BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Umat
Hindu banyak tersebar di Indonesia, masing-masing mempunyai budaya dan tradisi
yang berbeda-beda. Namun semua perbedaan itu merupakan jalan untuk mencapai
tujuan agama hindu yang patut kita lestrikan. Dengan demikian pemeluk Hindu
senantiasa dimotivasi untuk terus berkreasi untuk mengembangkan agama Hindu.
Kreasi dan tradisi harus senantiasa membawa visi dan misi yang telah ada dalam
kitab suci agama Hindu. Mahatma Gandhi mengatakan, berenang di lautan tradisi
adalah suatu keindahan. Namun kalau sampai tenggelam dalam lautan tradisi
adalah suatu ketololan (Wiana, 2002: 3).
Dalam
kaitannya dengan budaya Bali pada awal pertumbuhan para tokoh menjadikan
keyakinan agama Hindu sebagai pendorong munculnya budaya adalah ide, aktivitas,
dan budaya materi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu (Koentjaraningrat
1974:19). Salah satu tradisi yang ada di Bali, dan dilakukan oleh masyarakat
Panji adalah tradisi Magoak-goakan. Tradisi ini dimainkan oleh anak-anak
hingga orang tua yang berada di desa Panji. Dalam permainan Magoak- goakan,
ini dilakukan berbeda pada tempat lain, dimana yang dimainkan pada saat Ngembak
Geni, yang merupakan rangkaian hari raya Nyepi. Magoak-goakan diyakini
oleh masyarakat setempat bertujuan untuk mejaga hubungan yang harmonis antar
sesama masyarakat yang melakukan tradisi Magoak-goakan. Sehinga perlu
kajian filosofis,
agar tradisi ini tidak punah, dan masih tetap eksis dan berlaku di kalangan
masyarat hindu.
Tradisi Magoak-goakan ini
menjadi tolak ukur masyarakat Desa Panji untuk penghormatan terhadap raja Panji
dengan pasukannya yang bernama Teruna Goak. Tradisi Magoak-goakan dapat
dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang dimana dalam Agama Hindu di kenal
dengan adanya konsep Tri Hita Karana dimana hubungan yang harmonis
sangat di harapkan. Filosofis Tri Hita Karana mengajarkan bahwa
kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan
hubungan antar manusia dengan penciptanya (prahyangan), manusia dengan
alam (palemahan), dan manusia dengan sesamanya (pawongan)
(Windia, 2006: 26).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah Tradisi “Magoak-goakan” ?
2.
Bagaimanakah
kajian Adat, Budaya dan Agama Hindu dalam tradisi “Magoak-goakan” di Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng?
3.
Apa
makna dari tradisi “Magoak-goakan” ?
3.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah tradisi “Magoak-goakan”
2.
Untuk
mengetahui kajian Adat, Budaya dan Agama Hindu dalam tradisi “Magoak-goakan” di
Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng.
3.
Untuk
mengetahui makna dari tradisi “Magoak-goakan”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Tradisi “Magoak-goakan”
Tradisi Magoak-goakan
berasal dari Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Permainan
ini diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahn Ki Gusti Ngurah Panji Sakti di
Buleleng. Konon kemunculan permainan tradisional ini dilatarbelakangi persoalan
politik berkaitan dengan kekusaan raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti ke
Blambangan Jawa Timur. Diceritakan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti hendak mau
menyerang ke Blambangan, pada saat itulah Ki Tamblang Sampun mendapat perintah
dari I Gusti Anglurah Panji untuk memanggil seluruh anggota laskar Taruna
Goak untuk berkumpul di halaman Puri Panji. Acara dimulai dengan upacara
ritual dan disusul pementasan tarian "Baris Goak" yang ditarikan
oleh 20 orang anggota pasukan. Setelah itu dimulailah permainan "Magoak-goakan",
yaitu permainan "Madangdang-dangdangan", yaitu permainan
saling isi mengisi keinginan sadrasa antara anggota dalam permainan.
Masing-masing orang bergiliran menjadi "Goak" yang boleh
meminta apa saja yang diinginkan. Seluruh pemain telah mendapatkan apa yang
mereka inginkan, makanan-minuman (boga), pakaian, perabot (upaboga)
termasuk perempuan untuk isteri (pariboga). Semua itu diberikan oleh I
Gusti Ngurah Panji kepada anggota "Taruna Goak". Pada giliran
akhir, I Gusti Ngurah Panji menjadi "Goak". Seluruh pasukan Taruna
Goak serempak bertanya: "Hai Goak, apa keinginanmu?" Sang Goak
menjawab:
"Guaak, gwaak, gaak,
aku ingin menggempur Blambangan.....!!"(... ri uwusiŋ samaŋkana / gumanti
sri bupati dadi gowak / tinaňan deniŋ papatih kabeh / gowak apa karĕpmu /
sumawur tikaŋ gowak / gowak guwak / wak / arĕp anjayêŋ Braŋbaŋan / asurak tikaŋ
wwaŋ kabeh / apan sĕsĕk syuh pĕnuh punaŋ bala ananonton /..)
Terjemahan:
Seketika riuh bersorak
gemuruh dengan penuh semangat untuk memenuhi keinginan Sang Goak, tidak lain I
Gusti Anglurah Panji sebagai goak. Para hadirin dan penonton semuanya bersorak
riuh memberi dukungan semangat untuk mengempur Blambangan.
Penyerangan "Taruna
Goak" ke Blambangan. Laskar Den Bukit "Taruna Goak"
harus telah dipersiapkan dengan segala kemampuan karena I Gusti Anglurah Panji
menyadari bahwa prajurit Blambangan dengan pasukan berpengalaman yang terkenal
kebal senjata dengan ilmu tenung. Oleh karena itu persiapan matang harus
dilakukan. Selain keris, tombak dan panah juga dikembangkan senjata sumpit
dengan panah beracun. Lagi pula letak ibu kota Blambangan berpindah beberapa kali
membuat strategi penyerangan sulit.
Laskar dibagi empat bagian, termasuk armada kapal laut, pasukan panah,
sumpit, tombak termasuk pasukan senjata api (bedil) dan logistik.
Setelah ditentukan hari yang baik oleh Sang Bhagawanta mulailah pasukan
bertolak ke Blambangan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Panji berbekal senjata
keris pusaka Ki Semang dengan tulup Ki Pangkajatattwa. Selain itu ada
dua senjata bertuah asli buatan Banjar, Ki Baru Ketug dibawa oleh I Gusti
Tamlang dan Ki Baru Sakoti dibawa oleh I Gusti Batan. Armada kapal berlayar
melalui Segara Rupek menuju pantai Tirta Arum.
Penduduk sangat terkejut
munculnya pasukan Taruna Goak yang menyerang tiba-tiba. Banyak penduduk
yang lari tanpa arah, ada yang ke utara dan ke selatan, ada yang lari menuju
kota. Sampai di Banger mendapat perlawanan
sengit dari pasukan Macan Putih Blambangan. Pertempuran berkecamuk secara
membabi buta. Mayat bergelimpangan dan darah membasahi medan pertempuran.
Pasukan Bali sangat
ahli mempergunakan senjata sumpit sehingga banyak jatuh korban dari pihak
laskar Macan Putih tak akan mampu menandingi pasukan Bali, dengan demikian
Kerajaan Blambangan dapat dikuasai oleh I Gusti Ngurah Panji. Ribuan prajurit
Blambangan menyerahkan diri kepada Patih I Gusti Tamblang dan bersumpah setia
kepada I Gusti Anglurah Panji Raja Den Bukit. Setelah beberapa lama berada di
Blambangan, beliau mengangkat putranya tertua I Gusti Ngurah Wayan sebagai Raja
Blambangan dengan pasukan prajurit 600 orang ( Sejarah Buleleng: 14-16).
2.1.1 Persiapan dan Aturan Permainan
Masyarakat berkumpul di lapangan Desa
Panji, sebelum pelaksanaan masyarakat mengalirkan air untuk menggenangi
lapangan setempat. Yang tujuannya adalah untuk para pemain goak yang
jatuh pada saat melakukan permainan ini tidak terluka. Karena dalam permainan Magoak-goakan
tidak ada yang mengatur, maka muda-mudi bermain dengan cara berlari-lari
sambil menarik teman-temannya yang ada dipinggir lapangan untuk ikut bersama
melakukan permainan Magoak-goakan.
Adapun
aturan permainan yang ada dalam tradisi Magoak-goakan antara lain,
pemain di depan harus bisa menangkap ekor yang ada di belakang, jika ekornya
sudah tertangkap maka selesailah permainan Magoak-goakan, dan pemeran goak
tadi masuk kedalam barisan, dan digantikan oleh pemain goak yang
lainnya. Untuk memerankan menjadi goak tidaklah mudah untuk berlari,
melainkan faktor lapangan yang becek mengakibatkan peserta cepat jungkir balik,
karena ikat pinggangnya juga dipegang dari belakang.
2.1.2
Tempat dan Waktu Pelaksanaan Tradisi Magoak-goakan
Permainan ini dilakukan di lapangan Desa Panji, dari
masyarakat sangat antusias turun ke lapangan setempat untuk ikut ataupun
menyaksikan pelaksanaan tradisi Magoak-goakan tersebut, karena dalam
permainan ini tak ada yang mengkordinir, ataupun memaksa untuk ikut
melaksanakan tradisi Magoak-goakan tersebut.
Adapun
tradisi Magoak-goakan ini dilakukan pada saat Ngembak Geni, yang
dimulai pada sore hari dari jam 15.00- selesai. Tujuan dalam pelaksanaan ini
adalah untuk menjalin rasa manyama braya diantara masyarakat yang ikut
melaksanakannya tradisi Magoak-goakan, dan sebagai ajang pelestarian
budaya yang diwariskan para leluhur.
2.1.3
Permainan Tradisi Magoak-goakan
Dalam
tradisi Magoak-goakan masyarakat Panji sangat antusias untuk
mengikutinya. Baik yang ikut serta dalam permainan maupun yang menonton.
Komposisi dalam permainan tardisi ini yaitu berleret ke belakang,
berselang-seling antara pemain perempuan dengan yang laki-laki. Dalam permainan
ini, pemain goak berlari sekuat tenaga untuk menangkap ekor dari
permainan itu sendiri.
2.2
Kajian Adat, Budaya dan
Agama Hindu dalam tradisi Magoak-goakan
di Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
2.2.1
Kajian Adat
Dilihat
dari segi adat bahwa tradisi “Magoak-goakan”
di Desa Panji, Kecamatan Sukasada,
Kabupaten Buleleng ini memang sangat kental sekali. Tradisi “Magoak-goakan” ini diatur dalam
awig-awig Desa setempat, dan merupakan trasisi yang selalu dirayakan setiap “Ngembak Gni”. Masyarakat Desa Panji
sangat antusias dalam melestarikan tradisi ini, selain sebagai upaya
pelestarian budaya juga sebagai penghormatan atas keberhasilan pasukan “teruna goak” dalam menggempur
Blambangan.
2.2.2
Kajian Budaya
Dilihat
dari segi sosial budaya tradisi Magoak-goakan ini sebagai alat untuk
menjalin rasa persatuan, persaudaraan, rasa tanggungjawab bersama sebagai
faktor utama dalam pembangunan, dan tercapinya masyarakat yang adil. Dengan
adanya kesatuan, persaudaraan, dan persamaan hak dan kewajiban maka timbullah
rasa tanggungjawab dan kesetiaan masyarakat Desa demi tercapai kesejahteraan
bersama. Berdasarkan kenyataan mengenai jumlah masyarakat yang ikut dalam
tradisi Magoak-goakan, dapat diukur seberapa besar kekuatan tenaga
kerja, dan sifat gotong royang sebagai faktor utama didalam pembangunan, demi
tercapainya masyarakat adil dan sejahtera.
Manusia adalah homo sosius yang tidak bisa lepas dari orang lain, manusia
tidak dapat hidup sendirian, dan selalu hidup bersama-sama dengan manusia lain.
Manusia hanya dapat hidup dengan baik apabila ia hidup bersama-sama manusia
lain dalam masyarakat. Dalam kehidupan ini tak bisa dibayangkan apabila manusia
hidup sendiri, tanpa berhubungan dan bergaul dengan sesama manusia lainya.
Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar, hal ini
menunjukkan bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan pertolongan
orang lain dalam kesempurnaan hidupnya.
Dilihat dari fungsi solidaritas,
dimana para pemain dituntut untuk bekerja keras, saling bantu, dan membagi suka
maupun duka dalam permainan Magoak-goakan ini. Permainan Magoak-goakan
ini menuntut agar pemain harus bekerja keras dalam menyerang dan
menakklukan lawan. Hal ini tampak pada gerakan-gerakan lincah yang diperagakan
oleh para pemain, yang kadang kala berlari, menari, jongkok, merayap
berputar-putar, berbalik, atau melompat ke sana ke mari.
2.2.3 Kajian Agama
Tradisi Magoak-goakan yang dilaksanakan
dengan penuh rasa kebersamaan oleh masyarakat Panji, karena tradisi ini sudah
mendarah daging dapat dianggap sebagai segala aspek yang mempengaruhi segala
kehidupan masyarakat Panji sendiri, yang terdapat dalam kehidupan beragama
maupun dalam kehidupan sosial. Jadi berdasarkan dari sejarah dan asal-usul
timbulnya tradisi Magoak-goakan yang berada di lingkungan masyarakat
Panji.
Untuk mencapai kedamaian secara mantap, maka ketiga unsur sebagai pencipta
dalam kesejahteraan, yaitu disebut dengan ajaran Tri Hita Karana antara
lain: Parahyangan, Palemahan, dan Pawongan. Ketiga unsur di atas
bekerja dengan rapi untuk bekerja saling jalin menjalin, sehingga Desa betul-betul
merupakan badan hukum yang komplit, karena merupakan suatu kehidupan (Cudamani,
1989: 75).
Dalam pelaksanaanya melalui mendekatkan diri dengan Dewa-Dewi, dan para
leluhur, yang diawali dengan persembahyangan di pura Pajenengan Panji. Dalam
persembahyangannya tidak ada yang memimpin diharapkan dapat membantu manusia
untuk menjalin rasa persaudaraan dan kesejahteraan.
Keharmonisan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Tim-Penyusun (1991:342),
mengandung arti suatu keadaan yang selaras atau serasi dimana keserasian ini
diakibatkan beberapa faktor yang ikut menjadi bagian yang saling menguntungka,
sedangkan keselarasan mengandung makna kesesuia, pusat pelaku dalam harmonisasi
yang hidup di Bumi berusaha untuk menyelaraskan, menyesuaikan dan mencocokkan
dirinya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dengan lingkungan yang ada
disekitarnya.
Dalam kitab Manawa
Dharmasastra III, 76 dikatakan:
agnau prastahutih samsyag
adityam upatistate,
adityajjayate vrstir
vrsterannamtatah prajah.
Terjemahan:
Pesembahan yang dimasukkan
api akan mencapai matahari, Dari matahari akan turunlah hujan,
Dari hujan timbullah
makanan dari mana maklhuk hidup mendapatkan hidupnya
Apa yang kita terima dari alam sudah sepantasnyalah kita
kembalikan kea lam, proses itu akan berulang kembali, karena berjalan dengan
adil. Tradisi Magoak-goakan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan,
keharmonisan, dan keselarasan dalam diri, maupun untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan Yang Maha
Esa. Adapun kegiatan yang bersifat ritual, baik yang berkaitan dengan agama
maupun tradisi. Magoak-goakan adalah sebagai warisan yang diyakini
memiliki arti dan makna bagi masyarakat Panji, dan dapat rasa kebersamaan dan
keharmonisan.
2.3
Makna dalam tradisi “magoak-goakan”
Tradisi Magoak-goakan ini
dilaksanakan dengan penuh keakraban tanpa ada yang membedakan status ataupun
golongan, dianggap sebagai suatu hal yang sudah mempengaruhi kehidupan pada
masyarakat Panji, dapat digolongkan menjadi tiga makna, yang meliputi:
A. Makna Etika
Dalam kehidupan manusia dituntut untuk berbuat atau bertingkah laku yang
baik, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu keselarasan dan
keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Etika berkaitan erat dengan kata
moral yang merupakan istilah dari bahasa latin, yaitu “mos” dan dalam
bentuk jamaknya “mores” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang atau sekelompok orang (Ruslan, 2001: 29).
Frans Magnis-Susena dalam
bukunya yang berjudul Etika Jawa menyatakan bahwa, “Etika” merupakan
keseluruhan norma-norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan ( Susena, 1993:
6).
Ajaran Agama Hindu mengajarkan agar manusia dapat berkata yang benar yang
disebut dengan wacika parisuda. Bahwa dengan berkata-kata yang benar
kita akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Hal ini sesuai dengan kitab
suci Sarasamuscaya sloka 75 disebutkan sebagai berikut:
Nyang tanpa prawrityaning
wak, pat awehnya, pratekyannya, ujar ahala, ujar uprgas, ujar picuna, ujar
nithya, naan tang pat sanggahaning wak, tan ujarakena, tan
angina-ngena,kojarnya.
Terjmahannya:
Inilah yang patut timbul
dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar,
menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus
disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan dipikir-pikirkan akan
diucapkan (Kajeng, dkk, 1997: 65-66)
Sesuai dengan pengertian
di atas dapat disimpulkan, bahwa sungguh pentingnya perkataan yang suci,
sehingga dapat menyenangkan atau membahagiakan sesama manusia. Begitu pula
dengan perbuatan yang baik berdasarkan dharma, agar mencapai kebahagiaan dan
keharmonisan.
Dilihat dari segi etika maka tradisi Magoak-goakan, berusaha untuk
saling hormat menghormati, tanpa ada yang membedakan status dalam
pelaksanaanya, sabriyuk sapanggul yang tujuannya untuk saling bergotong
royong, untuk terjalin hubungan yang selaras antara yang ikut melaksanakannya.
B. Makna Estetika
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia kata seni adalah indah, halus, dan
luhur (Poerwardaminta, 1983: 157). Sedangkan budaya berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti pikiran akal budi. Jadi seni budaya adalah segala
hasil daya cipta karsa manusia yang diciptakan dengan pikiran yang halus dan
indah.
Seni budaya adalah segala hasil
daya cipta manusia yang diciptakan dengan halus, indah, dan luhur yang dibuat
oleh tangan manusia itu sendiri. Setiap manusia mempunyai perasaan seni
terhadap sesuatu yang dipandangnya. Alam dengan keanekaragamannya mempunyai nilai-nilai
seni dan semua itu tergantung dari cara pandang manusia itu sendiri. Kalau
dilihat dari alat yang dipergunakan dalam permainan ini seperti, topeng dan gambelan
baleganjur yang mengiringi prosesi dari Magoak-goakan maka sangatlah
mengandung nilai-nilai seni budaya didalamnya.
C. Makna Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tim-Penyusun (1991: 232) disebutkan
bahwa: pendidikan berasal dari kata “ didik” berarti memelihara, memberi
latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Selanjutnya kata “didik” mendapatkan awalan pe- dan an, sehingga
menjadi kata bentukan pendidikan yang berarti proses perubahan sikap dan tata
tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan.
Dalam sistem ajaran Agama Hindhu, Sradha mempunyai fungsi dan
kedudukan sebagai rangka Dharma, kerangka bentuk isi dari pada Agama Hindu. Sradha
sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan.
Pengertian ini dapat kita lihat dalam kutipan sebagai berikut:
Sradha Satyam Ajayoti,
Sradham Satye Prajapatih
Terjemahan
Dewa sradha akan
mencapai Tuhan
Tuhan menetapkan dengan Sradha
menuju kepada satya (Yajur Weda XIX, 30 )
Dengan berpedoman pada Sradha
sebagai dasar pengertian keagamaan, Agama Hindu dapat dijelaskan. Sradha
adalah kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran didalam agama Hindu
yang perlu diyakini dan dihayati dengan penuh rasa pengertian.
Dalam makna pendidikan, maka melatih
pemain untuk bekerja keras, mengedepankan sportivitas, keikhlasan yang tumbuh
dari budi, dan moral yang luhur untuk menciptakan kedamaian bagi masyarakat
Desa Panji.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan di atas
dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
A. Bentuk Tradisi Magoak-goakan
Bentuk tradisi Magoak-goakan yaitu
dilakukan oleh masyarakat Desa Panji, dengan berkumpul di lapangan Desa
setempat. Dalam permain Magoak-goakan ini dibentuk sebuah barisan
kebelakang, dan saling bepegangan antara pemain yang ada didepannya. Adapun
aturan permainan Magoak-goakan yakni, peserta yang paling depan bertugas
untuk menangkap ekor yang ada paling belakang.
B. Fungsi Tradisi Magoak-goakan
Adapun
fungsi dari tradisi Magoak-goakan yakni, untuk memperdalam rasa
kekerabatan diantara masyarakat yang ikut melakukannya. Tradisi Magoak- goakan
mempunyai
tujuan untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Pelaksanaan tradisi Magoak-goakan
melibatkan banyak orang yang tanpa membedakan status untuk ikut berbaris
untuk memainkan Magoak-goakan.
C. Makna Tradisi Magoak-goakan
Makna dari tradisi Magoak-goakan
yakni, dengan kreativitas dari seorang pemain sulit untuk diterka arah
gerakannya. Serta dalam permainan Magoak-goakan diiringi dengan alunan
bleganjur untuk memotivasi para pemain agar tetap bersemangat untuk mengikuti
permainan ini. Bertitik tolak dari tradisi Magoak-goakan mempunyai
pandangan dan kepercayaan masyarakat untuk melaksanakannya akan menumbuhkan
kebersamaan dan kedamain bagi yang ikut melakoni tradisi Magoak-goakan.
3.2
Saran
A. Membangkitkan Kesadaran
Indivual
Dalam upaya menunjukkan sebuah
permainan antara goak pada waktu menangkap anak ayam harus tetap
menjalin rasa kebersamaan. Karena tradisi Magoak-goakan tidak ada
konswensi kalah menang, dalam permainan Magoak-goakan ini semua bisa
memerankannya.
B. Usaha Pelestarian Budaya
Tradisi Magoak-goakan sebagai
modal budaya perlu kiranya diberikan ruang dan perhatian khusus. Dalam bidang
penelitian tradisi Magoak-goakan hasilnya diharapkan dapat disebar
luaskan bagi masyarakat. Dalam tradisi Magoak-goakan ini sebagai warisan
dari zaman terdahulu, alangkah baiknya apabila permainan tersebut kembali
dibina, ditingkatkan dan dikembangkan sehingga menjadi pertunjukan nasional.
C. Usaha Peningkatan Kualitas
Pemahaman Dalam Tradisi Magoak-goakan
Para generasi muda
diharapkan dapat memahami makna yang terkandung dalam tradisi Magoak-goakan,
karena dieraglobalisasi ini banyak generasi muda yang enggan untuk mengenal
tradisi , yang mereka anggap sudah masa lalu. Dari mengenal tradisi Magoak-goakan
inilah agar dapat mempertebal rasa persatuan untuk memperkokoh rasa
kebersamaan.
Daftar
Pustaka
Cudamani, 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Dharma Sastra.
Kajeng, I Nyoman dkk. 1997. Sarasamuscaya.
Pudja, G. Dan Tjokorda Rai Sudharta. 2004. Manawa Dharma
Sastra (Manu Dharmasastra). Surabaya: Paramita.
Pemerintah Kabupaten Buleleng. 2010. Sejarah Buleleng.
Singaraja: UPTD Gedong Kirtya.
Titib, I Made. 2003. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis
Kehidupan. Paramita: Surabaya
Wiana, Ketut, 2002. Makna Upacara Dalam Agama Hindu.
Surabaya; Paramita.
Windia, Nyoman, 2006. Konsep
Tri Hita Karana Dalam Tradisi Bali. Surabaya; Paramita.
Sumber Internet :
http://www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar