MAKALAH
BAHASA DAERAH 1
“Karya Sastra Berbahasa Bali
Yang Berkaitan Dengan Ajaran
Agama Hindu”
Nama : I NYOMAN ALIT
NIM : 14.1.1.1.1.115
Kelas/Semester : B2/I
Fakultas : Dharma Acarya
Jurusan : Pendidikan Agama
Program Studi : Pendidikan Agama Hindu
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
IHDN DENPASAR
Jalan Ratna No. 51 Tatasan Denpasar
Tahun
2014
KATA PENGANTAR
þ¾¾sÙsÓísÓu¾¾¾¾.
Kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah melimpahkan rahmat-NYA,
sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tidak lupa
kita curahkan rasa syukur kita kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang telah membimbing umatnya di jalan yang
benar.
Makalah ini bersisi tentang “ Karya Sastra berbahasa bali yang berkaitan
dengan Agama Hindu “. Makalah ini saya
buat sebagai tugas Bahasa Daerah I.
Dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :
1.
Ibu Gek Diah Desi Sentana, selaku Dosen Mata Kuliah.
2.
Orang tua kami yang telah membantu baik moril
maupun materi
3.
Rekan-rekan yang telah membantu dalam
penyusunan laporan ini
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari Dosen
mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih
baik di masa yang akan datang.
þ¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾ ¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾
¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾þ
Denpasar,
1 Januari 2015
Penyusun
I
Nyoma Alit
NIM : 14.1.1.1.1.115
|
DAFTAR ISI
Cover Judul...............................................................................................................................
1
Kata
Pengantar..........................................................................................................................
2
Daftar
Isi...................................................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang...........................................................................................................................4
Tujuan
Penulisan........................................................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karya
Sastra Berbahasa Bali yang berkaitan
dengan Agama Hindu................................5
2.2 Analisis
karya sastra berdasarkan keterkaitannya dengan Agama
Hindu..........................8
2.3 Analisis
kruna....................................................................................................................
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam masyarakat Bali banyak tersebar cerita-cerita rakyat. Cerita rakyat
di Bali sering disebut dengan Satua Bali. Secara sempit yang disebut Satua Bali
adalah satua-satua yang penyebarannya dari mulut ke mulut dan tidak diketahui
siapa penciptanya. Tetapi dalam pandangan luas, satua Bali berasal dari
karya-karya pengarang, baik yang berbahasa Bali maupun berbahasa Jawa Kuna.
Satua-satua Bali baik yang masih berbentuk lisan maupun yang sudah dicetak,
banyak ditemukan di masyarakat.
Dalam era modern, satua-satua masih berfungsi dan dipercaya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya dengan cerita rakyat, misalnya : pada malam hari tidak boleh bersiul, tidak boleh keluar rumah pada sore hari (sandi kala), tidak boleh menduduki bantal, tidak boleh tidur menghadap selatan atau barat, dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Dari berbagai macam satua di Bali, yang menarik untuk diteliti adalah satua yang berjudul “I Cicing Gudig”. Dari segi fungsi, satua ini sangat bermanfaat karena berfungsi sebagai cerita yang menghibur, merupakan alat pendidikan karena mengandung pesan yang sangat mendidik yaitu kecerdikan dan kepintaran dapat mengalahkan kejahatan, selain itu juga berfungsi sebagai pelipur lara.
Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini akan dianalisis satua yang berjudul “Satua I Cicing Gudig”, dan hal yang akan dibicarakan mengenai inventarisasi, klasifikasi, analisis fungsi, dan analisis nilai.
Dalam era modern, satua-satua masih berfungsi dan dipercaya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya dengan cerita rakyat, misalnya : pada malam hari tidak boleh bersiul, tidak boleh keluar rumah pada sore hari (sandi kala), tidak boleh menduduki bantal, tidak boleh tidur menghadap selatan atau barat, dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Dari berbagai macam satua di Bali, yang menarik untuk diteliti adalah satua yang berjudul “I Cicing Gudig”. Dari segi fungsi, satua ini sangat bermanfaat karena berfungsi sebagai cerita yang menghibur, merupakan alat pendidikan karena mengandung pesan yang sangat mendidik yaitu kecerdikan dan kepintaran dapat mengalahkan kejahatan, selain itu juga berfungsi sebagai pelipur lara.
Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini akan dianalisis satua yang berjudul “Satua I Cicing Gudig”, dan hal yang akan dibicarakan mengenai inventarisasi, klasifikasi, analisis fungsi, dan analisis nilai.
Oleh sebab itu dalam makalah ini
saya menguraikan salah satu karya sastra Bali yang berkaitan dengan Agama
Hindu. Karena belakangan ini masyarakat Bali kurang peduli terhadap karya-karya
sastra berbahasa bali yang diwariskan oleh leluhur kita terdahulu.
1.2 Tujuan :
Untuk mengetahui
keterkaitan karya-karya sastra berbahasa bali dengan Agama Hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karya Sastra Berbahasa Bali yang
berkaitan dengan Agama Hindu
2.1.1
Pengertian Kesusastraan Bali
Kesusastraan Bali adalah karya tulis yang berisi ungkapan dari pikiran,
kepandaian, serta menggunakan gaya bahasa yang bagus, yang keluar dari pikiran
yang berbudi luhur. Dan ditulis memakai Bahasa Bali, serta boleh ditulis dalam
tulisan Bali atau latin.
2.1.2
Pembagaian Kesusastraan Bali
2.1.2.1
Menurut Bentuk / Rupa
A.
Sastra Tembang (Gending / sekar)
a)
Pengertian Tembang
Tembang adalah karya sastra mengguakan Bahasa Bali, Tulisan Bali atau Latin.
Dan dalam pembuatannya menuruti aturan-aturan tembang yang berupa bait. Seperti
aturan - aturan banyak baris, banyak suku kata pada baris dan aturan suara.
Tembang adalah salah satu cabang kesenian daerah Bali yang termasuk seni vocal
tradisional sebagai pencetusan estetika melalui rangkaian nada-nada yang
berlaraskan pelog / peluselendra baik yang dibawakan dengan suara maupun
instrumentalia (alat musik).
b)
Fungsi Tembang
Tembang memiliki berbagai fungsi diantaranya :
1.
Sebagai hiburan Manusia
2.
Sebagai sarana untuk mengiringi upacara
keagamaan / upacara Yadnya
3.
Sebagai sarana utuk melestarikan budaya
4.
Sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat.
c)
Pembagian Tembang
Mengenai pembagian tembang para sastrawan pada saat munculnya tembang mempunyai
pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan pendapatnya
masing-masing. Dalam hal ini kita mengambil salah satu pendapat dari bapak I
Ketut Sukrata, beliau membagi tembang menjadi 4 bagian yaitu :
1)
Sekar Rare
Sekar Rare adalah nyanyian atau lagu-lagu yang juga disebut gegendingan. Biasa
dinyanyikan oleh anak-anak, dipakai mengiringi gambelen menggunakan bahasa
daerah, memakai sajak bebas, isinya sebuah cerita samapi selesai, setiap lagu
punya nama tersendiri dan didalamnya selalu diselipkan ajaran- ajaran susila.
2) Sekar Alit
Sekar Alit adalah nyanyian atau lagu-lagu yang juga disebut geguritan berupa
pupuh (macapat) yang susunannya terikat pada banyak baris pada setiap pupuh,
banyak suku kata pada setiap baris, labuh suara (lingsa) kata terakhir setiap
baris dan berisi ajaran-ajaran agama. Pupuh (tembang) itu dapat dibedakan
antara lain :
a) Pupuh Sinom
b) Pupuh Semarandana
c) Pupuh Pucung
d) Pupuh Pangkur
e) Pupuh Dandang Gula
f) Pupuh Durma
g) Pupuh Ginada
h) Pupuh Ginanti
i)
Pupuh
Mijil
j)
Pupuh
Maskumambang
3)
Sekar Madya
Sekar Madya adalah nyanyian atau lagu-lagu yang berisikan puji-pujian terhadap
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Yang termasuk Sekar Madya adalah kidung. Kidung
adalah nyanyian suci yang dilagukan pada waktu upacara keagamaan. Kidung
biasanya dilagukan bersama-sama. Sayair kidung merupakan susunan kata-kata dan
kalimat yang indah. Syair itu dilantunkan dengan lagu yang merdu dan suara yang
baik sehingga menampilkan karya seni yang bermutu. Nyanyian suci yang hikmat
dapat menghantarkan fikiran dan hati kita sujud bhakti kehadapan Sang Hyang
Widhi. Kidung biasaya dilantunkan pada upacara keagamaan yaitu Panca Yadnya.
Masing-masing upacara Yadnya memiliki jenis kidung yang berbeda-beda. Kidung
juaga dapat dibedakan menjadi 5 macam seperti berikut ini.
a.
Kidung Dewa Yadnya adalah kidung yang dipakai
mengiringi upacara Dewa Yadnya.
b.
Kidung Bhuta Yadnya adalah kidung yang dipakai
mengiringi upacara Bhuta yadnya.
c.
Kidung Manusa Yadnya adalah kidung yang dipakai
mengiringi upacara Manusa Yadnya.
d.
Kidung Pitra Yadnya adalah kidung yang dipakai
mengiringi upacara Pitra Yadnya.
e.
Kidung Rsi Yadnya dalah kidung yang dipakai untuk
mengiringi upacara Rsi Yadnya.
4)
Sekar Agung
Sekar agung adalah nyanyian atau lagu-lagu atau tembang yang terkait pada susku
kata dalam setiap baris (wrtta), letak guru lagu atau (matra) dan purwa kanti,
tembangnya bebas asal enak didengar dan tidak meninggalkan guru l
agu, berisi
ajaran agama. Yang termasuk Sekar Agung adalah :
a.
Palawakya seperti membaca skola-sloka
Sarasamuscaya.
b.
Kekawin seperti : Kekawin ramayana, Kekawin
Arjuna Wiwaha, dll.
B.
Sastra Gancaran
Gancaran adalah karya sastra yang menggunakan Bahasa Bali yang ditulis tidak
mengikuti aturan-aturan dalam tembang. Gancaran Bali purwa dibagi menjadi 6
diantaranya :
1)
Cerita (Dongeng)
2)
Cerita Badbad (Hikayat)
3)
Cerita Wiracarita (Epos)
4)
Cerita Dewa-Dewa (Mitos)
5)
Cerita Tempat (Legenda)
6)
Palawakya (Prosalisasi)
2.1.2.2
Menurut Jaman
a.
Sastra Bali Purwa (klasik,kuna)
Kesusastraan Bali Purwa, ialah kesusastraan yang telah diwarisi sejak jaman
lampau dan lekat sekali kaitannya dengan Pustaka Suci Agama Hindu, misalnya :
Buku-buku Weda, yang telah menjelma menjadi kesusastraan Nusantara Kuna
diantaranya Kesusastraan Bali Purwa. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa itu
kalau dilihat dari bentuk dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai tersebut
dimuka, yaitu : tembang, gancaran dan palawakya.
b.
Sastra Bali Anyar (Moderen)
Kesusastraan Bali Anyar, ialah Kesusastraan Bali yang telah mendapat pengaruh
dari Kesusastraan Nasional yaitu kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Bali
Anyar dapat dibedakan berupa :
a)
Satua Bawak (Cerpen)
b)
Satua Dawa (Novel)
c)
Puisi Bali Anyar
d)
Lelampahan (Drama)
2.1.2.3
Kesustraan Bali Menurut Cara Menuturkan
a.
Sastra Gantian
Sastra gantian ini pada umumnya anonim dan cara penyampaiannya merupakan bahasa
lisan secara turun temurun. Bentuknya ada yang merupakan tembang ada yang
berupa gancaran.
b.
Sastra Sesuratan
Sastra sesuratan ini timbul setelah orang-orang Bali mengenal huruf, baik huruf
Bali maupun huruf latin. Bentuknya ada berupa tembang, gancaran dan palwakya.
Selanjutnya setelah mendapat pengaruh dari kesusastraan Indonesia munculah
kesusastraan Bali Modern.
Contoh yang saya
ambil pada saat ini adalah Satua Bali yang berjudul I Cicing Gudig
2.2 Analisis berdasarkan keterkaitannya
dengan Agama Hindu :
I Cicing Gudig
Nah ade kone tuturan satua I Cicing Gudig. I Cicing Gudig, buka adanne berag tegreg tur keskes gudig, sing jalanan mlispis ada dogen anak ngesekang wiadin ngaltig. Sai-sai kone ia maselselan, nyelselang buat kalacuranne tumbuh dadi cicing makejang anake tuara ngiyengin.
Sedek dina anu I Cicing Gudig mlispis di pekene. Ada
kone anak madaar di dagang nasine, ento kone nengnenga menek tuunanga dogen.
Kene kenehne I Cicing Gudig, “Yan i dewek dadi manusa buka anake ento, kenken
ya legan nyete ngamah, mebe soroh ane melah-melah. Ah kene baan, nyanan petenge
lakar mabakti ke Pura Dalem, mapinunas teken Batari Durga apang dadi manusa.
Kacrita suba peteng, mabakti kone lantas I Cicing Gudig
di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig,
”Ih iba Cicing Gudig, dadi iba ngacep nira, apa katunasang?” Masaut I Cicing
Gudig, “Inggih paduka Betari, yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas
mangda dados manusa.”Kalugra kone pinunasne I Cicing Gudig, lantas ia dadi
jlema. Dening I Cicing Gudig tusing bisa ngalih gae, tusing pati kone ngamah.
Mara-maraan ngamah ulihan maan mamaling. Pepes kone ia katara mamaling. Lantas
buin kone ia mabakti di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika
teken I Cicing Gudig, “Ih iba cai I Cicing Gudig, ngenken dadi iba buin mai?”
Matur I Cicing Gudig, “Inggih paduka Betari, titiang tan wenten demen dados
manusa panjak. Yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas mangda dados
“Patih”. Ida Betari Durga lugra.
Nujuang pesan kone dugase ento Ida Sang Prabu ngrereh buin adiri. I Cicing Gudig lantas kandikaang dadi Patih, tur I Cicing Gudig ngiring.“Beh keweh pesan i dewek dadi Pepatih, tusing maan ngenken-ngenken, begbeg pesan kandikayang tangkil ka puri. Yan i dewek dadi Anak Agung, kenken ya legan nyete nunden-nunden dogen.” Keto kenehne I Cicing Gudig. Nyanan petengne buin kone ia mabakti di Pura Dalem, mapinunasang apang dadi Anak Agung. Ida Betari Durga lugra, lantas patuh pesan kone goban I Cicing Gudige teken warna Ida Sang Prabu.
Nujuang pesan kone dugase ento Ida Sang Prabu ngrereh buin adiri. I Cicing Gudig lantas kandikaang dadi Patih, tur I Cicing Gudig ngiring.“Beh keweh pesan i dewek dadi Pepatih, tusing maan ngenken-ngenken, begbeg pesan kandikayang tangkil ka puri. Yan i dewek dadi Anak Agung, kenken ya legan nyete nunden-nunden dogen.” Keto kenehne I Cicing Gudig. Nyanan petengne buin kone ia mabakti di Pura Dalem, mapinunasang apang dadi Anak Agung. Ida Betari Durga lugra, lantas patuh pesan kone goban I Cicing Gudige teken warna Ida Sang Prabu.
Kacrita sedek dina anu Sang Prabu lunga maboros ka
alase, macelig kone I Cicing Gudig ka puri. Dening patuh goban I Cicing Gudige
teken Ida Sang Prabu, dadi kasengguh Ida Sang Prabu kone ia baan I Patih muah
teken prayogiane ane len-lenan.
Matur I Patih saha bakti, “Titiang mamitang lugra Ratu Sang Prabu, punapi awinan dados Cokor I Ratu paragayan tulak saking paburuan?” Masaut I Cicing Gudig, “Kene Patih, mawinan nira tulak, saking nira ngiringang sabdan Betara, tan kalugra nira malaksana mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin, mawanan tan pairingan nira mulih.” Keto pamunyinne I Cicing Gudig, teka jag ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.
Matur I Patih saha bakti, “Titiang mamitang lugra Ratu Sang Prabu, punapi awinan dados Cokor I Ratu paragayan tulak saking paburuan?” Masaut I Cicing Gudig, “Kene Patih, mawinan nira tulak, saking nira ngiringang sabdan Betara, tan kalugra nira malaksana mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin, mawanan tan pairingan nira mulih.” Keto pamunyinne I Cicing Gudig, teka jag ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.
Kacrita sai-sai kone I Cicing Gudig ngraosin anak
mawikara. Reh Cicig gudig tuara nawang lud, makejang wikaran anake pelih baana
ngundukang, ane patut menang kalahanga, anak patut kalah menanganga. Mawanan
kaupet kone I Cicing Gudig dadi Agung, sawai-wai ngencanin anak mawikara dogen.
Yan I Dewek okan Anak Agung, kenken ya demene, kema mai malali iringang
parekan, di kenkene magandong, buina tusing pesan ngitungan apan-apan,
sajawaning ngamah teken malali dogen.
Nyanan petengne, mabakti kone buin I Cicing Gudig di
Pura Dalem, mapinunas apang dadi okan Anak Agung. Ida Betari Durga lugra. Patuh
lantas gobanne I Cicing Gudig buka warnanida Raden Mantri. Buin mani
semenganne, maorta ilang kone lantas Ida Raden Mantri. Ya sedeng ewana jerone
ngibukang Raden Mantri, deleng-deleng kone lantas I Cicing Gudig ngapuriang.
Reh Cicing Gudig kasengguh Raden Mantri, makesiar kone keneh wang jerone
makejang.
Kacrita jani I Cicing Gudig kapurukang malajah masastra.
Dening asing ajahina muah takonina I Cicing Gudig tuara karoan baana apa,
saapan kone lantas gurune ngemplangin I Cicing Gudig. “Koang,” keto kone
aduhanne I Cicing Gudig. Dening keto, buin kone pasangetina ngemplangin I
Cicing Gudig. “Koang,” keto kone buin aduhanne. Buin kemplangina tur
pasangetina, buin kone I Cicing Gudig makoangan. Brangti kone lantas gurunne,
lantas ia nyemak penyalin anggona nigtig I Cicing Gudig, kanti enceh-enceh,
mara kone suudanga
Kacrita nyanan petengne kone ka Pura Dalem lantas I
Cicing Gudig mabakti, mapinunas apang buin dadi Cicing Gudig buka jati mula. I
Cicing Gudig lantas buin dadi cicing gudig.
Unsur
Intrinsik Satua I Cicing Gudig
A.Tema
:
Keserakahan
seekor anjing terhadap apa yang telah diberikan kepadanya.
B.Alur
:
Maju.
Karena diceritakan secara runtut dari awal sampai akhir.
C.Amanat
:
Janganlah
menjadi orang yang serakah, dan iri terhadap orang lain, kita harus selalu bersyukur atas apa yang kita terima.
D. Penokohan :
1. Cicing
Gudig : serakah dan tidak mau bersyukur atas apa yang diterimanya.
2. Bhatari
Durga : bersifat pemurah, dan belas kasihan kepada para penyembahnya.
Berdasarkan Satua
Bali di atas. Keterkaitannya dengan Agama Hindu yaitu Lobha. Lobha artinya kerakusan. Artinya suatu
sifat yang selalu menginginkan lebih melebihi kapasitas yang dimilikinya. Untuk
mendapatkan kenikmatan dunia dengan merasa selalu kekurangan, walaupun ia sudah
mendapatnya secara cukup. Seperti misal lobha dalam mendapatkan harta seperti
disebutkan dalam :
Sarasamuscaya
267.
Jatasya hi kule mukhye paravittesu grhdyatah
lobhasca prajnamahanti prajna hanta hasa sriyam.
Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradryabaharana, hilang
kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangken
srinya, halep nya salwirning wibhawanya
Biar pun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan
merampas kepunyaan orang lain; maka hilanglah kearifannya karena kelobhaanya;
apabila telah hilang kearifannya itu itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan
seluruh kemegahannya.
Ini disebutkan orang yang terlalu rakus dan loba akan
kepemilikan orang lain, maka ia akan kehilangan kemuliannya dimulai dari
kehilangan kearifannya, karena ia sudah berlaku buruk. Jadi rugi akan segala
yang telah ia punya akibat kelobaannya itu.
Apalagi jika rakus sampai menyerobot kekayaan orang lain.
Kemiskinan dan hasil buruk di kehidupan yang akan datang akan jadi balasannya.
Seperti tercantum dalam:
Sarasamuscaya 360
Musnam daridratyabhihanyate ghnan pujyunamasampujya
bhavatyapujyah, yat karmavijam vapate manusyah tasyanurupani phalani bhumkte.
Ikang akelit ring paradrwya nguni ring purwajanma, daridra janma nika
ring dlaha, ikang amati nguni pinatyan ika dlaha, sangksepanya, salwining karma
wija inipuk nguni, ya ika kabhukti phalanya dlaha.
Yang menyerobot kepunyaan orang lain waktu hidupnya dulu,
dilahirkan menjadi orang miskin di kemudian hari ; yang membunuh pada waktu
hidupnya dulu akan dibunuh dalam hidupnya kemudian; singkatnya, semua benih
perbuatan yang ditabur dan dibiakkan dulu, buahnya itulah yang dinikmati
kemudian.
Hal tersebut adalah hukum kamarphala. Maka dihindarilah
sebaiknya loba atau rakus akan hak milik orang lain yang mengakibatkan buah
hasil perbuatan menjadi buruk di kemudian hari.
Loba dalam
sarasamuscaya disebutkan juga sebagai penyebab dari kebodohan. Kebodohan yang
juga akan membawa manusia ke jurang kesengsaraan tanpa batas dan tiada bisa
mengartikan dan membedakan antara baik dan buruk itu sendiri. Slokanya adalah :
Sarasamuscaya 400
Ajnaphrabhavarin hidam yadduhkhamupalabhyate
lobhadeva tadajnanamajnanallobha eva ca
Apan ikang sukhadukha kabhukti, punggung sankanika, ikang punggung,
kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika, matangyan punggung
sangkaning sangsara
Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan;
kebodohan yang ditimbulkan oleh loba, sedang loka (keinginan hati) itu
kebodohan asalnya; oleh karena itu kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu.
Jadi kesengsaraan adalah berasal dari kebodohan (awidya) yang
pangkalnya ditimbulkan dari sifat loba itu sendiri. Sehingga kesengsaraan akan
muncul dengan sendirinya bagi manusia yang tanpa bisa mengurangi sifat loba itu
sendiri.
Bhagavad Gita XVI. 21
Tri vidham narakasyedam
dvaram nasanam atmanah
kamah krodhas tatha lobhas
tasmad etat trayam tyajet
(Bhagawad Gita XVI.21)
Artinya :
Tiga pintu gerbang keneraka, menuju jurang kehancuran diri yaitu kama
(hawa nafsu), krodha(marah) dan lobha (rakus),oleh karena itu ketiganya harus
ditinggalkan.
Benih rakus atau
tamak harus dikendalikan, karena sifat rakus akan menimbulkan
sifat-sifat tercela seperti kikir, munafik dan iri hati.
Matsarya
Matsarya
disebut juga iri hati. Manusia yang memiliki sifat seperti ini, dalam
Sarasamuscaya adalah manusia yang tidak mengalami kebahagiaan abadi dan
menimbulkan hanya kesengsaraan dalam kehidupannya. Seperti disebutkan dalam :
Sarasamuscaya 88
Abhidhyaluh
parasvesu neha namutra nandati, tasmadabhidhya santyajya sarvadabipsata sukham.
Hana
ta mangke kramanya, engin ring drbyaning len, madengki ing suhkanya, ikang
wwang mangkana, yatika pisaningun, temwang sukha mangke, ring paraloka tuwi,
matangnyan aryakena ika, sang mahyun langgeng anemwang sukha.
Adalah
orang yang tabiatnya menginginkan atau menghendaki milik orang lain, menaruh
dengki iri hati akan kebahagiannya; orang yang demikian tabiatnya, sekali-kali
tidak akan mendapat kebahagiaan di dunia ini, ataupun di dunia yang lain; oleh
karena itu patut ditinggalkan tabiat itu oleh orang yang ingin mengalami
kebahagiaan abadi.
Jadi
iri hati hanya menghasilkan ketidaktenangan dalam hidup. Yang harus manusia
lakukan agar terhindar dari iri hati dapat dilihat pada sloka berikut.
Sarasamuscaya 89
Sada
samahitam citta naro bhutesu dharayet, nabhidhyayenne sphrayennabaddham cintayedasat
Nyanyeki
kadeyakenaning wwang ikag buddhi masih ring sawaprani, yatika pagehankena,
haywa ta humayamakam ikang wastu tan hana, wastu tan yukti kuneng, haywa ika
inangenangen.
Nah
inilah yang hendaknya orang perbuat, perasaan hati cinta kasih kepada segala
mahluk hendaklah tetap dikuatkan, janganlah menaruh dengki iri hati, janganlah
menginginkan dan jangan merindukan sesuatu yang tidak ada, ataupun sesuatu yang
tidak halal; janganlah hal itu dipikir-pikirkan.
Kesengsaraan
juga menjadi akibat yang ditimbulkan iri hati kepada sesama. Hal tersebut ada
pada sloka berikut :
Sarasamuscaya 91
Yasyerya paravittesu rupe virye kulavaye,
sukhasaubhagyasatkare tasya vyadhiranatagah
Ikang
wwang irsya ri padanya janma tumon masnya, rupanya, wiryanya, kasujanmanya,
sukhanya kasubhaganya, kalemanya, ya ta amuhara irsya iriya, ikang wwang
mangkana kramanya, yatika prasiddhaning sanngsara ngaranya, karaket laranya tan
patamban.
Orang
yang irihati kepada sesanya manusia, jika melihat emasnya, wajahnya,
kelahirannya yang utama, kesenangannya, keberuntungannya dan keadaannya yang
terpuji; jika hal itu menyebabkan timbulnya iri hati pada dirinya; maka orang
demikian keadaannya itulah sungguh-sungguh sengsara namanya, terlekati kedukaan
hatinya yang tak terobati
Jadi
jika ingin di dunia berbahagia, maka manusia hendaknyalah menghindari sifat iri
hati ini. Karena iri hati hanya akan menimbulkan kesengsaraan semata bagi
siapa-siapa yang terjangkiti olehnya.
2.3 Analisis Kruna
1.
Kruna Lingga inggih punika kruna sane durung polih
wewehan (pengater, seselan, pangiring). Conto : sedek, dina, baan, dewek, anak,
lakar, mangda, dados, nawang, kalah, mantri, patut, buin, lantas, dadi, miwah
sane lianan.
2.
Kruna teriron inggih punika kruna lingga sane sampun
polih wewehan (pangater, pangiring, miwah seselan). Conto : titiang, mabhakti,
tuturan, kelacuran, kasengguh, jalanan, kapurukang, mawikara, ngundukang,
kalahanga, gurune, miwah sane tiosan.
3.
Kruna polah inggih punika kruna sane sampun polih
pangater anusuara (nya, ma, na, nga). Conto : nyemak
4.
Kruna Dwi Sama Lingga inggih punika kruna lingga sane
kaucap ping kalih. Conto : enceh-enceh, deleng-deleng
5.
Kruna Aran : cicing gudig, Anak Agung, Raden Mantri.
6.
Kruna kriya : Malajah, maboros
7.
Kruna mangkep rasa : berag tegreg
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa karya – karya sastra yang ada di bali pada khususnya baik itu
karya sastra tulis maupun lisan terutama yang memakai Bahasa Bali dalam
penyajiannya sangatlah erat kaitannya dengan Agama Hindu di Bali. Karya-karya
sastra ini perlu dilestarikan agar tetap ajeg keberadaannya di era globalisasi
saat ini. Kita sebagai umat Hindu Bali waji hukumnya untuk melestarikannya,
kalau bukan kita yang melestarikannya siapa lagi. Sekarang yang dibutuhkan
adalah kesadaran kita untuk melestarikannya agar tetap ajeg. Kita sebagai
generasi penerus umat Hindu di bali harus mampu untuk mengaplikasikan karya
sastra berbahasa bali ini dalam kehidupan sehari-hari, karena isi dari
karya-karya sastra yang ada di bali erat dengan ajaran Agama Hindu.
Sudut pandangnya gimana ya?
BalasHapus