KESUSASTRAAN
HINDU I
REVIEW
BHAGAVADGITA BAB XVI
OLEH
I
NYOMAN ALIT
NIM:
14.1.1.1.1.115
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR
2017
KATA
PENGANTAR
Om
Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan asung kerta waranugraha Beliau penulis dapat menyelesaikan tugas akhir Mata Kuliah
Kesusastraan Hindu I yaitu meriview atau meresume salah satu Bab dari
Bhagavadgita dan mengkaji tentang ajaran yang terkandung di dalam Bab tersebut.
Disini penulis meresume atau meriview Bhagavadgita Bab XVI tentang sifat-sifat
rohani dan sifat jahat.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada Yth :
1.
Bapak I Made Arsa Wiguna, SST. Par., M.Pd.H, selaku Dosen Mata Kuliah.
2.
Orang tua yang telah membantu baik moril maupun materi
3.
Rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun
penulisannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, khususnya dari Dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Om santih, santih, santih, om
Denpasar, 12 Januari 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI...........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan penulisan............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Review Bhagavadgita Bab XVI..................................................................... 3
2.2 Ajaran yang terkandung dalam Bhagavadgita Bab
XVI................................ 14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................
20
3.2 Saran.............................................................................................................. 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Hindu
merupakan salah satu agama yang ada di Indonesia dari enam agama yang diakui.
Agama Hindu adalah agama yang pertama kali berkembang di Indonesia. Ajaran
agama Hindu itu bersifat fleksibel dan universal. Fleksibel artinya tidak kaku,
ajaran agama Hindu sering dikatakan sebagai sanatana
dharma yang artinya kekal abadi, tetapi fakta di lapangan bahwa ajaran
agama Hindu itu dapat menyesuaikan dengan situasi kondisi dan sesuai dengan
jaman yang berkembang (anutana dharma).
Universal artinya bahwa ajaran agama Hindu dapat diterima secara luas bukan
hanya oleh umat Hindu tetapi oleh umat yang lain di dunia. Weda adalah kitab
suci agama Hindu. Weda berasal dari akar
kata sanskerta yaitu vid yang artinya
pengetahuan, secara harfiah weda dapat diartikan sebagai pengetahuan suci. Weda
mempunyai sifat apaurusyam yang
artinya bahwa weda tidak dibuat oleh manusia tetapi diwahyukan oleh Tuhan
melalui para Maha Rsi di India. Anadhi-ananta
yang artinya bahwa weda tidak berawal dan tidak berakhir, hal inilah yang
menjadi alasan mengapa Hindu tidak memiliki kitab suci yang dibukukan menjadi
satu buku (kitab) seperti agama lainnya. Karena bersifat anadhi-ananta atau tidak berawal dan tidak berakhir inilah agama
Hindu tidak memiliki satu buku Weda tetapi banyak karena tidak mungkin untuk
membukukan sesuatu yang tidak ada awal dan tidak ada akhirnya.
Bhagavadgita
salah satu dari kitab suci agama Hindu sudah banyak dikenal oleh masyarakat
luas dan para sarjana-sarjana di dunia. Bhagavadgita dapat dijadikan sebagai
pedoman hidup karena isi dari kitab Bhagavadgita adalah wejangan-wejangan dari
Sri Krsna kepada Arjuna ketika perang Bharatayudha berlangsung. Kitab
Bhagavadgita dikatakan sebagai Weda yang kelima setelah Catur Veda Samhita (Rg
Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda) sehingga disebut sebagai Pancamo
Veda. Kenapa Bhagavadgita dikatakan sebagai Weda yang kelima? Karena kitab
Bhagavadgita diturunkan atau disampaikan atau disabdakan secara langsung oleh
Awatara Wisnu yaitu Sri Krsna. Karena itu hendaknya Bhagavadgita diterima
dengan jiwa bhakti. Bhagavadgita disabdakan dengan maksud untuk menyelamatkan
manusia dari kebodohan kehidupan material. Setiap orang mengalami kesulitan
dalam banyak hal, semua penuh dengan kecemasan karena kehidupan material ini.
Kehidupan manusia berada dalam suasana ketiadaan.
Bhagavadgita
yang dapat dijadikan pedoman bertingkah laku oleh umt manusia sebagai cerminan
dari kisah perang Bharatayuddha yang terjadi di kuruksetra, menjelaskan banyak
hal di dalamnya. Pada kesempatan ini penulis akan mengkaji salah satu Bab dari
Bhagavadgita yaitu Bab XVI yang menjelaskan tentang sifat rohani dan sifat
jahat. Di dalam makalah yang penulis buat ini akan dikaji secara jelas tentang
ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Bab XVI Bhagavadgita ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimana
ringkasan dari kitab Bhagavadgita Bab XVI?
1.2.2
Ajaran
agama Hindu apa saja yang terkandung di dalam Bhagavadgita Bab XVI?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1
Untuk
mengetahui isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI.
1.3.2
Untuk
mengetahui ajaran agama Hindu yang terkandung di dalam Bhagavadgita Bab XVI
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Review Bhagavadgita Bab XVI Sifat Rohani Dan Sifat Jahat
Dalam
Bab XVI (enam belas) ini, Tuhan Yang Maha Esa menjelaskan sifat rohani dan
sifat jahat masing-masing dengan ciri-cirinya. Beliau juga menjelaskan
manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian akibat sifat-sifat tersebut. Pada awal
Bab XV (lima belas) pohon beringin dunia material telah dijelaskan dengan
sangat baik. Akar-akar tambahan yang keluar dari pohon itu diumpamakan sebagai
kegiatan makhluk hidup. Beberapa dari kegiatan tersebut menguntungkan, dan
beberapa diantaranya tidak menguntungkan atau merugikan. Dalam Bab IX
(sembilan) juga dijelaskan tentang para dewa, atau kepribadian-kepribadian yang
suci, dan para asura, atau
kepribadian-kepribadian yang jahat dan tidak suci, atau raksasa. Menurut
upacara-upacara Veda, kegiatan dalam
sifat kebaikan menguntungkan demi kemajuan dalam menempuh jalan pembebasan, dan
kegiatan seperti itu terkenal sebagai daivi-prakrti,
atau kegiatan yang bersifat rohani. Orang yang mantap dalam sifat rohani maju
menempuh jalan pembebasan. Di pihak lain orang yang bertindak dalam sifat-sifat
nafsu dan kebodohan tidak mungkin mencapai pembebasan. Mereka harus tetap
tinggal di dunia material ini sebagai manusia, atau mereka akan merosot hingga
dilahirkan sebagai berbagai jenis binatang atau jenis-jenis kehidupan yang
lebih rendah.
Kata
abhijatasya berkaitan dengan
orang-orang yang dilahirkan dari sifat-sifat rohani atau kecendrungan-kecendrungan
suci yang bermakna. Sifat-sifat rihani yang dimaksud dalam Bab XVI (enam belas)
ini adalah : kebebasan dari rasa takut, penyucian kehidupan, pengembangan
pengetahuan rohani, kedermawanan, mengendalikan diri, pelaksanaan korban suci, mempelajari
veda, pertapaan, kesederhanaan, tidak melakukan kekerasan, kejujuran, kebebasan
dari amarah, pelepasan ikatan, ketenangan, tidak mencari-cari masalah, kasih
sayang terhadap semua makhluk hidup, pembebasan dari lobha, sifat lembut, sifat
malu, ketabahan hati yang mantap, kekuatan, mudah mengampuni, sifat ulet,
kebersihan, kebebasan dari rasa iri dan gila hormat. Itulah sifat-sifat rohani
yang akan dijelaskan dalam Bab XVI (enan belas) ini.
Bebas
dari rasa takut yang merupakan sifat rohani, hendaknya dimiliki oleh setiap
orang. Tetapi dalam uraian Bab ini bebas dari rasa takut ini diperuntukkan bagi
seorang sannyasi atau orang yang
sudah mencapai tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan. Dalam ajaran catur varna yaitu empat golongan dalam
masyarakat yang terdiri dari Brahmana,
Ksatriya, Vaisya dan Sudra, seorang
Brahmana dianggap guru kerohanian
bagi ketiga golongan masyarakat lainnya, tetapi seorang sannyasi yang mempunyai kedudukan tertinggi diantara keempat
golongan tersebut, juga dianggap sebagai guru kerohanian bagi para brahmana. Bagi seorang sannyasi kwalifikasi yang pertama harus
dimiliki adalah bebas dari rasa takut. Oleh karena seorang sannyasi harus tinggal sendirian tanpa dukungan atau jaminan hidup
apa pun, ia harus bergantung pada karunia Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan jiwa
seperti itu dibutuhkan pada tingkatan hidup yang meninggalkan ikatan-ikatan
duniawi.
Seorang
sannyasi setelah mampu mengendalikan
diri untuk bebas dari rasa takut, kemudian ia harus menyucikan kehidupannya.
Terdapat banyak aturan dan peraturan yang harus ditaati dan harus diikuti pada
tahap tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan terhadap hal-hal yang bersifat
duniawi. Yang paling penting, seorang sannyasi
dilarang keras mempunyai hubungan dekat dengan seorang wanita. Seorang sannyasi dilarang berbicara dengan
seorang wanita di tempat yang sepi. Ini bukanlah suatu tanda benci terhadap
kaum wanita melainkan yang dikenakan dan harus dilaksanakan bagi seorang sannyasi supaya ia jangan memelihara
hubungan yang erat dengan seorang wanita. Seseorang harus mengikuti dan
mentaati peraturan tingkat hidup tertentu untuk menyucikan kehidupannya.
Hubungan erat dengan seorang wanita dan memiliki kekayaan demi kepuasan
indria-indria dilarang keras bagi seorang sannyasi.
Bagi seorang sannyasi dan bagi
siapapun yang ingin keluar dari cengkraman dunia material dan sedang berusaha
untuk mengangkat diri untuk sampai pada dunia rohani hingga mencapai kelepasan
atau moksa, kembali pada Tuhan Yang Maha Esa, memandang harta benda dan wanita
demi kepuasan indria-indria, jangankan menikmatinya, tetapi hanya memandang
dengan kecendrungan seperti itu, sangat disalahkan sehingga mengalami keinginan
yang tidak sah seperti itu lebih buruk daripada bunuh diri. Proses tersebut
adalah proses-proses penyucian diri.
Menekuni
pengembangan pengetahuan (jnana yoga
vyavasthiti) bagi seorang sannyasi
dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan kepada orang yang sudah berumah
tangga dan orang lain yang sudah melupakan kehidupan kemajuan rohaninya yang
sejati. Seharusnya seorang sannyasi
meminta-minta dari rumah ke rumah untuk pencahariannya, tetapi ini bukan
berarti bahwa dia pengemis. Sifat rendah hati juga merupakan salah satu
kwalifikasi orang yang mantap secara rohani. Karena dengan sifat rendah hati
saja seorang sannyasi pergi ke
rumah-rumah bukan untuk mengemis melainkan untuk bertemu dengan orang-orang
yang sudah berumah tangga yang tujuannya adalah menyadarkan mereka tentang
kewajiban bagi orang yang telah memasuki jenjang Grhasta Asrama. Inilah kewajiban bagi seorang sannyasi. Tetapi meskipun seseorang telah menerima tingkatan hidup
untuk melepaskan ikatan hal-hal duniawi, tanpa memiliki pengetahuan yang cukup,
sebaiknya ia tekun mendengar dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya
untuk mengembangkan pengetahuannya. Seorang sannyasi
atau seseorang yang sudah mencapai tingkatan hidup untuk meninggalkan ikatan
hal-hal duniawi harus mantap dalam pembebasan dari rasa takut, kesucian (sattva samsuddhi), dan pengetahuan (jnana yoga).
Unsur
berikutnya yaitu kedermawanan. Kedermawanan dimaksudkan untuk orang yang telah
berumah tangga. Orang yang telah berumah tangga hendaknya mencari nafkah dengan
cara halal dan mengeluarkan lima puluh persen dari pendapatannya harus
disumbangkan kepada orang yang membutuhkan dan diberikan kepada
perkumpulan-perkumpulan atau lembaga-lembaga yang mengelola bidang kerohanian.
Sebaiknya sumbangan diberikn kepada orang yang patut untuk menerimanya. Ada
berbagai jenis kedermawanan, yang dapat dikategorikan sebagai kedermawanan
dalam sifat-sifat kebaikan, kedermawanan dalam sifat-sifat nafsu dan dan
kedermawanan dalam sifat-sifat kebodohan. Kedermawanan dalam sifat-sifat
kebaikan yang dianjurkan dalam Veda,
tetapi kedermawanan dalam sifat-sifat nafsu dan kebodohan tidak dianjurkan
sebab hal itu hanya akan memboroskan uang saja.
Mengenai
dama (mengendalikan diri) itu tidak
hanya dimaksudkan untuk golongan-golongan lain dalam masyarakat beragama,
tetapi khususnya dimaksudkan untuk orang yang sudah berumah tangga. Walaupun
suami-istri yang sah, sebaiknya jangan menggunakan indrianya untuk hubungan
badan yang tidak diperlukan. Ada aturan untuk orang yang berumah tangga, bahkan
dalam hubungan badan sekalipun. Hubungan suami-istri sebaiknya hanya digunakan
untuk memiliki dan memelihara anak. Kalau dia tidak ingin mendapatkan anak,
sebaiknya dia menghindari menikmati hubungan badan tersebut. Masyarakat modern
menikmati hubungan badan itu dengan cara-cara pencegahan kehamilan taupun
dengan cara-cara yang lebih jahat dari pada itu hanya untuk melepaskan tanggung
jawab. Ini bukan sifat rohani, melainkan sifat yang kurang baik. kalau
seseorang, termasuk orang yang berumah tangga ingin maju dalam kehidupan
rohani, dia harus mengendalikan hubungan suami-istri dan jangan mendapatkan
anak dengan tanpa tujuan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Korban
suci adalah unsur lain yang untuk dilaksanakan oleh orang yang telah berumah
tangga, sebab korban suci membutuhkan dana yang cukup besar. Dari golongan
kehidupan lainnya, yaitu brahmacarya, vanaprastha,
dan sannyasa, tidak mampu untuk
melaksanakan korban suci ini karena tidak mempunyai uang, mereka hidup dengan
cara mengemis. Karena itu pelaksanaan berbagai jenis korban suci dimaksudkan
bai orang yang berumah tangga. Sebaiknya mereka melakukan korban suci
sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kitan suci Veda. Tetapi saat ini korban-korban suci memerlukan biaya yang
cukup besar sekali, dan tidak semua orang yang sudah berumah tangga akan mampu
untuk melaksanakan korban suci dengan biaya yang besar. Korban suci yang paling
efektif dan semua orang bisa melakukannya serta akan mendapatkan manfaat adalah
sankirtana yajna. Sankirtana yajna
adalah sebuah korban suci dengan mengucapkan mantra memuja nama-nama suci
Tuhan. Jadi tiga unsur tadi yakni kedermawanan, pengendalian diri dan
pelaksanaan korban suci dimaksudkan bagi orang yang sudah berumah tangga.
Kemudian
svadhyaya atau mempelajari Veda, dimaksudkan bagi golongan brahmacarya, atau kehidupan sebagai
siswa. Sebaiknya para brahmacarya
tidak mempunyai hubungan apa pun dengan seorang wanita. Mereka harus hidup
dengan berpantang hubungan dengan wanita dan menekunu pelajaran khusus tentang
kesusatraan Veda untuk mengembangkan
pengetahuan rohani. Ini disebut dengan svadhyaya.
Tapas atau pertapaan khususnya bagi
orang yang sudah mengundurkan diri dari kehidupan duniawi. Hendaknya seseorang
jangan tetap berumah tangga sampai tutup usia, ia harus ingat ada empat bagian
dalam kehidupan ini yaitu brahmacarya,
grhastha, vanaprastha dan sannyasa.
Karena itu sesudah grhastha atau
kehidupan berumah tangga, sebaiknya seseorang mengundurkan diri. Kalau
seseorang hidup sampai seratus tahun, sebaiknya dia sebagai siswa selama dua
puluh lima tahun, dua puluh lima tahun hidup berumah tangga, dan dalam dua
puluh lima tahun hidup dalam mengundurkan diri, dan dalam dua puluh lima tahun
lagi hidup pada tingkatan untuk meninggalkan ikatan terhadap hal-hal duniawi.
Inilah yang disebut sebagai disiplin keagamaan dalam Veda. Orang yang sudah mengundurkan diri dari kehidupan berumah
tangga harus mempraktekkan pertapaan dengan badan, pikiran dan lidah. Itulah tapasya. Tanpa tapasya atau pertapaan, seorang manusia tidak akan dapat mencapai
pembebasan. Teori bahwa pertapaan tidak diperlukan dalam kehidupan yaitu bahwa
seseorang dapat berangan-angan terus dan segala sesuatu akan baik-baik saja,
tidak dianjurkan baik dalam kesusastraan Veda
maupun dalam Bhagavadgita. Kalau ada
pantangan, aturan dan peraturan, orang tidak akan tertarik. Teori seperti itu
hanya dibuat oleh rohaniawan-rohaniawan gadungan yang ingin mendapatkan
pengikut lebih banyak. Tetapi cara seperti itu tidak dibenarkan dalam Veda.
Mengenai
keserhanaan, yang dimiliki oleh seorang brahmana,
hendaknya bukan hanya golongan tertentu yang mengikuti prinsip ini, melainkan
semua anggota masyarakat, baik itu brahmacari
asrama, grhastha asrama, vanaprastha asrama dan sannyasa asrama. Sebaiknya semua orang sangat sederhana dan
transparan.
Ahimsa berarti tidak menghalang-halangi
kehidupan makhluk hidup mana pun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke
jenis kehidupan yang lain. Sebaiknya seseorang jangan berpikir bahwa oleh
karena bunga api rohani atau sang roh tidak pernah terbunuh, bahkan sesudah
badan terbunuh, tiada salahnya dia membunuh binatang demi kepuasan indria-indria.
Saat ini orang kecanduan memakan binatang, walaupun ada persedian biji-bijian,
padi-padian, buah-buahan dan susu secukupnya. Binatang tidak perlu dibunuh.
Inilah peraturan bagi semua orang. Bila tidak ada pilihan lain seseorang boleh
membunuh binatang, tetapi hendaknya binatang itu dipersembahkan sebagai korban
suci.
Satyam, kata ini berarti bahwa seseorang
jangan memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan sendiri. Dalam ksesusastraan Veda terdapat beberapa ayat-ayat suci
yang sangat susah untuk dipahami, tetapi hal itu dapat ditanyakan kepada
seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya. Itulah proses untuk mengerti Veda. Sruti berarti sebaiknya seseorang mendengarkan dari sumber yang
dapat dipercaya. Hendaknya seseorang jangan menafsirkan arti sesuatu demi
kepentingannya pribadi.
Akrodha berarti mengendalikan amarah.
Walaupun seseorang digoda hendaknya dia bersikap toleransi, sebab begitu
seseorang menjadi marah maka seluruh badannya akan dicemari. Amarah adalah
akibat sifat nafsu dan birahi, karena itu orang yang mantap dalam sikap
kerohanian hendaknya mengendalikan diri supaya tidak menjadi marah. Apaisunam berarti sebaiknya seseorang
jangan mencari-cari kesalahan orang lain atau menegur mereka kalau tidak
diperlukan. Tentunya bagi seorang pencuri dijuluki pencuri itu bukan berarti
mencari-cari kesalahan, tetapi orang yang jujur dikatakan pencuri maka itu
merupakan kesalahan yang besar sekali bagi orang yang ingin maju dalam
kehidupan rohani. Hri berarti
hendaknya seseorang bersikap sopan dan rendah hati dan jangan melakukan
perbuatan yang menjijikkan. Acapalam
atau ketabahan hati, berarti hendaknya seseorang jangan goyah dan merasa
frustasi dalam suatu usaha. Barangkali dia gagal dalam suatu usaha, tetapi
hendaknya dia jangan menyesal.
Saucam berarti kebersihan, bukan hanya
dalam pikiran dan badan, tetapi juga dalam tingkah laku. Ini khususnya bagi
masyarakat pedagang. Hendaknya mereka jangan berdagang di pasar gelap. Nati manita atau tidak mengharapkan
penghormatan, berlaku bagi para sudra
atau golongan buruh, yang dianggap golongan paling rendah diantara empat
golongan yang ada menurut Veda.
Sebaiknya mereka jangan sombong dengan kemasyuran atau penghormatan yang tidak
diperlukan dan hendaknya mereka tetap dalam status mereka sendiri. Kewajiban
para sudra adalah menghormati ketiga
golongan yang lebih tinggi untuk memelihara ketertiban masyarakat.
Seseorang
dengan sifat-sifat jahat akan memiliki sikap bangga, sombong, tak peduli,
amarah, sikap kasar dan kebodohan. Mereka selalu sombong atau bangga karena
memiliki sejenis pendidikan dan kekayaan. Mereka ingin disembah oleh orang
lain, walaupun mereka tidak layak dihormati. Mereka tidak mengetahui apa yang
harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukan.
Di
dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Para makhluk yang terikat
dibagi menjdi dua golongan. Orang yang dilahirkan dengan sifat-sifat suci
mengikuti kehidupan yang teratur yaitu mereka mematuhi aturan dalam kitab suci
dan aturan yang diberikan oleh para penguasa. Orang yang tidak mematuhi
prinsip-prinsip yang mengatur sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci dan
bertindak menurut selera pribadi disebut orang jahat atau memiliki sifat asura. Disebutkan dalam Veda bahwa para Dewa dan Asura sama-sama dilahirkan dari
Prajapati. Satu-satunya perbedaannya ialah bahwa golongan yang satu mematuhi
aturan Veda dan yang lainnya tidak.
Dalam
Manu-samhita dinyatakan dengan jelas
bahwa wanita hendaknya jangan diberikan kebebasan. Ini bukan berarti bahwa
wanita harus diperbudak, tetapi wanita seperti anak-anak. Anak-anak tidak
diberi kebebasan bukan berarti itu diperbudak. Sekarang orang yang jahat
mengalpakan itu semua, mereka menganggap wanita seharusnya diberikan kebebasan
sama seperti pria. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak memperbaiki keadaan
masyarakat di dunia ini. Sebenarnya, seorang wanita harus diberi perlindungan
pada setiap tahap kehidupannya.dalam usia muda seorang wanita harus dilindungi
oleh ayahnya, dalam uasia remaja dia harus dilindungi oleh suaminya, dan dalam
usia tua ia harus dilindungi oleh putra-putranya yang sudah dewasa. Inilah
tingkah laku yang layak menurut Manu-samhita.
Tetapi pendidikan modern sudah menciptakan paham kehidupan wanita yang bersifat
sombong secara tidak wajar, sehingga dibeberapa tempat di dunia pernikahan
hampir merupakan bayangan belaka dalam masyarakat manusia. Keadaan moral kaum
wanita saat ini juga tidak begitu baik. karena itu orang-orang jahat tidak
menerima pelajaran mana pun yang baik di masyarakat, sebab mereka tidak
mengikuti pengalaman-pengalaman para Maha Rsi terdahulu yang mulia akan aturan
dan peraturan di masyarakat. Keadaan masyarakat orang jahat akan sangat
sengsara.
Orang
jahat menarik kesimpulan bahwa dunia adalah angan-angan belaka. Mereka
menganggap bahwa tidak sebab maupun akibat, tidak ada yang mengendalikan, tidak
ada tujuan. Segala sesuatu tidak nyata. Mereka mengatakan bahwa manifestasi
alam semesta timbul karena perbuatan material dan reaksi yang terjadi hanya
kebetulan saja. Mereka tidak mengakui bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan
dengan tujuan tertentu. Mereka mempunyai teori tersendiri bahwa dunia ini
timbul dengan sendirinya dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa Tuhan Yang
Maha Esa penyebab dunia ini. Menurut mereka tidak ada perbedaan antara roh dan
alam dan mereka tidak mengakui Roh Yang Paling Utama. Segala sesuatu hanya
unsur-unsur alam saja, seluruh alam semesta dianggap sebagai sebatang
kebodohan. Menurut mereka segala sesuatu adalah kekosongan dan manifestasi apa
pun yang ada disebabkan oleh kebodohan kita dalam usaha mengerti hal-hal itu.
Mereka menduga bahwa segala manifestasi keanekaragaman adalah perwujudan
kebodohan. Seperti halnya dalam impian barangkali kita menciptakan beggitu
banyak benda yang sebenarnya tidak nyata, begitu pula ketika kita sadar akan terlihat
bahwa segala-galanya hanya merupakan bayangan saja. Tetapi sebenarnya walaupun
orang jahat mengatakan bahwa kehidupan adalah sebuah impian, mereka ahli sekali
menikmati impian itu. Karena itu mereka tidak memperoleh pengetahuan melainkan
mereka terjerumus dalam dunia material yang sebenarnya bersifat semu. Mereka
menarik kesimpulan bahwa seperti halnya anak hanya merupakan hasil dari
hubungan suami istri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, begitu
pula dunia ini dilahirkan tanpa rohnya. Menurut mereka dunia hanyalah gabungan
unsur-unsur alam yang sudah menghasilkan makhluk hidup dan adanya sang roh
tidak mungkin. Seperti banyak makhluk hidup keluar dari keringat dan dari
bangkai tanpa sebab, seluruh dunia lahir dari gabungan-gabungan material
manifestasi alam semesta. Karena itu alam material adalah sebab manifestasi
ini, tidak ada sebabnya selain itu. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang ada
di dunia ini adalah atas kehendak beliau atau Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak
mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ciptaan dunia ini.
Orang
jahat menekuni kegiatan yang akan membawa dunia ke jurang kehancuran.
Orang-orang yang kurang cerdas dan orang duniawi tidak memahami Tuhan. Tetapi
dalam Bhagavadgita mereka disebut
kurang cerdas dan tidak mempunyai otak sama sekali. Mereka selalu sibuk untuk
menemukan sesuatu untuk kepuasan indria. Penemuan duniawi seperti itu dianggap
sebagai kemajuan peradaban masyarakat manusia, tetapi akibatnya orang semakin
keras dan kejam. Kejam terhadap binatang dan kejam terhadap sesama manusia.
Mereka tidak memahami bagaimana tingkah laku yang abik dengan sesama manusia.
Membunuh binatang adalah suatu kejahatan yang menonjol sekali dikalangan orang
jahat. Orang seperti itu adalah musuh dunia, sebab mereka akan menciptakan
sesuatu yang akan mengakibatkan semua orang di duni ini akan hancur dan musnah.
Secara tidak langsung hal ini meramalkan akan penemuan senjata-senjata nuklir
yang dibanggakan oleh seluruh dunia dewasa ini. Perang dapat meledak setiap
saat, dan senjata-senjata atom tersebut akan menyebabkan kehancuran dan
mengakibatkan pembinasaan. Benda-benda seperti ini memang dirancang untuk
menghancurkan dunia. Oleh karena orang-orang tidak percaya dengan Tuhan,
senjata-senjata tersebut ditemukan oleh manusia, senjata tersebut tidak
diamksudkan untuk kedamaian dan kesejahteraan atau kemakmuran dunia.
Hawa
nafsu orang jahat tidak dapat dipuaskan. Mereka akan terus-menerus meningkatkan
keinginan yang tidak dapat dipuaskan. Orang jahat seperti itu tidak menerima
hal-hal yang tidak kekal, menciptakan Tuhan sendiri, mengarang doa-doa pujaan
sendiri dan mengucapkannya dengan caranya sendiri. Orang jahat menganggap bahwa
kenikmatan indria adalah tujuan hidup tertinggi, dan paham ini dipegangnya
sampai meninggal. Mereka tidak percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian,
dan mereka tidak percaya bahwa seseorang menerima berbagai jenis badan menurut karma-nya, atau kegiatannya di dunia
ini.
Orang
jahat yang tidak percaya kepada Tuhan maupun Roh Yang Utama di dalam dirinya,
melakukan segala jenis dan bentuk kegiatan yang berdosa untuk kepuasan
indrianya. Ia tidak mengetahui bahwa ada saksi yang bersemayam dalam dirinya.
Roh Yang Utama menyaksika kegiatan roh individual. Dalam upanisad dinyatakan ada dua ekor burung yang hinggap pada sebatang
pohon, yang satu bertindak dan menikmati atau menderita buah-buah pada
cabang-cabang pohon tersebut, sedangkan yang lagi satu menyaksikannya. Akan
tetapi orang jahat tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci, maupun
kepercayaan apa pun, karena ia merasa dirinya bebas untuk melakukan apa pun
demi kenikmatan indria-indria duniawinya, dia tidak menghiraukan apa akibatnya
kelak. Orang jahat selalu menentang Kemahakuasaan Tuhan dan dia tidak percaya
kepada Kitab Suci. Ia tidak mengetahui bahwa kehidupan sekarang adalah
persiapan untuk penjelmaan yang akan datang. Ia melakukan kekerasan terhadap
badan-badan yang lain dan badannya sendiri. Dia tidak mempedulikan
Kemahakuasaan Tuhan, karena ia tidak mempunyai pengetahuan. Dia menganggap
bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya dalam hal kekuatan,
kewibawaan dan kekayaan, sehingga ia berbuat semena-mena.
Penempatan roh
individu dalam badan adalah atas kehendak Yang Mahakuasa, penjelmaan makhluk
hidup yang akan datang sangat bergantung pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesudah
roh individual meninggal badan wadagnya, maka ia akan ditempatkan dalam
kandungan-kandungan ibu. Disana ia memperoleh jenis badan yang baru. Mengenai
orang jahat, bahwa mereka akan ditempatkan dalam kandungan-kandungan orang-orang
yang jahat untuk selama-lamanya, sehingga menjadi orang yang paling rendah,
mereka akan menjadi orang-orang yang penuh hawa nafsu, penuh kekerasan, penuh
rasa benci dan selalu tidak bersih. Berbagai jenis pemburu dalam rimba-rimba
dianggap sebagai jenis kehidupan orang jahat.
Diketahui bahwa Tuhan
Yang Maha Esa adalah Mahakarunia, tetapi Tuhan tidak pernah memberikan karunia
kepada orang jahat. Dinyatakan bahwa orang jahat ditempatkan dalam
kandungan-kandungan orang yang jahat, oleh karenanya mereka tidak mendapatkan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, mereka akhirnya semakin menurun hingga menjadi
badan kucing, anjing dan babi. Dalam Veda
dijelaskan bahwa orang yang jahat akan berangsur-angsur menurun kehidupannya
hingga menjadi anjing dan babi. Apabila kita mengkaji lebih lanjut, dikatakan
Tuhan Maha Karunia, dengan demikian seharusnya Beliau harus memberikan
karunianya kepada semua orang tanpa membeda-bedakannya. Jawaban atas pertanyaan
ini adalah seperti yang dijelaskan dalam Vedanta
sutra kita juga mendapatkan pernyataan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak
membenci siapa pun. Menempatkan para asura
dan orang-orang jahat dalam status hidup yang lebih rendah merupakan aspek lain
dari karunia Beliau. Kadang-kadang para asura
dibunuh oleh Tuhan, tetapi pembunuhan tersebut adalah baik bagi mereka, sebab
dalam kesusastraan veda kita
menemukan pernyataan bahwa sipa pun yang dibunuh oleh Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala manifestasinya maka mereka akan mencapai pembebasan (moksa),
contohnya adalah Rahvana, Kamsa dan Hiranyakasipu. Tuhan muncul dihadapan asura-asura tersebut dalam berbagai
wujud-Nya hanya untuk membunuh mereka. Karena itu karunia Tuhan diperlihatkan
kepada para asura kalau mereka cukup
beruntung hingga dibunuh oleh Beliau.
Terdapat tiga pintu
menuju gerbang neraka yaitu kama (hawa nafsu), loba dan amarah, orang yang
mampu mengendalikan ketiga sifat tersebut maka mereka akan mampu mencapai
kesucian. Orang yang bertindak penuh dengan nafsu, loba, amarah dan kehendak
ppribadinya tidak akan mampu mencapai kesempurnaan dalam kehidupannya. Kama karatah mempunyai makna orang yang
mengetahui suatu perbuatan tersebut dilarang tetapi ia tetap melakukannya, yang
seharusnya perbuatan tersebut tidak dilakukan, maka ia disebut sebagai orang
yang bertingkah. Orang tersebut disalahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa secara
takdir.
Orang-orang yang
berada dalam sifat nafsu dan kebodohan mereka mengejek keberadaan kitab suci
dan Tuhan Yang Maha Esa, mereka melanggar pelajaran sang guru rohani dan mereka
tidak mempedulikan ajaran dalam kitab suci. Inilah kelemahan masyarakat manusia
sehingga mereka terjerumus dalam kehidupan yang berstatus jahat. Akan tetapi
seseorang yang mendapat bimbingan seorang guru kerohanian akan mampu menuju
jalan kelepasan dalam tingkatan yang lebih tinggi.
2.2 Ajaran Agama Hindu yang
terkandung dalam Bhagavadgita Bab XVI
Berdasarkan ringkasan
isi dari kitab Bhagavadgita Bab XVI (enam belas) diatas maka ajaran agama Hindu
yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut :
1.
Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
2.
Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Kita
yakin bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk
akan berakibat atau membuahkan hasil. Boleh dikatakan bahwa tidak ada perbuatan
sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala baik langsung maupun tidak
langsung pahala itu pasti akan datang. Perbuatan baik (subha karma) pasti
akan mendapatkan pahala yang baik, demikian juga sebaliknya perbuatan yang
kotor atau perbuatan yang tidak baik (asubha
karma ) kita perbuat, maka hasilnyapun akan berakibat tidak baik ( ala
ulah ala tinemu, ayu ginawe ayu pinanggih ).
Sifat
dasar yang mempengaruhi perbuatan manusia ada dua. Dalam kitab Bhagawad
gita perbuatan tersebut yaitu Daiwi sampad dan Asuri Sampad. Daiwi Sampad yaitu
sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat kedewataan yang mengakibatkan
atau mendorong manusia untuk berbuat mulia baik, bjaksana. Sedangkan asuri
sampad yaitu sifat manusia yang banyak dipengaruhi oleh sifat keraksaan, yang
cendrung manusia bersifat berbudi rendah, seperti angkuh sombong, marah, iri
hati, benci dan penuh dengan kekerasan.
Daiwi Sampad bermaksud menuntun
perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini
perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5
yang berbunyi sebagai berikut :
“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca
swadhyayas tapa arjawam”.
Terjemahannya:
Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan
yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab
suci, taat berpantang dan jujur.
“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin
abhijatasya bharata”.
Terjemahannya:
Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa
kesombongan, ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh
Arjuna.
“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim
abhijato si pandawa.
Terjemahannya:
Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang
bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau
dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.
Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang
harus kita hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang
berbunyi sebagai berikut :
“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha
sampadan asur.
(Bhawadgita, XVI.4)
Terjemahannya:
Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini
adalah tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh
Arjuna.
“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te
dambhena widhipurvakam.”
(Bhawadgita, XVI.17)
Terjemahannya:
Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan,
gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan
ajaran kitab suci.
“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas
tasmad etat trayam trajett.”
(Bhawadgita, XVI.21)
Terjemahannya:
Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat
pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.
Pustaka suci
Sarasamuscaya sloka 102 menyebutkan : “apan
ikang wang yan kawaca dening krodhanya, salwirning pinujakenya sawakaning
pawehnya dana, salwiring tapanya, salwiring hinomakenya, ika ta kabeh, Bhatara
Yama sira umalap phalanika, tan pa
phala irya twas nghel, matangnya kawasa kna tang krodha. Yang artinya: oleh karena orang yang
dikuasai oleh kemarahannya, segala yang dipersembahkannya, segala macam
sedekahnya, semua tapanya, segala yang dikorbankannya di dalam api unggun,
Bhatara Yama yang mengambil pahalanya tidak berpahala pada orang itu, walaupun
payah sekali. Untuk itu kuasailah kemarahan itu. Sloka diatas sangatlah penting
artinya dan berbahagialah apabila seseorang dapat meminimalisasi terbelengunya
pikiran dari kekuasaan kemarahan, sebab akan berakibat tidak berpahalanya yang
dilakukan.
Demikian pula kemarahan yang berujung kekerasan dalam
rumah tangga,telah banyak menelan korban, dan yang paling memilukan kemarahan yang berakhir tragis dengan
meninggalnya seorang pejabat pemerintah, akibat kekerasan diawali dengan
kemarahan, yang berpangkal sebuah penolakan.
Sesungguhnya
pencerminan agar menjauhi perbuatan seperti itu, dalam ajaran Hindu dikenal
dalam konsep Tri Kaya Parisudha yaitu tiga perbuatan yang baik. Berawal dari
berpikir yang baik (manacika parisudha),
kemudian berkata yang baik, (wacika
parisudha) dan perbuat yang baik (kayika
parisudha). Apabila ketiga landasan prilaku tersebut dapat dilaksanakan
dengan seimbang dan baik, maka dapat melenyapkan bibit permusuhan yang ada
dalam diri kita yang dikenal dengan sad ripu. Dalam kakawin Ramayana I.4
disebutan bahwa Ragadi musuh maparo,
rihatiyo tonggwaniya tan madoh ringawak, Yeka tan hana ri sira,prawira wihikan sireng niti. Yang artinya
bahwa : Kama dan lain-lainnya itu adalah musuh yang dekat, dihatilah tempatnya
tak jauh dari badan, yaitu tak ada pada beliau. Sloka tersebut mencerminkan
bahwa begitu dekatnya musuh-musuh kita, seperti kama, lobha, krodha, moha, mada, matsarya, dan apabila tidak mampu
untuk mengendalikannya, terutama kemarahan (krodha),
akan mengakibatkan kehancuran.
Oleh karena itu, setiap perbuatan baik
dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti juga
berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul suatu
ajaran yang disebut Tat Twam Asi.
Tat Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuhan), semua makhluk
itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman)
dan Sat (Prakerti) semua makhluk.
Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan
Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu
aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah
tercantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal
yang sangat penting di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud
hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.
Untuk itulah
pengendalian diri atau introspeksi diri, yakni menilai kembali perbuatan atau
keberhasilan dan kegagalan kita masa lalu, sangatlah penting artinya
untuk keseimbangan dan keselaranan kedamaian hidup kita. Segala perbuatan baik
(subha karma) perlu dilestarikan dan
dikembangkan sedangkan segala kesalahan keburukan, perbuatan tidak baik (asubha karma) patut tidak dilakukan dan
dilenyapkan. Lebih-lebih kemampuan mengendalikan diri yang dilandasi dengan
cinta kasih, dan menghormati sesama, menyadari bahwa kita merupakan satu
keluarga (Wasudewa kutumbakam),
niscaya kekerasan akan berubah menjadi sebuah kedamaian hati.
Dalam Yayur Veda
XL.6 disebutkan bahwa
Yastu sarvani
bhutany atmanneva anupasyati
Sarvabhutatesu
catmanam tato na vi cikitsati
Terjemahannya :
Seorang yang melihat Dia berada
pada setiap mahluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada Nya, ia tidak
akan membenci yang lain. (Titib, 2003:31)
Sloka di atas
memberikan gambaran bahwa kebencian tidak akan ada apabila semua menyadari
bahwa beliau ada pada setiap mahluk. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana
engkau berbuat terhadap dirimu. Semua makhluk hidup adalah sahabat karibmu
karena pada mereka terdapat satu jiwa, yang merupakan bagian dari Brahman.
Betapa indahnya dunia ini ketika kesadaran itu muncul dan membawa caha kasih
menebar kegembiraan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan penuh dengan nuansa
keakraban. Satya Narayana menyatakan bahwa “ kasih dikaitkan dengan pikiran, ia
akan menjadi kebenaran, bila kasih dijadikan dasar perbuatan,maka perbuatan
akan menjadi dharma, bila perasaan dijiwai oleh kasih, hati akan penuh dengan
kedamaian, dan bila menjadikan cinta kasih sebagai penuntun pengertian dan cara
berfikir, maka akal budi akan dijiwai oleh sikap tanpa kekerasan. Karena itu
kasih adalah kebenaran,kasih adalah kebajikan, kasih adalah kedamaian, kasih
adalah tanpa kekerasan”.
Kemarahaan dapat
dihindari dengan selalu berusaha mulat sarira mengendalikan diri dengan
dilandasi kasih sayang, menghormati sesama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa ajaran yang terkandung dalam Bhagavadgita Bab XVI adalah
ajaran tentang Daivi Sampad (Asubha Karma) dan Asuri Sampad (Asubha Karma).
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini memiliki dua kecendrungan yaitu bersifat
baik (daivi sampad) dan bersifat buruk (asuri sampad). Kedua hal ini tidak bisa
dipisahkan karena saling mengisi. Seperti halnya konsep Rwa Bineda yang
merupakan dua hal yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan karena mereka itu
saling melengkapi satu sama lain. Dalam uraian di atas juga disebutkan ada tiga
pintu gerbang menuju neraka yaitu kama (nafsu), loba (kerakusan/ ketamakan) dan
krodha ( kemarahan). Ketiga sifat buruk ini harus dikendalikan oleh setiap
manusia agar tidak terjerumus ke dalam api neraka atau kesengsaraan.
3.2 Saran
Dalam kehidupan sehari-hari kita sangat perlu melaksanakan ajaran-ajaran agama Hindu yang tidak bertentangan dengan
ajaran susila, dengan melaksanakan ajaran susila akan dapat memberikan manfaat yang sangat baik bagi kehidupan kita ke depan. Pahami dan laksanakan ajaran susila atau ajaran-ajaran
agama yang bersumber dari kitab suci Weda seperti kitab Bhagavadgita.
DAFTAR
PUSTAKA
Kajeng,
I Nyoman dkk. 2003. Sarasamuccaya dengan teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna.
Jakarta: Pustaka Mitra Jaya
Maswinara, I Wayan.1999. Yajur Veda Samhita. Surabaya: Paramita
Prabhupada,
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavadgita
Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti
Prabhupada,
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2013. Sloka-Sloka
Pilihan dari Kesusastraan Veda. Hanuman Sakti: Jakarta
Sudirga,
Ida Bagus,dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta:Ganesha Exact
Sukartha,
I Ketut, dkk. 2004. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta:Ganesha Exact
Supartha,
I Made, dkk. 2007. Genitri Pendidikan Agama Hindu. Denpasar: Tri Agung
Titib,
I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol
dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Titib,
I Made.1996. Veda Sabda Suci Pedoman
Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar