Jumat, 05 Mei 2017

Ringkasan Kitab Bhagawadgita Bab XVI



KESUSASTRAAN HINDU I
REVIEW BHAGAVADGITA BAB XVI

OLEH
I NYOMAN ALIT
NIM: 14.1.1.1.1.115




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2017

KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan asung kerta waranugraha Beliau penulis dapat menyelesaikan tugas akhir Mata Kuliah Kesusastraan Hindu I yaitu meriview atau meresume salah satu Bab dari Bhagavadgita dan mengkaji tentang ajaran yang terkandung di dalam Bab tersebut. Disini penulis meresume atau meriview Bhagavadgita Bab XVI tentang sifat-sifat rohani dan sifat jahat.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :
1.    Bapak I Made Arsa Wiguna, SST. Par., M.Pd.H, selaku Dosen Mata Kuliah.
2.    Orang tua yang telah membantu baik moril maupun materi
3.    Rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini 

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari Dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis untuk lebih baik  di masa yang akan datang.

Om santih, santih, santih, om

Denpasar, 12 Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................  i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I             PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3  Tujuan penulisan............................................................................................... 2

BAB II            PEMBAHASAN
2.1 Review Bhagavadgita Bab XVI.....................................................................   3
2.2 Ajaran yang terkandung dalam Bhagavadgita Bab XVI................................  14

BAB III          PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................  20
3.2 Saran..............................................................................................................  20

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
      Hindu merupakan salah satu agama yang ada di Indonesia dari enam agama yang diakui. Agama Hindu adalah agama yang pertama kali berkembang di Indonesia. Ajaran agama Hindu itu bersifat fleksibel dan universal. Fleksibel artinya tidak kaku, ajaran agama Hindu sering dikatakan sebagai sanatana dharma yang artinya kekal abadi, tetapi fakta di lapangan bahwa ajaran agama Hindu itu dapat menyesuaikan dengan situasi kondisi dan sesuai dengan jaman yang berkembang (anutana dharma). Universal artinya bahwa ajaran agama Hindu dapat diterima secara luas bukan hanya oleh umat Hindu tetapi oleh umat yang lain di dunia. Weda adalah kitab suci agama Hindu.  Weda berasal dari akar kata sanskerta yaitu vid yang artinya pengetahuan, secara harfiah weda dapat diartikan sebagai pengetahuan suci. Weda mempunyai sifat apaurusyam yang artinya bahwa weda tidak dibuat oleh manusia tetapi diwahyukan oleh Tuhan melalui para Maha Rsi di India. Anadhi-ananta yang artinya bahwa weda tidak berawal dan tidak berakhir, hal inilah yang menjadi alasan mengapa Hindu tidak memiliki kitab suci yang dibukukan menjadi satu buku (kitab) seperti agama lainnya. Karena bersifat anadhi-ananta atau tidak berawal dan tidak berakhir inilah agama Hindu tidak memiliki satu buku Weda tetapi banyak karena tidak mungkin untuk membukukan sesuatu yang tidak ada awal dan tidak ada akhirnya.
      Bhagavadgita salah satu dari kitab suci agama Hindu sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas dan para sarjana-sarjana di dunia. Bhagavadgita dapat dijadikan sebagai pedoman hidup karena isi dari kitab Bhagavadgita adalah wejangan-wejangan dari Sri Krsna kepada Arjuna ketika perang Bharatayudha berlangsung. Kitab Bhagavadgita dikatakan sebagai Weda yang kelima setelah Catur Veda Samhita (Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda) sehingga disebut sebagai Pancamo Veda. Kenapa Bhagavadgita dikatakan sebagai Weda yang kelima? Karena kitab Bhagavadgita diturunkan atau disampaikan atau disabdakan secara langsung oleh Awatara Wisnu yaitu Sri Krsna. Karena itu hendaknya Bhagavadgita diterima dengan jiwa bhakti. Bhagavadgita disabdakan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebodohan kehidupan material. Setiap orang mengalami kesulitan dalam banyak hal, semua penuh dengan kecemasan karena kehidupan material ini. Kehidupan manusia berada dalam suasana ketiadaan.
      Bhagavadgita yang dapat dijadikan pedoman bertingkah laku oleh umt manusia sebagai cerminan dari kisah perang Bharatayuddha yang terjadi di kuruksetra, menjelaskan banyak hal di dalamnya. Pada kesempatan ini penulis akan mengkaji salah satu Bab dari Bhagavadgita yaitu Bab XVI yang menjelaskan tentang sifat rohani dan sifat jahat. Di dalam makalah yang penulis buat ini akan dikaji secara jelas tentang ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Bab XVI Bhagavadgita ini.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana ringkasan dari kitab Bhagavadgita Bab XVI?
1.2.2        Ajaran agama Hindu apa saja yang terkandung di dalam Bhagavadgita Bab XVI?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI.
1.3.2        Untuk mengetahui ajaran agama Hindu yang terkandung di dalam Bhagavadgita Bab XVI







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Review Bhagavadgita Bab XVI Sifat Rohani Dan Sifat Jahat
            Dalam Bab XVI (enam belas) ini, Tuhan Yang Maha Esa menjelaskan sifat rohani dan sifat jahat masing-masing dengan ciri-cirinya. Beliau juga menjelaskan manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian akibat sifat-sifat tersebut. Pada awal Bab XV (lima belas) pohon beringin dunia material telah dijelaskan dengan sangat baik. Akar-akar tambahan yang keluar dari pohon itu diumpamakan sebagai kegiatan makhluk hidup. Beberapa dari kegiatan tersebut menguntungkan, dan beberapa diantaranya tidak menguntungkan atau merugikan. Dalam Bab IX (sembilan) juga dijelaskan tentang para dewa, atau kepribadian-kepribadian yang suci, dan para asura, atau kepribadian-kepribadian yang jahat dan tidak suci, atau raksasa. Menurut upacara-upacara Veda, kegiatan dalam sifat kebaikan menguntungkan demi kemajuan dalam menempuh jalan pembebasan, dan kegiatan seperti itu terkenal sebagai daivi-prakrti, atau kegiatan yang bersifat rohani. Orang yang mantap dalam sifat rohani maju menempuh jalan pembebasan. Di pihak lain orang yang bertindak dalam sifat-sifat nafsu dan kebodohan tidak mungkin mencapai pembebasan. Mereka harus tetap tinggal di dunia material ini sebagai manusia, atau mereka akan merosot hingga dilahirkan sebagai berbagai jenis binatang atau jenis-jenis kehidupan yang lebih rendah.
            Kata abhijatasya berkaitan dengan orang-orang yang dilahirkan dari sifat-sifat rohani atau kecendrungan-kecendrungan suci yang bermakna. Sifat-sifat rihani yang dimaksud dalam Bab XVI (enam belas) ini adalah : kebebasan dari rasa takut, penyucian kehidupan, pengembangan pengetahuan rohani, kedermawanan, mengendalikan diri, pelaksanaan korban suci, mempelajari veda, pertapaan, kesederhanaan, tidak melakukan kekerasan, kejujuran, kebebasan dari amarah, pelepasan ikatan, ketenangan, tidak mencari-cari masalah, kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, pembebasan dari lobha, sifat lembut, sifat malu, ketabahan hati yang mantap, kekuatan, mudah mengampuni, sifat ulet, kebersihan, kebebasan dari rasa iri dan gila hormat. Itulah sifat-sifat rohani yang akan dijelaskan dalam Bab XVI (enan belas) ini.
            Bebas dari rasa takut yang merupakan sifat rohani, hendaknya dimiliki oleh setiap orang. Tetapi dalam uraian Bab ini bebas dari rasa takut ini diperuntukkan bagi seorang sannyasi atau orang yang sudah mencapai tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan. Dalam ajaran catur varna yaitu empat golongan dalam masyarakat yang terdiri dari Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra, seorang Brahmana dianggap guru kerohanian bagi ketiga golongan masyarakat lainnya, tetapi seorang sannyasi yang mempunyai kedudukan tertinggi diantara keempat golongan tersebut, juga dianggap sebagai guru kerohanian bagi para brahmana. Bagi seorang sannyasi kwalifikasi yang pertama harus dimiliki adalah bebas dari rasa takut. Oleh karena seorang sannyasi harus tinggal sendirian tanpa dukungan atau jaminan hidup apa pun, ia harus bergantung pada karunia Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan jiwa seperti itu dibutuhkan pada tingkatan hidup yang meninggalkan ikatan-ikatan duniawi.
            Seorang sannyasi setelah mampu mengendalikan diri untuk bebas dari rasa takut, kemudian ia harus menyucikan kehidupannya. Terdapat banyak aturan dan peraturan yang harus ditaati dan harus diikuti pada tahap tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Yang paling penting, seorang sannyasi dilarang keras mempunyai hubungan dekat dengan seorang wanita. Seorang sannyasi dilarang berbicara dengan seorang wanita di tempat yang sepi. Ini bukanlah suatu tanda benci terhadap kaum wanita melainkan yang dikenakan dan harus dilaksanakan bagi seorang sannyasi supaya ia jangan memelihara hubungan yang erat dengan seorang wanita. Seseorang harus mengikuti dan mentaati peraturan tingkat hidup tertentu untuk menyucikan kehidupannya. Hubungan erat dengan seorang wanita dan memiliki kekayaan demi kepuasan indria-indria dilarang keras bagi seorang sannyasi. Bagi seorang sannyasi dan bagi siapapun yang ingin keluar dari cengkraman dunia material dan sedang berusaha untuk mengangkat diri untuk sampai pada dunia rohani hingga mencapai kelepasan atau moksa, kembali pada Tuhan Yang Maha Esa, memandang harta benda dan wanita demi kepuasan indria-indria, jangankan menikmatinya, tetapi hanya memandang dengan kecendrungan seperti itu, sangat disalahkan sehingga mengalami keinginan yang tidak sah seperti itu lebih buruk daripada bunuh diri. Proses tersebut adalah proses-proses penyucian diri.
            Menekuni pengembangan pengetahuan (jnana yoga vyavasthiti) bagi seorang sannyasi dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan kepada orang yang sudah berumah tangga dan orang lain yang sudah melupakan kehidupan kemajuan rohaninya yang sejati. Seharusnya seorang sannyasi meminta-minta dari rumah ke rumah untuk pencahariannya, tetapi ini bukan berarti bahwa dia pengemis. Sifat rendah hati juga merupakan salah satu kwalifikasi orang yang mantap secara rohani. Karena dengan sifat rendah hati saja seorang sannyasi pergi ke rumah-rumah bukan untuk mengemis melainkan untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah berumah tangga yang tujuannya adalah menyadarkan mereka tentang kewajiban bagi orang yang telah memasuki jenjang Grhasta Asrama. Inilah kewajiban bagi seorang sannyasi. Tetapi meskipun seseorang telah menerima tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan hal-hal duniawi, tanpa memiliki pengetahuan yang cukup, sebaiknya ia tekun mendengar dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya untuk mengembangkan pengetahuannya. Seorang sannyasi atau seseorang yang sudah mencapai tingkatan hidup untuk meninggalkan ikatan hal-hal duniawi harus mantap dalam pembebasan dari rasa takut, kesucian (sattva samsuddhi), dan pengetahuan (jnana yoga).
            Unsur berikutnya yaitu kedermawanan. Kedermawanan dimaksudkan untuk orang yang telah berumah tangga. Orang yang telah berumah tangga hendaknya mencari nafkah dengan cara halal dan mengeluarkan lima puluh persen dari pendapatannya harus disumbangkan kepada orang yang membutuhkan dan diberikan kepada perkumpulan-perkumpulan atau lembaga-lembaga yang mengelola bidang kerohanian. Sebaiknya sumbangan diberikn kepada orang yang patut untuk menerimanya. Ada berbagai jenis kedermawanan, yang dapat dikategorikan sebagai kedermawanan dalam sifat-sifat kebaikan, kedermawanan dalam sifat-sifat nafsu dan dan kedermawanan dalam sifat-sifat kebodohan. Kedermawanan dalam sifat-sifat kebaikan yang dianjurkan dalam Veda, tetapi kedermawanan dalam sifat-sifat nafsu dan kebodohan tidak dianjurkan sebab hal itu hanya akan memboroskan uang saja.
            Mengenai dama (mengendalikan diri) itu tidak hanya dimaksudkan untuk golongan-golongan lain dalam masyarakat beragama, tetapi khususnya dimaksudkan untuk orang yang sudah berumah tangga. Walaupun suami-istri yang sah, sebaiknya jangan menggunakan indrianya untuk hubungan badan yang tidak diperlukan. Ada aturan untuk orang yang berumah tangga, bahkan dalam hubungan badan sekalipun. Hubungan suami-istri sebaiknya hanya digunakan untuk memiliki dan memelihara anak. Kalau dia tidak ingin mendapatkan anak, sebaiknya dia menghindari menikmati hubungan badan tersebut. Masyarakat modern menikmati hubungan badan itu dengan cara-cara pencegahan kehamilan taupun dengan cara-cara yang lebih jahat dari pada itu hanya untuk melepaskan tanggung jawab. Ini bukan sifat rohani, melainkan sifat yang kurang baik. kalau seseorang, termasuk orang yang berumah tangga ingin maju dalam kehidupan rohani, dia harus mengendalikan hubungan suami-istri dan jangan mendapatkan anak dengan tanpa tujuan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
            Korban suci adalah unsur lain yang untuk dilaksanakan oleh orang yang telah berumah tangga, sebab korban suci membutuhkan dana yang cukup besar. Dari golongan kehidupan lainnya, yaitu brahmacarya, vanaprastha, dan sannyasa, tidak mampu untuk melaksanakan korban suci ini karena tidak mempunyai uang, mereka hidup dengan cara mengemis. Karena itu pelaksanaan berbagai jenis korban suci dimaksudkan bai orang yang berumah tangga. Sebaiknya mereka melakukan korban suci sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kitan suci Veda. Tetapi saat ini korban-korban suci memerlukan biaya yang cukup besar sekali, dan tidak semua orang yang sudah berumah tangga akan mampu untuk melaksanakan korban suci dengan biaya yang besar. Korban suci yang paling efektif dan semua orang bisa melakukannya serta akan mendapatkan manfaat adalah sankirtana yajna. Sankirtana yajna adalah sebuah korban suci dengan mengucapkan mantra memuja nama-nama suci Tuhan. Jadi tiga unsur tadi yakni kedermawanan, pengendalian diri dan pelaksanaan korban suci dimaksudkan bagi orang yang sudah berumah tangga.
            Kemudian svadhyaya atau mempelajari Veda, dimaksudkan bagi golongan brahmacarya, atau kehidupan sebagai siswa. Sebaiknya para brahmacarya tidak mempunyai hubungan apa pun dengan seorang wanita. Mereka harus hidup dengan berpantang hubungan dengan wanita dan menekunu pelajaran khusus tentang kesusatraan Veda untuk mengembangkan pengetahuan rohani. Ini disebut dengan svadhyaya.
            Tapas atau pertapaan khususnya bagi orang yang sudah mengundurkan diri dari kehidupan duniawi. Hendaknya seseorang jangan tetap berumah tangga sampai tutup usia, ia harus ingat ada empat bagian dalam kehidupan ini yaitu brahmacarya, grhastha, vanaprastha dan sannyasa. Karena itu sesudah grhastha atau kehidupan berumah tangga, sebaiknya seseorang mengundurkan diri. Kalau seseorang hidup sampai seratus tahun, sebaiknya dia sebagai siswa selama dua puluh lima tahun, dua puluh lima tahun hidup berumah tangga, dan dalam dua puluh lima tahun hidup dalam mengundurkan diri, dan dalam dua puluh lima tahun lagi hidup pada tingkatan untuk meninggalkan ikatan terhadap hal-hal duniawi. Inilah yang disebut sebagai disiplin keagamaan dalam Veda. Orang yang sudah mengundurkan diri dari kehidupan berumah tangga harus mempraktekkan pertapaan dengan badan, pikiran dan lidah. Itulah tapasya. Tanpa tapasya atau pertapaan, seorang manusia tidak akan dapat mencapai pembebasan. Teori bahwa pertapaan tidak diperlukan dalam kehidupan yaitu bahwa seseorang dapat berangan-angan terus dan segala sesuatu akan baik-baik saja, tidak dianjurkan baik dalam kesusastraan Veda maupun dalam Bhagavadgita. Kalau ada pantangan, aturan dan peraturan, orang tidak akan tertarik. Teori seperti itu hanya dibuat oleh rohaniawan-rohaniawan gadungan yang ingin mendapatkan pengikut lebih banyak. Tetapi cara seperti itu tidak dibenarkan dalam Veda.
            Mengenai keserhanaan, yang dimiliki oleh seorang brahmana, hendaknya bukan hanya golongan tertentu yang mengikuti prinsip ini, melainkan semua anggota masyarakat, baik itu brahmacari asrama, grhastha asrama, vanaprastha asrama dan sannyasa asrama. Sebaiknya semua orang sangat sederhana dan transparan.
            Ahimsa berarti tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup mana pun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain. Sebaiknya seseorang jangan berpikir bahwa oleh karena bunga api rohani atau sang roh tidak pernah terbunuh, bahkan sesudah badan terbunuh, tiada salahnya dia membunuh binatang demi kepuasan indria-indria. Saat ini orang kecanduan memakan binatang, walaupun ada persedian biji-bijian, padi-padian, buah-buahan dan susu secukupnya. Binatang tidak perlu dibunuh. Inilah peraturan bagi semua orang. Bila tidak ada pilihan lain seseorang boleh membunuh binatang, tetapi hendaknya binatang itu dipersembahkan sebagai korban suci.
            Satyam, kata ini berarti bahwa seseorang jangan memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan sendiri. Dalam ksesusastraan Veda terdapat beberapa ayat-ayat suci yang sangat susah untuk dipahami, tetapi hal itu dapat ditanyakan kepada seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya. Itulah proses untuk mengerti Veda. Sruti berarti sebaiknya seseorang mendengarkan dari sumber yang dapat dipercaya. Hendaknya seseorang jangan menafsirkan arti sesuatu demi kepentingannya pribadi.
            Akrodha berarti mengendalikan amarah. Walaupun seseorang digoda hendaknya dia bersikap toleransi, sebab begitu seseorang menjadi marah maka seluruh badannya akan dicemari. Amarah adalah akibat sifat nafsu dan birahi, karena itu orang yang mantap dalam sikap kerohanian hendaknya mengendalikan diri supaya tidak menjadi marah. Apaisunam berarti sebaiknya seseorang jangan mencari-cari kesalahan orang lain atau menegur mereka kalau tidak diperlukan. Tentunya bagi seorang pencuri dijuluki pencuri itu bukan berarti mencari-cari kesalahan, tetapi orang yang jujur dikatakan pencuri maka itu merupakan kesalahan yang besar sekali bagi orang yang ingin maju dalam kehidupan rohani. Hri berarti hendaknya seseorang bersikap sopan dan rendah hati dan jangan melakukan perbuatan yang menjijikkan. Acapalam atau ketabahan hati, berarti hendaknya seseorang jangan goyah dan merasa frustasi dalam suatu usaha. Barangkali dia gagal dalam suatu usaha, tetapi hendaknya dia jangan menyesal.
            Saucam berarti kebersihan, bukan hanya dalam pikiran dan badan, tetapi juga dalam tingkah laku. Ini khususnya bagi masyarakat pedagang. Hendaknya mereka jangan berdagang di pasar gelap. Nati manita atau tidak mengharapkan penghormatan, berlaku bagi para sudra atau golongan buruh, yang dianggap golongan paling rendah diantara empat golongan yang ada menurut Veda. Sebaiknya mereka jangan sombong dengan kemasyuran atau penghormatan yang tidak diperlukan dan hendaknya mereka tetap dalam status mereka sendiri. Kewajiban para sudra adalah menghormati ketiga golongan yang lebih tinggi untuk memelihara ketertiban masyarakat.
            Seseorang dengan sifat-sifat jahat akan memiliki sikap bangga, sombong, tak peduli, amarah, sikap kasar dan kebodohan. Mereka selalu sombong atau bangga karena memiliki sejenis pendidikan dan kekayaan. Mereka ingin disembah oleh orang lain, walaupun mereka tidak layak dihormati. Mereka tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukan.
            Di dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Para makhluk yang terikat dibagi menjdi dua golongan. Orang yang dilahirkan dengan sifat-sifat suci mengikuti kehidupan yang teratur yaitu mereka mematuhi aturan dalam kitab suci dan aturan yang diberikan oleh para penguasa. Orang yang tidak mematuhi prinsip-prinsip yang mengatur sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci dan bertindak menurut selera pribadi disebut orang jahat atau memiliki sifat asura. Disebutkan dalam Veda bahwa para Dewa dan Asura sama-sama dilahirkan dari Prajapati. Satu-satunya perbedaannya ialah bahwa golongan yang satu mematuhi aturan Veda dan yang lainnya tidak.
            Dalam Manu-samhita dinyatakan dengan jelas bahwa wanita hendaknya jangan diberikan kebebasan. Ini bukan berarti bahwa wanita harus diperbudak, tetapi wanita seperti anak-anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan bukan berarti itu diperbudak. Sekarang orang yang jahat mengalpakan itu semua, mereka menganggap wanita seharusnya diberikan kebebasan sama seperti pria. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak memperbaiki keadaan masyarakat di dunia ini. Sebenarnya, seorang wanita harus diberi perlindungan pada setiap tahap kehidupannya.dalam usia muda seorang wanita harus dilindungi oleh ayahnya, dalam uasia remaja dia harus dilindungi oleh suaminya, dan dalam usia tua ia harus dilindungi oleh putra-putranya yang sudah dewasa. Inilah tingkah laku yang layak menurut Manu-samhita. Tetapi pendidikan modern sudah menciptakan paham kehidupan wanita yang bersifat sombong secara tidak wajar, sehingga dibeberapa tempat di dunia pernikahan hampir merupakan bayangan belaka dalam masyarakat manusia. Keadaan moral kaum wanita saat ini juga tidak begitu baik. karena itu orang-orang jahat tidak menerima pelajaran mana pun yang baik di masyarakat, sebab mereka tidak mengikuti pengalaman-pengalaman para Maha Rsi terdahulu yang mulia akan aturan dan peraturan di masyarakat. Keadaan masyarakat orang jahat akan sangat sengsara.
            Orang jahat menarik kesimpulan bahwa dunia adalah angan-angan belaka. Mereka menganggap bahwa tidak sebab maupun akibat, tidak ada yang mengendalikan, tidak ada tujuan. Segala sesuatu tidak nyata. Mereka mengatakan bahwa manifestasi alam semesta timbul karena perbuatan material dan reaksi yang terjadi hanya kebetulan saja. Mereka tidak mengakui bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan tertentu. Mereka mempunyai teori tersendiri bahwa dunia ini timbul dengan sendirinya dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa penyebab dunia ini. Menurut mereka tidak ada perbedaan antara roh dan alam dan mereka tidak mengakui Roh Yang Paling Utama. Segala sesuatu hanya unsur-unsur alam saja, seluruh alam semesta dianggap sebagai sebatang kebodohan. Menurut mereka segala sesuatu adalah kekosongan dan manifestasi apa pun yang ada disebabkan oleh kebodohan kita dalam usaha mengerti hal-hal itu. Mereka menduga bahwa segala manifestasi keanekaragaman adalah perwujudan kebodohan. Seperti halnya dalam impian barangkali kita menciptakan beggitu banyak benda yang sebenarnya tidak nyata, begitu pula ketika kita sadar akan terlihat bahwa segala-galanya hanya merupakan bayangan saja. Tetapi sebenarnya walaupun orang jahat mengatakan bahwa kehidupan adalah sebuah impian, mereka ahli sekali menikmati impian itu. Karena itu mereka tidak memperoleh pengetahuan melainkan mereka terjerumus dalam dunia material yang sebenarnya bersifat semu. Mereka menarik kesimpulan bahwa seperti halnya anak hanya merupakan hasil dari hubungan suami istri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, begitu pula dunia ini dilahirkan tanpa rohnya. Menurut mereka dunia hanyalah gabungan unsur-unsur alam yang sudah menghasilkan makhluk hidup dan adanya sang roh tidak mungkin. Seperti banyak makhluk hidup keluar dari keringat dan dari bangkai tanpa sebab, seluruh dunia lahir dari gabungan-gabungan material manifestasi alam semesta. Karena itu alam material adalah sebab manifestasi ini, tidak ada sebabnya selain itu. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang ada di dunia ini adalah atas kehendak beliau atau Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ciptaan dunia ini.
            Orang jahat menekuni kegiatan yang akan membawa dunia ke jurang kehancuran. Orang-orang yang kurang cerdas dan orang duniawi tidak memahami Tuhan. Tetapi dalam Bhagavadgita mereka disebut kurang cerdas dan tidak mempunyai otak sama sekali. Mereka selalu sibuk untuk menemukan sesuatu untuk kepuasan indria. Penemuan duniawi seperti itu dianggap sebagai kemajuan peradaban masyarakat manusia, tetapi akibatnya orang semakin keras dan kejam. Kejam terhadap binatang dan kejam terhadap sesama manusia. Mereka tidak memahami bagaimana tingkah laku yang abik dengan sesama manusia. Membunuh binatang adalah suatu kejahatan yang menonjol sekali dikalangan orang jahat. Orang seperti itu adalah musuh dunia, sebab mereka akan menciptakan sesuatu yang akan mengakibatkan semua orang di duni ini akan hancur dan musnah. Secara tidak langsung hal ini meramalkan akan penemuan senjata-senjata nuklir yang dibanggakan oleh seluruh dunia dewasa ini. Perang dapat meledak setiap saat, dan senjata-senjata atom tersebut akan menyebabkan kehancuran dan mengakibatkan pembinasaan. Benda-benda seperti ini memang dirancang untuk menghancurkan dunia. Oleh karena orang-orang tidak percaya dengan Tuhan, senjata-senjata tersebut ditemukan oleh manusia, senjata tersebut tidak diamksudkan untuk kedamaian dan kesejahteraan atau kemakmuran dunia.
            Hawa nafsu orang jahat tidak dapat dipuaskan. Mereka akan terus-menerus meningkatkan keinginan yang tidak dapat dipuaskan. Orang jahat seperti itu tidak menerima hal-hal yang tidak kekal, menciptakan Tuhan sendiri, mengarang doa-doa pujaan sendiri dan mengucapkannya dengan caranya sendiri. Orang jahat menganggap bahwa kenikmatan indria adalah tujuan hidup tertinggi, dan paham ini dipegangnya sampai meninggal. Mereka tidak percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan mereka tidak percaya bahwa seseorang menerima berbagai jenis badan menurut karma-nya, atau kegiatannya di dunia ini.
            Orang jahat yang tidak percaya kepada Tuhan maupun Roh Yang Utama di dalam dirinya, melakukan segala jenis dan bentuk kegiatan yang berdosa untuk kepuasan indrianya. Ia tidak mengetahui bahwa ada saksi yang bersemayam dalam dirinya. Roh Yang Utama menyaksika kegiatan roh individual. Dalam upanisad dinyatakan ada dua ekor burung yang hinggap pada sebatang pohon, yang satu bertindak dan menikmati atau menderita buah-buah pada cabang-cabang pohon tersebut, sedangkan yang lagi satu menyaksikannya. Akan tetapi orang jahat tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci, maupun kepercayaan apa pun, karena ia merasa dirinya bebas untuk melakukan apa pun demi kenikmatan indria-indria duniawinya, dia tidak menghiraukan apa akibatnya kelak. Orang jahat selalu menentang Kemahakuasaan Tuhan dan dia tidak percaya kepada Kitab Suci. Ia tidak mengetahui bahwa kehidupan sekarang adalah persiapan untuk penjelmaan yang akan datang. Ia melakukan kekerasan terhadap badan-badan yang lain dan badannya sendiri. Dia tidak mempedulikan Kemahakuasaan Tuhan, karena ia tidak mempunyai pengetahuan. Dia menganggap bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya dalam hal kekuatan, kewibawaan dan kekayaan, sehingga ia berbuat semena-mena.
Penempatan roh individu dalam badan adalah atas kehendak Yang Mahakuasa, penjelmaan makhluk hidup yang akan datang sangat bergantung pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesudah roh individual meninggal badan wadagnya, maka ia akan ditempatkan dalam kandungan-kandungan ibu. Disana ia memperoleh jenis badan yang baru. Mengenai orang jahat, bahwa mereka akan ditempatkan dalam kandungan-kandungan orang-orang yang jahat untuk selama-lamanya, sehingga menjadi orang yang paling rendah, mereka akan menjadi orang-orang yang penuh hawa nafsu, penuh kekerasan, penuh rasa benci dan selalu tidak bersih. Berbagai jenis pemburu dalam rimba-rimba dianggap sebagai jenis kehidupan orang jahat.
Diketahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Mahakarunia, tetapi Tuhan tidak pernah memberikan karunia kepada orang jahat. Dinyatakan bahwa orang jahat ditempatkan dalam kandungan-kandungan orang yang jahat, oleh karenanya mereka tidak mendapatkan karunia Tuhan Yang Maha Esa, mereka akhirnya semakin menurun hingga menjadi badan kucing, anjing dan babi. Dalam Veda dijelaskan bahwa orang yang jahat akan berangsur-angsur menurun kehidupannya hingga menjadi anjing dan babi. Apabila kita mengkaji lebih lanjut, dikatakan Tuhan Maha Karunia, dengan demikian seharusnya Beliau harus memberikan karunianya kepada semua orang tanpa membeda-bedakannya. Jawaban atas pertanyaan ini adalah seperti yang dijelaskan dalam Vedanta sutra kita juga mendapatkan pernyataan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak membenci siapa pun. Menempatkan para asura dan orang-orang jahat dalam status hidup yang lebih rendah merupakan aspek lain dari karunia Beliau. Kadang-kadang para asura dibunuh oleh Tuhan, tetapi pembunuhan tersebut adalah baik bagi mereka, sebab dalam kesusastraan veda kita menemukan pernyataan bahwa sipa pun yang dibunuh oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya maka mereka akan mencapai pembebasan (moksa), contohnya adalah Rahvana, Kamsa dan Hiranyakasipu. Tuhan muncul dihadapan asura-asura tersebut dalam berbagai wujud-Nya hanya untuk membunuh mereka. Karena itu karunia Tuhan diperlihatkan kepada para asura kalau mereka cukup beruntung hingga dibunuh oleh Beliau.
Terdapat tiga pintu menuju gerbang neraka yaitu kama (hawa nafsu), loba dan amarah, orang yang mampu mengendalikan ketiga sifat tersebut maka mereka akan mampu mencapai kesucian. Orang yang bertindak penuh dengan nafsu, loba, amarah dan kehendak ppribadinya tidak akan mampu mencapai kesempurnaan dalam kehidupannya. Kama karatah mempunyai makna orang yang mengetahui suatu perbuatan tersebut dilarang tetapi ia tetap melakukannya, yang seharusnya perbuatan tersebut tidak dilakukan, maka ia disebut sebagai orang yang bertingkah. Orang tersebut disalahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa secara takdir.
Orang-orang yang berada dalam sifat nafsu dan kebodohan mereka mengejek keberadaan kitab suci dan Tuhan Yang Maha Esa, mereka melanggar pelajaran sang guru rohani dan mereka tidak mempedulikan ajaran dalam kitab suci. Inilah kelemahan masyarakat manusia sehingga mereka terjerumus dalam kehidupan yang berstatus jahat. Akan tetapi seseorang yang mendapat bimbingan seorang guru kerohanian akan mampu menuju jalan kelepasan dalam tingkatan yang lebih tinggi.

2.2 Ajaran Agama Hindu yang terkandung dalam Bhagavadgita Bab XVI
Berdasarkan ringkasan isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI (enam belas) diatas maka ajaran agama Hindu yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut :
1.    Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
2.    Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
            Kita yakin bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan berakibat atau membuahkan hasil. Boleh dikatakan bahwa tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala baik langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang. Perbuatan baik (subha karma) pasti akan mendapatkan pahala yang baik, demikian juga sebaliknya perbuatan yang kotor atau perbuatan yang tidak baik (asubha karma ) kita perbuat, maka hasilnyapun akan berakibat tidak baik ( ala ulah ala tinemu, ayu ginawe ayu pinanggih ).
            Sifat dasar yang mempengaruhi perbuatan  manusia ada dua. Dalam kitab Bhagawad gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi Sampad yaitu sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang mengakibatkan atau mendorong manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana. Sedangkan asuri sampad yaitu sifat manusia yang banyak dipengaruhi oleh sifat keraksaan, yang cendrung manusia bersifat berbudi rendah, seperti angkuh sombong, marah, iri hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.
Terjemahannya:
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.
Terjemahannya:
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.
Terjemahannya:
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Terjemahannya:
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Terjemahannya:
Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Terjemahannya:
Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.
Pustaka suci Sarasamuscaya sloka 102 menyebutkan : “apan ikang wang yan kawaca dening krodhanya, salwirning pinujakenya sawakaning pawehnya dana, salwiring tapanya, salwiring hinomakenya, ika ta kabeh, Bhatara Yama sira umalap phalanika, tan pa phala irya twas nghel, matangnya kawasa kna tang krodha. Yang artinya: oleh karena orang yang dikuasai oleh kemarahannya, segala yang dipersembahkannya, segala macam sedekahnya, semua tapanya, segala yang dikorbankannya di dalam api unggun, Bhatara Yama yang mengambil pahalanya tidak berpahala pada orang itu, walaupun payah sekali. Untuk itu kuasailah kemarahan itu. Sloka diatas sangatlah penting artinya dan berbahagialah apabila seseorang dapat meminimalisasi terbelengunya pikiran dari kekuasaan kemarahan, sebab akan berakibat tidak berpahalanya yang dilakukan.
 Demikian pula kemarahan yang berujung kekerasan dalam rumah tangga,telah banyak menelan korban, dan yang paling memilukan kemarahan yang berakhir tragis dengan meninggalnya seorang pejabat pemerintah, akibat kekerasan diawali dengan kemarahan, yang berpangkal sebuah penolakan.
Sesungguhnya pencerminan agar menjauhi perbuatan seperti itu, dalam ajaran Hindu dikenal dalam konsep Tri Kaya Parisudha yaitu tiga perbuatan yang baik. Berawal dari berpikir yang baik (manacika parisudha), kemudian berkata yang baik, (wacika parisudha) dan perbuat yang baik (kayika parisudha). Apabila ketiga landasan prilaku tersebut dapat dilaksanakan dengan seimbang dan baik, maka dapat melenyapkan bibit permusuhan yang ada dalam diri kita yang dikenal dengan sad ripu. Dalam kakawin Ramayana I.4 disebutan bahwa Ragadi musuh maparo, rihatiyo tonggwaniya tan madoh ringawak, Yeka tan hana ri sira,prawira wihikan sireng niti. Yang artinya bahwa : Kama dan lain-lainnya itu adalah musuh yang dekat, dihatilah tempatnya tak jauh dari badan, yaitu tak ada pada beliau. Sloka tersebut mencerminkan bahwa begitu dekatnya musuh-musuh kita, seperti kama, lobha, krodha, moha, mada, matsarya, dan apabila tidak mampu untuk mengendalikannya, terutama kemarahan (krodha), akan mengakibatkan kehancuran.
Oleh karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuhan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah tercantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.
 Untuk itulah pengendalian diri atau introspeksi diri, yakni menilai kembali perbuatan atau keberhasilan dan kegagalan kita masa lalu, sangatlah penting artinya  untuk keseimbangan dan keselaranan kedamaian hidup kita. Segala perbuatan baik (subha karma) perlu dilestarikan dan dikembangkan sedangkan segala kesalahan keburukan, perbuatan tidak baik (asubha karma) patut tidak dilakukan dan dilenyapkan. Lebih-lebih kemampuan mengendalikan diri yang dilandasi dengan cinta kasih, dan menghormati sesama, menyadari bahwa kita merupakan satu keluarga  (Wasudewa kutumbakam), niscaya kekerasan akan berubah menjadi sebuah kedamaian hati.
 Dalam Yayur Veda XL.6  disebutkan bahwa
Yastu sarvani bhutany atmanneva anupasyati
Sarvabhutatesu catmanam tato na vi cikitsati



Terjemahannya :
Seorang yang melihat Dia berada pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada Nya, ia tidak akan membenci yang lain. (Titib, 2003:31)
Sloka di atas memberikan gambaran bahwa kebencian tidak akan ada apabila semua menyadari bahwa beliau ada pada setiap mahluk. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau berbuat terhadap dirimu. Semua makhluk hidup adalah sahabat karibmu karena pada mereka terdapat satu jiwa, yang merupakan bagian dari Brahman. Betapa indahnya dunia ini ketika kesadaran itu muncul dan membawa caha kasih menebar kegembiraan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan penuh dengan nuansa keakraban. Satya Narayana menyatakan bahwa “ kasih dikaitkan dengan pikiran, ia akan menjadi kebenaran, bila kasih dijadikan dasar perbuatan,maka perbuatan akan menjadi dharma, bila perasaan dijiwai oleh kasih, hati akan penuh dengan kedamaian, dan bila menjadikan cinta kasih sebagai penuntun pengertian dan cara berfikir, maka akal budi akan dijiwai oleh sikap tanpa kekerasan. Karena itu kasih adalah kebenaran,kasih adalah kebajikan, kasih adalah kedamaian, kasih adalah tanpa kekerasan”.
Kemarahaan dapat dihindari dengan selalu berusaha mulat sarira mengendalikan diri dengan dilandasi kasih sayang, menghormati sesama.











BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran yang terkandung dalam Bhagavadgita Bab XVI adalah ajaran tentang Daivi Sampad (Asubha Karma) dan Asuri Sampad (Asubha Karma). Setiap manusia yang lahir ke dunia ini memiliki dua kecendrungan yaitu bersifat baik (daivi sampad) dan bersifat buruk (asuri sampad). Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena saling mengisi. Seperti halnya konsep Rwa Bineda yang merupakan dua hal yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan karena mereka itu saling melengkapi satu sama lain. Dalam uraian di atas juga disebutkan ada tiga pintu gerbang menuju neraka yaitu kama (nafsu), loba (kerakusan/ ketamakan) dan krodha ( kemarahan). Ketiga sifat buruk ini harus dikendalikan oleh setiap manusia agar tidak terjerumus ke dalam api neraka atau kesengsaraan.

3.2 Saran
            Dalam kehidupan sehari-hari kita sangat perlu melaksanakan ajaran-ajaran agama Hindu yang tidak bertentangan dengan ajaran susila, dengan melaksanakan ajaran susila akan dapat memberikan manfaat yang sangat baik bagi kehidupan kita ke depan. Pahami dan laksanakan ajaran susila atau ajaran-ajaran agama yang bersumber dari kitab suci Weda seperti kitab Bhagavadgita.

DAFTAR PUSTAKA
Kajeng, I Nyoman dkk. 2003. Sarasamuccaya dengan teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna. Jakarta: Pustaka Mitra Jaya
Maswinara, I Wayan.1999. Yajur Veda Samhita. Surabaya: Paramita
Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavadgita Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti
Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2013. Sloka-Sloka Pilihan dari Kesusastraan Veda. Hanuman Sakti: Jakarta
Sudirga, Ida Bagus,dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta:Ganesha Exact
Sukartha, I Ketut, dkk. 2004. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta:Ganesha Exact
Supartha, I Made, dkk. 2007. Genitri Pendidikan Agama Hindu. Denpasar: Tri Agung
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Titib, I Made.1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar