakat maka proses penyucian dengan
sarana banten maupun tanpa banten penyucian masih berlaku.
Dengan demikian proses penyucian terhadap
cuntaka baik mempergunakan banten penyucian maupun tanpa sarana banten dapat
diperinci sebagai berikut :
a)
Cuntaka akibat
kematian, penyuciannya mempergunakan banten beakala, pekalemijian dan
prayascita.
b)
Cuntaka akibat
perkawinan mempergunakan banten beakala dan prayascita.
c)
Cuntaka karena
melahirkan, penyucianya menggunakan banten beakala dan prayascita.
d)
Cuntaka karena mitra
ngalang dan hamil di luar perkawinan penyuciannya mempergunakan banten beakala
dan prayascita atau kedua pelaku tersebut melangsungkan upacara perkawinan.
e)
Cuntaka karena
melahirkan bayi di luar perkawinan pebersihannya menggunakan banten beakala dan
prayascita.
f)
Cuntaka karena agamya
gamana dan salah timpal penyuciannya adalah meliputi desa adat. Penyucian
bhuwana alit (orang yang bersangkutan) adalah dengan melukat ke segara setelah
itu baru dibersihkan dengan banten durmanggala, beakala dan prayascita.
g)
Cuntaka karena sakit
kelainan penyuciannya mempergunakan banten beakawon dan prasyascita.
h)
Cuntaka akibat
melakukan sad atetayi pembersihannya
mempergunakan banten prayascita.
i)
Cuntaka akibat
keguguran kandungan pembersihannya menggunakan banten prayascita.
Itulah
semua penyucian terhadap cuntaka dengan mempergunakan sarana banten. Sedangkan berikut ini
penyucian terhadap cuntaka dengan tanpa menggunakan sarana banten yaitu :
1)
Cuntaka karena
mejenukan (menengok kelurga yang tertimpa kematian). Keadaan demikian sama
dengan turut berduka cita penyuciannya dapat dilakukan dengan pribadi-pribadi
dengan tirtha pebersihan. Demikian pula di Bali umumnya cuntaka seperti
itu dilakukan dengan pengelukatan di dapur (Dewa
Brahma), melalui
air cucuran atap dapur (Dewa Wisnu).
2) Cuntaka
karena menstruasi, penyuciannya dengan cara mandi, keramas dan metirtha
pebersihan.
Cuntaka yang disebabkan oleh kematian, maupun
melahirkan bisa dibersihkan atau disucikan kembali dengan menggunakan Tirta
Pelukatan yang langsung diketiskan oleh Pemangku. Dan untuk Cuntaka yang
disebabkan oleh menstruasi maka bisa dibersihkan dengan cara mandi keramas dan
metirtha pebersihan.
Cuntaka yang ruang lingkupnya sampai
meliputi desa adat, juga harus segera diadakan upacara penyucian bhuwana agung.
Perbuatan manusia yang dapat menyebabkan cuntakanya desa adat dapat
diperinci sebagai berikut :
1. Tindakan
manusia yang tidak wajar diwajarkan, yang dapat menyebabkan
kegoncangan/ketidakseimbangan desa pekraman serta dapat menyebabkan letuhnya
desa adat.
a. Salah timpal
atau kawin dengan binatang.
b. Seorang yang
kawin dengan tuminnya atau orang tuanya (agamya gamana).
c. Bersanggama di
Pura membuat camernya sthana dewa-dewa.
d. Jurang
alangkahi gunung (mengawini kakaknya atau mengambil janda kakaknya).
e. Mengawini yang
termasuk orang tua, gunung alangkahi segara namanya.
f. Mengawini
anaknya sendiri tingkah sato namanya, seribu seratus tahun letuhnya desa adat
dan bila ia meninggal seribu seratus tahun papanya di neraka serta lahirnya
nanti menjadi kuricak, cacing, iris-iris poh, tujuh kali lahir belum dapat
tersupat keletehannya.
Bila ada orang yang demikian, desa adat
sudah cacat disamping juga letuh, akibat perbuatan manusia. Penyupatan terhadap
keletuhan tersebut di dalam lontar Catur Pataka disebutkan sebagai berikut :
Penyuciannya
dengan banten itik ginuling 1, sato putih kuning 2, bawi ginuling, pisang
kembang, pisang jati, pengiring tadah pawitra, jambul samah, lis amanca warna,
isuh-isuh sato, sesari artha 777, beras 7 catu, pisang gendis, kelapa, lawe
setukel, sageneping sasantun, cucupaning carat susunia anut saptawara.
Tempat berlangsungnya upacara ini
adalah pada perempatan dan dipimpin oleh sang Maha Pandita.
2. Penyucian
kembali desa adat yang salah satu warganya menderita sakit ila (menular) atau
penyakit cukil daki (semacam lever). Penyakit demikian menyebabkan para Dewa
pergi dari kahyangan. Sebaiknya orang yang demikian dipindahkan, ditempatkan
pada tempat lain. Bila sudah pindah dari desa pekraman, semua warga hendaknya
diprayascita sampai seluruh kahyangan serta menyucikan kembali semua
pralingga-pralingga di kahyangan dengan sarana upakara :
Sesayut
pengambean, sesayut prayascita,pras penyeneng, pengelukatan selengkapnya.
Di sanggar perumahan (pawongan) juga menghaturkan banten :
Sesayut pengambeyan, pras penyeneng, tunasang toya
pengelukatan ring pandita.
Semua wilayah desa serta semua kahyangan diperinci dengan
tirtha empul demikianlah sastra kerohanian menyebutkan, bila tidak demikian,
desa yang bersangkutan tetap letuh dan Bhatara tak senang bersthana pada desa
yang letuh. Demikian pula karang perumahan, sawah, jalan-jalan yang dipericki
tirtha, upacara demikian dapat berlangsung saat purnama ataupun tilem.
Nihan
patakaning wong istri amalwa manik pejah mwang andrewe putra pejah, nora
liwar sapasar pejah, sepuluh limang rahina pejah, ikang wong mati cemer,
bwating angletuhing negara agung alit nora wenang sawinia upakara entasen,
wenang pinendem.
Terjemahannya :
Inilah
kejatuhan wanita hamil meninggal atau melahirkan bayi mati, belum lewat tiga
hari meninggalnya tidak juga bayi keluar, 15 hari orang tersebut cuntaka.
Karena itu membuat letuhnya bhuwana agung dan bhuwana alit, maka tidak boleh
diaben (entasen), dikuburkan boleh.
Demikian disebutkan dalam lontar Catur
Pataka, yang mana kejadian seperti itu di masyarakat dikenal dengan istilah
mati mabasah. Orang yang demikian tak boleh segera diaben, ada jangka waktunya.
a. Bila brahmana
setahun lamanya baru boleh diaben.
b. Bila Ksatriya
dua tahun baru boleh diaben.
c. Bila wesya tiga
tahun baru boleh diaben.
d. Bila sudra
empat tahun baru boleh diaben.
Pemarisuda pengentas dalam uapacara
pengabenannya ditambah dengan sarana : gni anglayang, sarwa mantra wija tiksna,
agar lahirnya nanti dalam reinkarnasinya bebas dari mala, papa, pataka, serta
dapat lahir lebih sempurna. Dan penebusan dihaturkan kepada Setra Parhyangan Dalem terhadap Bhatari
Dhurga.
Mwang karamaning wong inaran manak
salah, liania lanang wadon, tinundung dening desa, tininggalakena ring
grahanira, inena hana ring setra sawulan pitung dina lawasnia hana ring setra,
tan kawasa mulih mainepan ring umahnia. Wus mangkana waliakena ring negara
kenon melukat, meparisudha, medudus dening catur kumba ring perapatan agung.
Terjemahannya :
Dan pelaksanaan orang yang manak salah,
bedanya dengan bayi kembar biasa adalah laki duluan daripada wanita, orang
demikian disingkirkan dari desa, dipisahkan dari rumahnya, hidupnya ada
di setra (kuburan) satu bulan tujuh hari lamanya, tidak dibolehkan pulang dan
menginap dirumahnya. Setelah habis waktunya kembali lagi ke desa adat harus
melukat dan meparisuda, medudus dengan catur kumbo di catus pata.
Demikian disebutkan dalam Catur Pataka.
Upakara pedudusan di catus pata adalah sebagai berikut :
Kumbo 4 buah,
dawengan kinasturi (bungkak dikasturi) panca warna, nyuh sasi (kelapa bulan)
susu 5, nyuh udang susu 9, nyuh gading susu 7, nyuh mulung susu 4, nyuh
sudamala susu 8, pinuja dening panca mrtha mwang payuk 4, dangdang 1, kekeb 1,
kumba carat susu anut wewaran , sacucukan itik putih, ayam sudamala, kucit plet
(butuan), tepung tawar, sagawu, lis mancawarna, kus-kusan, dui-dui, lalang 108,
jinah 25, ikang padudusan pinuja dening sarwa prayascita, sajem Brahma, Bhwane
swari, de laya, astu pungku, telas, mwang angadegaken sanggar tawang, caru suci
petang dandanan jangkep, saha sairing uduh, peji, gedang atut woh pusuhnia,
mwang wastra seperadeg, jinah 4000 munggah ring sanggar, ring sor guling
bebangkit, pamugbug kayesining panggungan, saha tegen-tegenan, mwang gelar
sanga denagenep, tekaning peras, sang angrayonin, daksinania 2700, sang sogata
daksinania 2500, sang Bhujangga daksinania 2250, mwang pras.
Setelah upacara tersebut dilaksanakan
maka selanjutnya pondok tempat mereka disingkirkan/dibongkar dan dibakar serta
diperciki tirtha pemrelina. Orang bersangkutan didudus dalam upacara dengan
upakara padudusan serta diberi tataban sesayut agar sempurna orang yang manak
salah tersebut. Demikianlah yang tersurat dalam sastra kerohanian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
penulis simpulkan bahwa :
Cuntaka
adalah suatu keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal –
hal lain yang dipandang kotor. Adapun sebab
– sebab Cuntaka secara umum yaitu :
a) Cuntaka
yang disebabkan oleh orang lain yaitu karena akibat kematian.
b) Cuntaka
yang disebabkan oleh diri sendiri, antara lain sebagai berikut :
1. Akibat
keguguran kandungan.
2. Akibat
dari menstruasi/datang bulan.
3. Cuntaka
akibat berlangsungnya upacara perkawinan/pernikahan.
4. Akibat
mitra ngalang.
5. Akibat
salah timpal.
6. Cuntaka
akibat melahirkan/bersalin.
7. Terjadinya
kehamilan di luar perkawinan/pernikahan.
8. Orang
yang pernah melakukan sad atetayi.
9. Penderita
sakit kelainan.
Mengenai ruang
lingkup dan batas waktu dari cuntaka tergantung dari desa, kala dan patra dari
masing-masing wilayah, karena antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya biasanya berbeda-beda penetapannya tetapi tidak melenceng atau
menyimpang dari petunjuk-petunjuk sastra yang ada.
Upacara dan
upakara penyucian orang yang terkena cuntaka ada yang memakai sarana banten dan
tanpa sarana banten. Penyucian cuntaka dengan sarana banten diperuntukkan bagi
yang kategori cuntaka pribadi seperti keguguran kandungan, gamya gamana, sakit
kelainan dan lain sebagainya, sedangkan yang tanpa sarana banten yaitu ketika
majenukan (menengok) orang yang meninggal untuk penyuciannya cukup dengan tirta
pebersihan dari Sulinggih saja.
3.2 Saran
Kepada umat Hindu
yang ada di Bali khususnya dan umat Hindu di Indonesia secara umum bahwa
cuntaka yang merupakan suatu keadaan yang tidak suci atau leteh ini harus
dipahami dengan baik agar implementasinya di lapangan tidak menyimpang dari
sumber-sumber sastra yang ada terkait dengan cuntaka. Oleh sebab itu saya
berharap masyarakat dapat memahami cuntaka ini dengan baik sehingga tidak akan
ada tumpang tindih mengenai cuntaka, dan cuntaka ini membawa dampak yang sangan
fatal apabila kita melanggarnya hal ini sering disebut dengan istilah ila-ila dahat yang menjadi pantangan
untuk melakukan hal-hal yang bersifat suci atau sakral.
Daftar Pustaka
Gunadha, Ida
Bagus. 1993. Cuntaka. Denpasar : PT. Upada Sastra
Pudja, Gde dan Tjokorda Rai Sudharta.2004. Manawa Dharmasastra. Surabaya : Paramita
Subagiasta, I Ketut. 2008. Pengantar Acara Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Sanjaya, Putu. 2008. Acara
Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Cundamani. 1993. Pengantar
Agama Hindu. Jakarta : Hanuman Sakti
Pemda Tingkat I Bali.2000. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu
Rai Sudharta, Tjok. 2001. Upadesa. Surabaya : Paramita
Tim Penyusun PHDI. 1985. Acara III. Dirjen Bimas Hindu dan Budha
Ngurah,
I Gst Made dkk. 1999. Pendidikan Agama
Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar