Rabu, 29 Juli 2015

Pasemetonan Pratisentana Bandesa Manik Mas

Kajian Pelinggih Pamrajan Bendesa Manik Mas


1. Sejarah Bendesa Manik Mas
1.1 Nama Warga Bendesa Manik Mas
Pada mulanya nama Bendesa itu adalah nama jabatan (pejabat/pacek/pasek) yang mempunyai tugas dalam adat dan Agama. Istilah Bandesa, asal mulanya adalah dari Bande=tali, Desa=tempat, jadi artinya tali pengikat desa (pemimpin). Sumber lain  menyebutkan bahwa kata Bandesa artinya satu suara (tugas pemimpin). Sumber lain menyebutkan bahwa kata Bandesa berasal dari asal kata Bahan-----Baan-----Ban, yang artinya pejabat, dan kata Desa yang artinya tempat (wilayah).
Lama kelamaan istilah pejabat (Bendesa) tersebut  berkembang sesuai dengan keadaan dan menjadi suatu keluarga, keluarga besar, bahkan menjadi suatu keturunan (Warga) dan pada akhirnya menjadi kerturunan besar (Maha Wandawa).
Dengan berkembangnya nama Bendesa Manik Mas tersebut menjadi keturunan besar (Maha Wandawa Ratna) maka keturunan yang menyandag nama Bendesa Manik mas tersebut menghimpun diri menjadi satu warga/keturunan yaitu “Pratisentana Bandesa Manik Mas”
Istilah Bendesa Manik Mas muncul, mengingat Manik=Ratna adalah nama kebesaran/anugerah dari Dalem Bali keturunan Sri Kresna Kepakisan kepada Kyayi Pangeran Bandesa Manik Mas, karena jasa-jasanya selama menjadi mahapatih mendampingi Raja.dengan demikian sudah sewajarnya nama tersebut dikuhkuhkan oleh keturunannya.
Mengingat nama “Pratisentana Bandesa Manik Mas” cukup panjang, maka untuk kesehariannya dapat menyebutkan dengan singkat nama “Bandesa Manik Mas”.
1.2 Keberadaan Warga Bandesa Manik Mas.
            Keturunan Pratisentana Bandesa Manik Mas, mengingat tugas/jabatannya pada mulanya dalam bidang adat dan keagamaan pada mulanya sesuai adat dan tradisi yang berlaku di Bali merupakan tugas/jabatan yang turun temurun. Namun demikian mengingat perkembangan zaman / kerajaan yang silih berganti, seperti halnya Raja / patih / demung / amanchabumi dan jabatan lainnya kemungkinan besar tidak hanya dijabat oleh satu keturunan.
            Bertitiik tolak dari pandangan tersebut diatas dan atas dasar sumber-sumber data/ informasi/ penelitian yang dilaksanakan maka disimpulkan mengenai keberadaan Warga Bandesa Manik Mas, dengan muaranya Dwi Parhyangan (Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe) adalah sebagai berikut :

1.2.1 Tahap sebelum Pura Taman Pule dibangun (sebelum abad ke-14) adalah warih/trah dari:
1) Sri  Kesari Warmadewa.
- Dimulai dari munculnya Arya Bali setelah Raja Wangsa Sanjaya dan Wangsa   warma tidak memerintah lagi di Bali, dengan nama Pageran Mas/Pangeran Kayu Mas.
- Beliau menjadi Bandesa Mas ( setingkat amanchabumi) berkedudukan di Mas, dengan nama Kyayi Gusti Bandesa Mas.
- Dimuat dalam sejarah leluhur orang Bali, Babad Pamancangah Dalem Kramas Bandesa Mas, Ki Mekel Paduwungan.
2) Mpu Kenaka/Danghyang Kenaka.
- Dimulai dari semenjak pangeran Kayu Mas, yang mempunyai anak tunggal Pangeran Mas. Kemudian setelah kawin dengan Luh Manik yang menurunkan Kyayi Manik Mas, Kyayi Gading Gede Tengah dan Luh Kayu Mas.
- Periode ini terjadi sebelum Danghyang Nirartha datang ke Bali.
- Dimuat dalam Iti Jasat Bandesa Manik Mas, Piagem Pasek Tatar.
3) Mpu Jiwaksara (Ki Patih Ulung)
- Dimulai dari semenjak diangkatnya anak Mpu Dwijaksara, yang bernama KiPatih Ulung (warih/trah Sapta Rsi/Panca Tirtha) pada tahun 1343 menjadi Mahapatih di bali dan berkuasa penuh tentang Bali Aga atas nama Kerajaan Majapahit.
- Selanjutnya keturunan beliau menjadi pimpinan Pemerintah di Bali Madya dengan pusat di Mas. Dengan gelar Kyayi Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas.
- Beliaulah yang merupakan cikal bakalnya keluarga besar Bandesa Manik Mas, karena cukup lama memerintah di Mas dan secara turun temurun dengan anak cucunya.
- Dimuat dalam Babad Pasek, Babad Bali Agung, Sejarah Leluhur Orang Bali.

1.2.2 Tahap setelah pembangunan Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe (abad ke-15 s/d abad ke-20), adalah Warih/trah dari :
         
   1) Mpu Jiwaksara (Ki Patih Ulung)
- Anak cucu dari KGP Bandesa Manik mas (KI Patih Ulung) meneruskan pemerintahan Bali Madya, dengan pusat di Mas.
- Pada Waktu/periode ini Danghyang Nirartha telah tiba di Bali, dan menetap di Mas dengan putra-putrinya.
      2) Arya Tan Kober-Tan Kawur-Tan Mundur
 - Dimulai dari ekspedisi Gajah Mada ke Bali (1343), yaitu dengan datangnya para Arya dari kerajaanMajapahit untuk menyerang Bali, mengingat Raja Bali Si Tapolung (Astura Ratnabhumi Banten) tidak mau tunduk di bawah pemerintahan Majapahit.
- Tiga serangkai/berasudara Arya Tan Kober-Tan Kawur-Tan Mundur adalah Ksataria Kadiri, yang membantu Arya Gajah Para, Arya Getes, menyerang Bali dari arah timur laut (Toanyar)/ Tianyar, kabupaten karangasem.
- Dimuat dalam Babad Bandesa Manik Mas, Prasasti Pasek Bandesa Mas.
- Pada periode/tahap ini Danghyang Nirartha telah datang d Bali dan berasrama di Mas.
          3) Sri Kesari Warmadewa
- Dimulai dari Ki Mekel Peduwungan (Ki Gidar, Ki Seleseh) setelah perang Nambenan tahun 1760.
- Pada periode/tahap ini Danghyang Nirartha telah tiada (moksah di Pura Luhur Hulu watu).
- Dimuat dalam Babad Bali Agung, Babad Dalem.

1.2.3. Tahap sekarang (setelah memasuki tahun 2000-milenium ke-3) sampai selanjutnya.
            Dimulai dari warih/trah Sri Kesari Warmadewa, Mpu Jiwaksara (Ki Patih Ulung), Mpu Kenaka (Danghyang Kenaka), Arya Tan Kober-Tan Kawur-Tan Mundur, Ki Mekel Paduwungan dan kemungkinan juga versi lainnya (yang belum penulus temukan sampai dengan saat penyusunan buku ini dibuat) semuanya menjadi keluarga besar keturunan Bandesa Manik Mas atau peguyubannya disebut dengan nama Pratisen tana Bandesa Manik Mas.
            Muaranya adalah berbakti kepada Dwi Parhyangan, yaitu Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe di Mas, sebagai Pura Kawitan Warga Pratisentana Bendesa Manik Mas yang tidak boleh dilupakan.
            Sebutan parab/nama para warga Pratisentana Bandesa Manik Mas yang berbeda satu sama lain saat ini tidaklah menjadi masalah, yang perlu dipikirkan untuk masa selanjutnya adalah kerukunan Warga Bandesa Manik Mas itu sendiri yang ibaratnya beberapa buah sungai yang bercabang, mengalir ke satu tempat, bermuara di Mas dengan Dwi Parhyangan-nya, yaitu Pura Taman Pule dan Pure Buk Cabe.
            Tujuan yang ingin dicpai oleh Pratisentana Bandesa Manik Mas adalah memperoleh kemuliaan hidup, mengamalkan kebajikan dan kebenaran ke segala arah sesuai perbuatan mulia dari para Leluhur Pratisentana bandesa Manik Mas serta mencapai tujuan hidup lahir batin (moksartham jagadhita ya caiti dharma).

1.3 Bisama/ Wisama
            Bisama/wisama yang mengikat Pratisentana Bandesa Manik Mas adalah Bisama dari Danghyang Nirartha dan K.G.P. Bandesa Manik Mas, karena bisama ini turunnya atau adanya belakangan yaitu sekitar abad 15-16 untuk segenap Warga Bandesa Mas dan Brahmana Mas tidak boleh lupa pada Kawitan Ida Bhatara di Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe.
            Bisama yang dudluan yaitu sekitar abad 10-11 (Hyang Gni Jaya) kepada keturunan Pasek dengan Bandesa Mas, membuktikan bahwa warga Bandesa Mas sudah sudah ada di Bali sebelum Danghyang Nirartha ke Bali. Disamping itu juga dimungkinkan diberikan otonan/kekuasaan oleh Dalem Sri Kresna Kepakisan.
            Perhatikan Bisama dibawah ini: Bisama yang diberikan oleh Dalem Bali Keturunan Sri Kresna Kepakisan kepada Kyayi Pangeran Bandesa Manik Mas, antara lain:
1. Keturunan pangeran Bandesa Manik Mas tidak boleh dikenai hukuman mati (tan panjing pejah).
2. Kalau kesalahannya sampai ke tingkat hukuman mati, tiga kali bertururt-turut   hanya boleh diganti dengan hukuman diusir dari desa tersebut, ketempat yang lebih jauh.
3. Kekayaan, arta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi miliknya, tidak boleh diambil atau dijarah atau dikuasai untuk kerajaan.

1.4 Keterkaitan Bandesa Mas dengan Danghyang Nirartha
            Diceritakan bahwa ki Bandesa Mas membuat sebuah pasraman untuk diberikan kepada Danghyang Nirartha beserta keluarganya yang diberi nama Geria Timbul Taman Pule. Di dalam pasraman tersebut terdapat sebuah permandian dan sebuah kolam yang amat indah disertai dengan air kolam yang jernih, penuh dengan ikan dihiasi dengan aneka warna bunga teratai dan bunga-bunga yang harum baunya, dibekas Geria Timbul taman Pule itulah kemudian dibuatkan Pura Lawa atau Pura Pule oleh keluarga/keturunan Bandesa Manik Mas. Disamping itu keturunan ki Bandesa Mas juga membangun sebuah pura peringatan di bekas pasraman Ida Buk Cabe yang diberi nama Pura Buk Cabe.
            Ki Bandesa Mas mengutarakan keinginannya untuk berguru kepada Danghyang Nirartha dan selanjutnya untuk dapat dibersihkan untuk menjadi pandita. Keinginan tersebut dikabulkan oleh Danghyang Nirarta. Kemudian setiap hari Ki Bandesa Mas menghadap Danghyang Nirartha untuk menerima pelajaran Agama dan kebatinan. Pelajaran yang dianugerahkan beliau itu antara lain Weda Sulambang Geni, Pasupati Racana, keturunan Ki Bandesa Mas. Ki Bandesa Mas setelah selesai menerima pelajaran itu semuanya kemudian dibersihkan, den gan upacara utama dan setelah itu beliau bergelar/berhak memakai gelar sebagai Pandhita Manik Mas.
            Sebagai bukti bakti berguru dan rasa terima kasih kepada sang guru, Ki Bandesa Mas kemudian mengahturkan anak perempuannya yang bernama Sang Ayu Mas Genitir untuk dijadikan istri. Dan perkawinan itu melahirkan seorang putra laki-laki yang diberi nama Ida Putu Kidul  atau Ida Buk Cabe. (Tim Pengkaji sejarah.2000:48)

1.5 Pura Catur Parhyangan dan Dwi Parhyangan.
1.5.1 Keberadaan Pura Catur Parhyangan
            Yang dimaksud dengan Pura Catur Parhyangan disini adalah 4 buah pura yang sesuai dengan Bisama Hyang Gni Jaya yang terdiri dari: Pura Dasar Buwana di Gelgel, Pura Silayukti di Padang Bai, Pura Lempuyang Madya di Lempuyang Madya di Lempuyang/Karangasem, dan Pura Catur Lawa Besakih.
Keberadaan Pura catur  Parhyangan tersebut, diperkirakan dibangun pada abad 10-11 masehi, (sebelum Ki Patih Ulung, Arya Tan Kober-Tan Kawur-Tan Mundur dan  Danghyang Nirartha datang ke Bali) juga menjadi sungsungan Warga Bandesa Mas dari warih/treh Mpu Withadharma yang merupakan leluhur dari Ki Patih Ulung  (mpu Jiwaksara).

1.5.2 Keberadaan Pura Dwi Parhyangan
            Yang dimaksud dengan Pura Dwi Parhyangan disini adalah Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe, yaitu dibangun oleh pratisentana Bandesa Manik Mas, terletak di Desa Mas Gianyar. Yang merupakan pura sungsungan (kawitan) bagi keturunan Keluarga Besar Bandesa Manik Mas da Brahmana Mas. Sesuai dengan Bisama dari Danghyang Nirartha dan I Pangeran Bandesa Manik Mas.  
            Berdasarkan Bisama tersebut diaatas, pura Dwi Parhyangan ini (Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe) wajib disungsung oleh pratisentana Bandesa Manik Mas    (baik oleh warih/trah Ki Pattih Ulung-Mpu jiwa Ksara, maupun warih/trah dari Ton Kober-tan Kawur-Tan Mundur, Mpu Kenaka Jenggana kayu manis/Pangeran Kayu Mas, maupun De Kayuan (keturunan Ki Mekel Paduwungan/Sri Kesari Warmadewa).

2. Asal-usul sanggah kawitan
            Setelah manusia itu ada, kita sebagai manusia dan umat Hindu jika berpegang kepada wit setelah penciptaan sama dengan mencari asal-usul keturunan, dari manakah diri kita masing-masing. Setelah kami berupaya untuk mencari tahu tentang keberadaan keturunan atau silsilah keturunan merajan kami dibuat, kami sedikit mendapat informasi dari pemangku sanggah dadia kami, yaitu sedikit singkat karena banyak yang tidak mengetahui lebih jelas lagi tentang asal usul sanggah merajan kami dibuat hingga meyakini Bendesa Mas sebagai salah satu Kawitan yang di anut.
            Disini saya tidak mengetahui secara detail mengenai asal mula pembuatan sanggah merajan kami, karena narasumber yang kami wawancarai kurang mengetahui asal mula pembuatan sanggah merajan kami, dan kurang adanya pengembangan informasi pada saat itu. Namun sedikit saya ketahui bahwa Merajan sanggah pertama kali didirikan oleh I Made Griung, yang merupakan leluhur tertua kami yang kawitannya adalah Bendesa Manik Mas.
                                                                       
3. Pelinggih-pelinggih di Merajan
            Adapun Pelinggih-pelinggih yang terdapat di sanggah merajan berjumlah 15, yaitu mulai dari pelinggih Taksu, Surya, Batu Karu, Menjangan saka Luang, Bale piasan, bangunan Pesaren, Rong Tiga, Penunggun karang, Lebuh, Gedong Catu Mujung, Gedong Catu Meres, Gedong Catu Kerucut, Gedong natah, Hyang Kompyang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

3.1 Pelinggih Taksu
            Bangunan ini Berbentuk Gedong, tetapi ada dua macam, yang pertama: Gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua (Rong dua). Macam yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan (Rong dua).
            Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih memiliki pengertiaan dan persepsi yang masih sempit, umpamanya kalau di anggota keluarga tidaka ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu. Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:
            1. Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
            2. Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
            3. Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
            4. Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
            5. Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
            6. Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
            7. Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
            8. Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
            9. Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
            10. Guna Tani profesi sebagai petani.
            Dengan adanya sepuluh kelompok profesi (Guna) memerlukan sekali anugerah Sang Hyang Wiidhi melalui manifestasinya yaitu Sang Bhuta Kala Raja, beliaulah sebagai sedahan Taksu. Taksu itu seseungguhnya adalah kekuatan magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan Gravitasi (gaya tarik), dengan kekuatan tersebut menyatu dengaan kekuatan magis manusia serta membangkitkan kekuatan manusia sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu dibuat sebagai stana Dewa Profesi.
3.1.1 Fungsi Pelinggih Taksu
            Fungsi dari pelinggih Taksu adalah sebagai tempat pemujaan kepada Ratu  Nyoman Sakti Pangadagangan untuk memohon “ Kesidhian “ atau Keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, balian,guru, pedagang,petani, pemimpin masyarakat dan lain-lainnya.

3.1.2 Sarana dan mantram persembahyangan di pelinggih taksu
-          Sarana Prasarana persembahyangan dalam pelinggih Taksu adalah dengan menghaturkan canang tipat Gong ataupun Tipat kelanan.
-          Adapun mantram yang dipakai dalam menghaturkan persembahyangan di pelinggih Taksu ini adalah dengan mengucapkan mantra see/ sesontengan.
-           
3.2 Pelinggih Surya
Yang Malinggih di sana adalah Dewa Surya yang konon dalam mitologi Dewa Surya adalah murid dari Dewa Ciwa yang paling pintar, yang bisa menyamai kepintaran Dewa Ciwa. Sehingga Dewa Surya di beri Gelar Surya Raditya dan dipakai sebagai contoh untuk mengetahui kepintaran atau kesaktian Bhatara Ciwa. Dan sebagai ucapan terimakasih dari Bhatara Surya maka Dewa Ciwa diberi Gelar Kehormatan dengan nama Bhatara Guru, karena beliau guru dari para Dewa. Sehingga kalau kita lihat pengastawa di sanggah natah antara lain:
“Ong Ang Ung Mang, Ong Ciwa Rekaprastika ya namah Swaha”
Bisa juga yang malinggih di Sanggah Natah adalah Sanghyang Siwa Reka yang tiada lain ialah Dewa Ciwa itu sendiri, yang ngereka ( bahasa Bali) atau yang menciptakan Alam Semesta beserta isinya.
3.2.1 Fungsi Bangunan Suci Pelinggih Surya
Fungsi Bangunan Suci Pelinggih Surya adalah untuk menyinari semua yang ada di paekarangan itu atau menjaga semua yang ada di pekarangan itu. Dan merupakan saksi Agung dari segala apa yang kita perbuat.
3.2.2 Sarana dan Mantram pada Bangunan Suci Surya
-          Sarana persembahyangan pada bangunan suci Surya ini adalah dengan menghaturkan canang raka atau Buratwangi, dan pada saat rainan tertentu dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci Surya ini adalah dengan mantram sesontengan atau see.
3.3 Pelinggih Batu karu
Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Pelinggih Batu Karu Pada Merajan adalah sebagai tempat untuk memujaratu hyang Tumuwuh sebagai dewa yang menumbuhkan kesuburan.
3.3.1 Fungsi Pelinggih Batu Karu
            Sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yaitu Ratu Hyang Tumuwuh.
3.3.2 Sarana dan Mantram di Pelinggih Batu Karu         
-          Sarana persembahyangan pada pelinggih Batu Karu ini adalah dengan menghaturkan canang rake atau canang buratwangi, dan pada saat rainan tertentu pada bangunan ini dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan dalam memuja pelinggih Batu Karu ini adalah dengan mantra sesontengan atau see.
3.4 Pelinggih Menjangan Laka Luang
            Bentuk bangunan suci Manjang Sakeluang adalah Gedong juga, hanya memiliki tiang (saka) lima buah saka, yang dibelakang dua buah dan tiga buah di depannya. Tiang yang di depannya, dua tiang  di kanan kirinya lebih pendek sehingga kaki kedua tiang tersebut tidak berpijak pada dasarnya (mengambang).
            Di depan bangunan, tepat pada tiang di tengah diisi sebuah simbol berupa kepala binatang menjangan, hal inilah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat Hindu. Adapun penjelasannya adalah:
            a. Bangunan bertiang lima buah mengandung simbol Panca Rsi.
            b. Kepala Menjangan mengandung maksud Sang Putus atau Maha Rsi.
            c. Binatang menjangan bertanduk bercabang-cabang mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
3.4.1 Sejarah dari berdirinya bangunan suci Menjangan Sakaluang
            Pada Thun Saka 910 sampai 933 di Bali bertahta seorang Raja keturunan Majapahit bernama Gunapriya Dharmapatni (Udayana Warmadewa) pada jaman itu di Bali ada 6 sekte besar yaitu: (1) sekte Bayu yang menyembah Binatang dan Angin, (2) Sekta Kala yang mnyembah tempat-tempat yang angker, (3) Sekta Wisnu yang menyembah Hujan, (4) Sekta Indra yang menyembah Gunung dan Bulan, (5) Sekta Sambu yang menyembah Arca, (6) Sekta Brahma yang mnyembah Surya/Agni.
            Diantara ke enam Sekte tadi sering  terjadi pertentangan paham sehingga sering terjadi keributan kadang-kadang terjadi peperangan antar sekte memperebutkan pengikut. Karena masyarakat tidak pernah tenang maka Raja memandang sangat perlu mendatangkan ahli Rokhaniawan dari Majapahit, dan beliau mengirim utusan ke Majapahit.
            Dari Majapahit mendapatkan tanggapan baik, maka dikirimlah maha Rsi ke Bali yaitu:
            1. Mpu Semeru datang ke Bali pada Tahun Saka 921 banyak karya-karya beliau dan berparhyangan di Tohlangkir (Besakih).
            2. Mpu Gana datang pada Tahun Saka 922 berparhyangan di Gelgel.
            3. Mpu Kuturan datang tahun Saka 923 berparhyangan di Silayukti.
            4. Mpu Gnijaya datang tahun Saka 928 berparhyangan di Bukit Bisbis (Lempuyang).
            5. Kemudian Mpu Baradah datang Tahun Saka 930 beliau membawa ajaran magis tentang penangkal ilmu ilmu hitam, memiliki parhyangan di Silayukti juga, tetapi beliau tidak menetap di Bali.
            Dari Uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang berstana pada bangunan Manjang sakeluang adalah “Sanghyang Panca Rsi”.
3.4.2 Fungsi Pelinggih Menjangan Sakaluang
            Adapun fungsi dari peliunggih menjangan Sakaluang ini adalah untuk mengenang para jasa Rsi Majapahit yang telah menyebarkan agama hindu di Bali.
3.4.3 Sarana dan mantram persembahyangan dalam Pelinggih Menjangan Sakaluang
-          Sarana Persembahyangan yang dihaturkan pada pelinggih menjangan sakaluang adalah dengan menghaturkan canang Raka dalam pelinggih tersebut.
-          Mantram yang digunakan dalam memuja pelinggih menjangan sakaluang ini adalah dengan mengucapkan mantram see/sesontengan.
-           
3.5 Bangunan Bale Piasan
            Bentuk Bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata perhiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti Daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersemmbahkan. Manifestasi Sang Hyang  Widdhi yang berstana Pada bangunan ini adalah “Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widdhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini tidak mesti harus dibuat, boleh juga tidak, tergantung dari luas pekarangan pamerajan.

3.5.1 Fungsi Bale Piasan
            Adapun Fungsi dari Bale Piasan ini adalah  Sebagai tempat pemujaan terhadap ida Bhatara Sami (Dewa yang berstana pada masing-masing pelinggih di merajan), dan juga sebagai tempat untuk tempat Pemangku untuk menganturkan puja dan Bhaktinya kehadapan Ida Sang Widhi Wasa.
3.5.2 Sarana dan mantram persembahyangan dalam Bale Piasan
-          Sarana persembahyangan yang dihaturkan dalam Bale piasan adalah dengan menghaturkan canang Raka dan canang penganteb. Apabila menurut rerahinan besar pada Bale Piasan ini dipersebahkan canang Raka dan canang Pejati.
-           Adapun Mantram yang digunakan dalam Bale piasan tersebut adalah dengan mantram Trisandya, Puja Kramaning  sembah dan juga sesontengan.

3.6 Pelinggih Pesaren
            Bangunan Suci ini mneyrupai bangunan kemulan hanya memiliki dua ruangan (Rong) kanan dan kiri. Di masyarakat Hindu khususnya di Bali Bangunan ini diberi nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada yang menamakan linggih Hyang Kompyang, ada yang mnyebutkan linggih Bethara Hyang, dan ada juga yang memberi sebutan linggih kawitan. Sesungguhnya maksud dari semua penyebutan nama tersebut adalah benar yaitu memiliki maksud dan tujuan bahwa pada bangunan suci tersebut adalah merupakan stananya para Rokh-rokh suci dari suatu clan.
            Pada Bangunan Suci Pesaren adalah Stananya para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat purusa dan predana. Sedangkan pada bangunan suci kemulan juga merupakan stananya Dewa Pitara.
3.6.1 Fungsi Bangunan Suci Pesaren
            Fungsi daripada Bangunan Suci Pesaren adalah  Untuk memuja Stananya para Rohk-Rokh suci (Dewa Pitara) dengan sebutan “Sang Hyang Sri Prajapati” dengan swabhawa Atma dan Antaratma yaitu Rokh-rokh yang bersifat purusa dan predana
3.6.2 Sarana dan Mantram yang digunakan dalam Bangunan Suci Pesaren
-          Sarana persembahyangan yang dihaturkan dalam Bangunan Suci Pesaren ini adalah dengan menghaturkan Canang Raka atau canang Buratwangi.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci pesaren ini adalah dengan sesontengan/see.

3.7 Pelinggih Rong tiga
            Penamaan Ista Dewatanya pada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber-sumber sastra yang ada, adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi memberi kekuatan pada jalan simpang Tiga (Marga Tiga) yaitu ddengan Swabhawa “Sang Hyang Sapuh Jagat”, Beliau bermanifestasi ke pemerajan yaitu pada bangunan suci kemulan dengan  Swabhawa sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemahakuasaan Tri Murti, yaitu dengan manifestasinya Brahma bermanifestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”, dengan swabhawanya Sang Hyang Atma, yang memberikan kekuatan gaib pada rong kanan (Tengen). Sang Hyang Sri guru memiliki kemahakuasaan untuk mengikat dan mengayomi para rokh-rokh suci leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat purusa (laki-laki) atau dengan kata lain Dewa Pitara bersifat Purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana di Rong kanan.
            Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemahakuasaan Tri Murtinya dengan manifestasi Wisnunya berupa swabhawa sebagai Sang Hyang Sri Adhi Guru memiliki kemahakuasaan  sebagai Antaratma untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-rokh Suci leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat Predana (perempuan) dan berstana pada Rong Kiri Kemulan.
3.7.1 Fungsi Bangunan Suci Kemulan (Rong Tiga)
            Fungsi Bangunan Suci Kemulan (rong tiga) adalah sebagai tempat pemujaan terhadap Ida Bhata Hyang Guru Yaitu Brahma, Wisnu, Siwa ( Tri Murti)
3.7.2 Sarana dan Mantram Persembahyangan di Bangunan Suci Kemulan (Rong Tiga)
-          Sarana persembahyangan dalam Bangunan Suci kemulan (rong tiga) ini adalah dengan menghaturkan canang Raka ataupun canang Buratwangi dan daksina. Menurut Rerahinan ataupun tujuan dari masing-masing persembahyangan.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci Kemulan (rong tiga) ini adalah dengan mantram sesontengan/see.

3.8 Pelinggih Penunggun Karang
            Bangunan Suci ini berbentuk tepas sari (seperti Gedong) yang letaknya pada sudut barat laut dari pekaranngan rumah, ditempatkan pada Sudut barat laut karena menurut sumber ajaran Agama Hindu yang disebut sebagai Asta Bumi terkandung di dalamnya lima poembagian wilayah yang disebut Panca Raksa yaitu:
-          Sri Raksa pada sudut Timur Laut adalah tempat atau lokasi Pamerajan.
-          Guru Raksa pada sudut Tenggara adalah tempat bangunan suci lebuh.
-          Durga Raksa pada sudut Barat Daya adalah lokasi Kandang hewan peliharaan, Dapur.
-          Kala Raksa pada sudut Barat Laut adalah Lokasi bangunan suci penunggun karang dab sumur/ sumber mata air, kamar mandi untuk kperluan rumah tangga.
-          Siwa Raksa ditengah pekarangan adalah lokasi bangunan suci Siwa Reka.
Manifestasi Sang Hyang Widdhi yang berstana pada bangunan suci Penunggun Karang adalah “Sang Hyang Durga Manik” sebagai kekuatan pelindung, pengayom, dan pendidik umat manusia. Dikatakan sebagai pelindung dan pengayom karena beliau memiliki kemahakuasaan menolak perbuatan jahat dan beliau memberi anugerah jalan kehidupan manusia agar mencapai keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Dikatakan sebagai pendidik apabila manusia tidak ingat dengan keberadaan beliau maka beliau akan mendidik dengan cara menganggu keserasian, keseimbangan manusia dengfan alam sehingga muncul beberapa permasalahan seperti sakit, keributan rumah tangga, kemandulan dan sebagainya. Dengan demikian beliau memiliki dua kekuasaan yaitu kekuatan Wisesa. Hal inilah yang menjadi simbol kain Poleng (hitam dan putih).
3.8.1 Fungsi Bangunan Suci Penunggun Karang
            Fungsi Bangunan Suci Penunggun Karang ini adalah sebagai tempat untuk memohon perlindungan apabila kita sedang dalam perjalanan jauh ataupun pada saat kita berada dirimah agar terhindar dari marabahaya yang secara skala maupun niskala.
3.8.2 Sarana dan Mantram Bangunan Suci Penunggun Karang
-          Sarana yang dipersembahkan pada bangunan suci Penunggun Karang adalah dengan menghaturkan canang Tipat kelanan ataupun dengan canang Tipat Gong.
-          Mantram yang digunakan dalam memuja Bangunan Suci Penunggun Karang adalah dengan Mantra Sesontengan /see.

3.9 Pelinggih Lebuh
            Bangunan Suci ini berbentuk tepas sari yang letaknya disampig pintu Gerbang, baik disebelah kiri maupun disebelah kanan dari pintu keluar kedua-duanya boleh. Manifestasi Sang Hyang Widdhi yang berstana pada bangunan suci ini Swabhawa “Sanghyang Wisesa”, karena beliau adalah sebagai kekuatan penjaga dan pemberi petunjuk jalan bagi manusia khususnya si pemilik rumah. Disamping itu Beliau adalah Dewa dari Duara Pala. Sesungguhnya duara pala tersebut adalah Sang Panca Kala sebagai sedahan pintu menguasai (lebuh) yang masing-masing menguasai lokasi sebagai berikut :
            1. Sang Maha Kala bersemayam pada Rong Apit Lawang
            2. Sang Adhi Kala bersemayam pada Rong Apit Kiri.
            3. Sang Kala bersemayam tepat pada pintu gerbang.
            4. Sang Dora Kala bersemayam pada aling-aling.
         5. Sang Sunia Kala bersemayam didepan pintu gerbang (ditempat menghaturkan sesajen).
3.9.1 Fungsi Bangunan Suci Lebuh
            Fungsi dari Bangunan Suci Lebuh adalah untuk memuja Sang Hyang Wisesa untuk memohon perlindungan apabila kita sedang ingin berpergian dan untuk menjaga Rumah kita dari gangguan secara Sekala maupun Niskala.
3.9.2 Sarana dan Mantram di Bangunan Suci Lebuh
-          Sarana yang dipersembahkan pada Bangunan Suci Lebuh ini adalah dengan menghaturkan canang Buratwangi ataupun canang Raka. Menurut rerainan apabila pada saat Hari Raya besar pada bangunan suci ini dihaturkan canang Pangkonan
-          Mantram yang digunakan pada saat memuja bangunan suci ini adalah dengan mantra sesontengan/see.

3.10 Pelingih Gedong Catu Mujung
            Bangunan Suci ini berbentuk gedong sari dan bertumpang satu, hal ini merupakan simbol (sawitarka) bahwa manifestasi Sang Hyang Widdhi yang berstana atau distanakan pada bangunan ini memiliki suatu fungsi profesi sesuai dengan kebutuhan kehidupan manusia di dunia.
            Manifestasi Sang Hyang Widdhi yang distanakan pada bangunan suci ini adalah Sang Hyang Sri Sedana, yaitu merupakan Dewi Kesejahteraan dunia (Artha), memberikan jalan atau petunjuk kepada manusia melalui nalurinya untuk dapat mencapai dan menikmati kehidupan yang sejahtera. Sang Hyang Sri Sedana memiliki dua profesi yaitu: Sang Hyang Sri Sedana Ngerem dan Sang Hyang Sri Rambut Sedana.
3.10.1 Fungsi Bangunan Suci Gedong Catu Mujung (Gedong Bertumpang Satu)
            Fungsi daripada Gedong Catu Mujung ini adalah sebagai tempat memuja Sang Hyang Sri Sedana Yaitu untuk memohon kesejahteraan dunia (Artha) agar diberikan jalan atau petunjuk kepada manusia melalui nalurinya untuk dapat mencapai dan menikmati kehidupan yang sejahtera.
3.10.2 Sarana dan Mantram pada Bangunan Suci Gedong Catu Mujung
-          Sarana yang digunakan dalam persembahan Bangunan Suci Gedong Catu Mujung adalah dengan menghaturkan Canang Raka atau Canang Buratwangi. Apabila pada saat Hari raya Besar seperti Galungan /Kuningan dihaturkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan pada saat memuja Bangunan Suci Gedong Catu Mujung ini adalah dengan mantra sesontengan/see.

3.11 Pelinggih gedong Catu Meres
            Bentuk bangunan ini berbentuk Gedong Sari tidak bertumpang, dan letaknya di Pemerajan bersebelahan/letaknya dengan bangunan suci Gedong Catu Mujung. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana atau distanakan pada bangunan ini adalah “Sang Hyang Sri Dewi” sebagai dewa kesuburan dan menjadi simbul Dewa Padi dan beras den gan sebutan  “Sang Hyang Manik Galih”. Untuk lebih jelasnya kami mencantumkan petikan salah satu sumber ajaran Agama Hindu sebagai berikut :
            SRI MURTI SRI JIWATMAKEM,
            SRI WARNA SRI PURNA WIRYAM,
            SRI WERDI MANDALA JIWEM
            SRI WEYEM SUDHA JAGANEM
                                    (Puja Parikrama Sarahita Samapta. 75)
Arti Bebas:
            Sang Hyang Sri Dewi memiliki kemahakuasaan dan merupakan jiwa dari alam semesta, Beliau merupakan sumber kesuburan dan kebahagiaan. Dewi Sri selalu bekerja untuk kehidupan, serta membersihkan jagat raya.
3.11.1 Fungsi Bangunan Suci Gedong Catu Meres.
            Fungsi Dari Bangunan Suci Gedong Catu Meres adalah untuk memuja Sang Hyang Sri Dewi yaitu sebagai dewa padi dan beras sebagai dewi kesuburan.
3.11.2 Sarana dan Mantram pada Bangunan Suci Gedong Catu Meres
-          Sarana persembahyangan pada bangunan Suci Gedong Catu Meres adalah dengan menghaturkan canang Raka atau Banten Burat wangi, dan pada rainan tertentu dihaturkan canang pangkonan.
-          Mantram yang dipergunakan pada Bangunan Suci Gedong Catu Meres ini adalah dengan mantram sesontengan atau see.

3.12 Pelinggih Gedong Catu Kerucut
            Bangunan ini juga berbentuk Gedong tetapi pada atapnya dibentuk kerucut, adalah merupakan simbul gunung, letaknya disebelah bangunan gedong catu meres atau tepat pada pojok timur laut dari pekarangan Pemerajan. Manifestasi Sang Hyang Widdhi yang berstana pada Bangunan ini adalah “Sang Hyang Giri Jaya”. Beliau menjadi simbul Dewa Gunung, kemahakuasaan Beliau adalah menganugerahi keteguhan iman (Dharma).
            Giri artinya Gunung, sedangkan gunung di ilustrasikan kokoh/teguh. Jaya artinya menang, jadi kata Giri jaya dapat diartikan sehubungan dengan konteks spiritual, yaitu keteguhan iman atau keberhasilan dalam pengendalian diri selama hidup di dunia untuk mencapai Moksartham Atmanam (Nirwana) dan Moksartham Jagathita Ya Ca Iti Dharma.
3.12.1 Fungsi bangunan  suci Gedong Catu Kerucut
            Fungsi Bangunan suci Gedong Catu Kerucut adalah sebagai tempat pemujaan pada sang Hyang Giri Jaya yaitu sebagai simbol kemahakuasaan dan yang menganugerahi keteguhan Iman.
3.12.2 Sarana dan mantram pada Bangunan Suci Gedong Catu Meres
-          Sarana persembahyangan pada Bangunan Suci Gedong Catu Meres ini dalah dengan menghaturkan canang Raka atau canang Buratwangi, dan pada hari Raya tertentu dipersembahkan Canang Pangkonan.
-          Mantram yang digunakan pada bangunan suci ini adalah dengan mantram sesontengan atau see.

3.13 Pelinggih Gedong Natah
            Bangunan ini berbentuk Gedong Sari yang letaknya di tengah pekarangan rumah (puser natah), dan yang distanakan adalah manifestasi Sang Hyang Widdhi sebagai pencipta alam semesta dengan swabhawa “Sang Hyang Siwa Reka. Disebut Siwa Reka karena Sang Hyang Siwa menciptakan (ngereka, bahasa bali) alam semesta, beserta isinya, sama dengan Sang Hyang Eka Bumi, sebagai pencipa planet-planet.

3.13.1 Fungsi Bangunan Suci Gedong natah
            Fungsi bangunan Suci Gedong Natah adalah sebagai tempat untuk memuja manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai alam semesta dengan Swabhawa Sang Hyang SiwaReka.
3.13.2 Sarana dan Mantram Pada Bangunan Suci Gedong natah
-          Sarana Persembhayangan pada bangunan Suci Gedong Natah yaitu dengan menghaturkan canang raka atau canang Buratwangi,, dan pada Hari raya tertentu dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan untuk memuja Bangunan Suci Gedong Natah adalah degan mantram sesontengan atau see.

3.14. Pelinggih Hyang Kompyang
            Pelinggih Suci Hyang Kompyang adalah pelinggih yang merupakan tempat berstananya Para leluhur atau hyang leluhur yang sudah suci, dan merupakan tempat untuk memuja roh-roh para leluhur kita yang sudah bersih atau sudah melewati masa pengabenan.
3.14.1 Fungsi Pelinggih Suci Hyang Kompyang
            Fungsi Pelinggih Suci Hyang Kompyang adalah untuk memuja para leluhur yang sudah bersih atau sudah melewati Upacara pengabenan.
3.14.2 Sarana dan Mantram yang digunakan Pada Pelinggih Hyang Kompyang
-          Sarana Upacara yang dipersembahkan Pada Pelinggih Hyang Kompyang adalah Sode / Rayunan dan juga Kopi dan Jajan pada persembahyang sehari-hari.
-          Mantram yang digunakan pada Pelinggih hyang Kompyang adalah mantram sesontengan /see.

3.15 Pelinggih Penglurah
            Bangunan Suci ini memiliki dua macam bentuk, ada yang memakai bentuk tepas sari (sepertoi gedong) dan ada juga yang memakai bentuk tepasana (tidak beratap). Kedua-duanya boleh. Mengenai pengertian penglurah perlu kami kaji agar para pembaca khususnya Umat Hindu memperoleh pengertian dan persepsi yang sama serta benar. Kata penglurah asal katanya lurah yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng menjadi kata kerja, jadi penglurah artinya bertugas menjadi pembantunya para Dewa atau Dewata (menjadi patihnya) pada setiap Pura/pamerajan. Penglurah ini adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widdhi dengan Swabhawa “Butha Dewa” yang maksudnya setengah Dewa, setengah Butha, termasuk kelompok Gandarwa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga juru bicara atau sebagai katalisator anatara dewa, Dewata dengan manusia sebagai umatnya.

3.15.1 Fungsi Bangunan Suci Penglurah
            Fungsi Bangunan Suci Penglurah adalah sebagai tempat untuk memuja manifestasi sang Hyang Widhi dengan Swabhawanya Butha Dewa.
3.15.2 Sarana dan Mantram Bangunan Suci Penglurah
-          Sarana yang dipersembahkan pada Bangunan Suci Penglurah adalah dengan menghaturkan canang Raka atau canang buratwangi, dan pada saat upacara tertentu dipersembahkan canang pangkonan.
-          Mantram yang digunakan pada Bangunan suci Penglurah ini adalah dengan mantram sesontengan atau see. (Sudarsana.1998:46)

Daftar Pustaka
Tim Pengkaji dan Babad Manik Mas. Denpasar, 9 April 2000 (Sejarah dan Babad Bandesa Manik Mas)
Drs.I.B.Putu Sudarsana,MBA.MM (Manifestasi Sang Hyang Widhi)