Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa
Kawi I
Dosen
: Gek Diah Desi Sentana, SS., M.Si
Anggota
Kelompok :
1.
Ni
Putu Wiwid Septini (14.1.1.1.1.112)
2.
Ni
Ketut Merryasih (14.1.1.1.1.114)
3.
I
Nyoman Alit (14.1.1.1.1.115)
4.
I
Komang Adi Wijaksana (14.1.1.1.1.116)
5.
I
Wayan Susilo (14.1.1.1.1.117)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Saiva Siddhanta adalah salah satu
mazab dari sekte Saiva, yang berkembang di India dan di Indonesia. Mengutip
dari yang ditulis oleh Haryati Soebandi (1971; 70) kata Siddhanta berarti (1)
Svetarupa, (2) Sanghyang Aksobhya atau Sanghyang Kamoksan, (3) Sanghyang
Sunya-Nirmala (Sastra, 2008; 191). Sedangkan kata Saiva berasal dari ajaran
yang memuja dewa Siwa sebagai dewa yang utama, berarti sekte Saiva adalah
kelompok atau kumpulan orang-orang yang memuja serta menempatkan Dewa Siva pada
tempat yang utama. Jadi Saiva Siddhanta adalah ajaran untuk mencapai jalan
menuju kepada Sang Pencipta, atau suatu jalan untuk bersatu dengan Sang
Pencipta yang berasal dari Sekte Saiva. Dalam Saiva Siddhanta menyebutkan alam
dunia berasal dari Maya (materi yang tidak murni, potensi alam semesta), yang
merupakan kesatuan nyata yang abadi, diakui sebagai nyata adanya (Sastra, 2008:
192).
Saiva Siddhanta yang pada awal mulanya berkembang di
India, akhirnya berkembang pula di Indonesia terutama di Bali. Siwaisme yang
eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Bhuwana
Kosa. Bhuwana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu
sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya.
Karena Bhuwana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan
Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan.
Bhuwana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di
Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau
sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali,
sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di
Indonesia. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Ajaran Saiwa Siddhanta di
Indonesia merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke
Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva,
Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep
Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih
banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya
seperti konsep Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan
konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan
konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi
dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep tersebut antara lain:
Bhuana kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang Mahajnana,
Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta. (Sastra, 2008: 193-194)
Seperti yang telah diuraikan di
atas, bahwa Saiva Sidhhanta menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Salah
satu sekte yang termasuk dalam sekte Saiva adalah sekte Pasupata yang juga
menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan
dengan Saiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu
sendiri karena Saiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua
sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara
pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga
sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siva. Jadi, penyembahan lingga
sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata (Nurkancana,
1998; 135).
Lingga merupakan lambang Dewa
Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang
beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini
pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada
pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang
masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia
khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak,
akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang
sebenarnya
(http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29
diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita).
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka yang
menjadi rumusan permasalahannya meliputi:
1.
Apa
pengertian dari lingga yoni?
2.
Bagaimana
asal mula lingga?
3.
Apa
saja bagian-bagian dari lingga?
4.
Apa
saja jenis-jenis dari lingga?
5.
Bagaimana
bentuk-bentuk lingga?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian tentang lingga
2.
Untuk
mengetahui asal mula adanya lingga
3.
Untuk
mengetahui bagian-bagian dari lingga
4.
Untuk
mengetahui jenis-jenis lingga
5.
Untuk
mengetahui bentuk daripada lingga
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lingga Yoni
Lingga merupakan lambang Dewa
Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat
manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga
sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci
seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai
sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.
Lingga berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan,
petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang
batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu
(Zoetmulder, 2000:601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa
Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk,
pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di
Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua
mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di
hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh
arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban
Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri
mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa (Agastia, 2002
: 2). Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga
merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga
sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah
desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan
kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di
India terutama di India Selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai
lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja
lingga yang menamakan dirinya sekte Linggayat (Putra, 1975 : 104)
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua
dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis
dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali.
Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa)
di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 :
40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan
lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah
mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari
isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa
untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam
bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana
di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang
berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja
Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang
dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa
Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan
sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang
memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42).
Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari
abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah.
Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan
sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan
dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102) Berdasarkan kenyataannya yang
ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini
lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura.
Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana
lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya
lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan
sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura
seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah.
Peninggalan purbakala berwujud Lingga banyak ditemukan di Bali dan Jawa, ada
yang masih tetap difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada Sang Hyang Siva
(disucikan) dan ada yang ditempatkan sedemikian rupa tidak difungsikan lagi,
karena umat Hindu setempat tidak mengenal lagi cara melakukan pemujaan melalui
lingga. Pura Batumadeg, Besikalung, dan sejenisnya mengisyaratkan adanya
pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui sebuah lingga. (Gunawan, 2012: 80).
Dalam ikonografi Hindu, lingga
sebagai lambang api ini identik dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki
seorang raja. Lingga dalam perwujudannya sebagai lingodbhavamurti ini Siva
digambarkan ke luar dari dalam lingga yang terbuka. Dalam bentuk relief umumnya
digambarkan sebuah lingga dengan seekor angsa melayang di atasnya, agak ke
bawah terpahat arca manusia berwajah babai hutan sedang mencari-cari (lingga)
di tanah. Gambaran relief itu didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya
adalah Kitab Lingga Purana, Vayu Purana, Brahmanda Purana, Kurma Purana, Siva
Purana (Rudra Samhita), dan Skanda Purana. Cerita yang sama dapat juga dijumpai
di Indonesia dalam kekawin Bhomantaka atau Bhomakavya dan Narakavijaya.
(Gunawan, 2012: 80).
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga
terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di
dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
“Pradhanam
prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi
warjitam”.
Terjemahan:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa,
pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga
merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam
semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan
kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa
lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan
Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:
”Bhatara
Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.
Terjemahan:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya
“Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja
untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu
Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap
lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam
wujudnya sebagai Siwa.
2.2
Asal Mula Adanya Lingga
Pemujaan kepada Sang Hyang Siva
melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu terutama oleh
sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga
sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva. Hal ini terlihat dari
banyaknya peninggalan purbakala berupa “Sailalingga” (lingga dari batu),
permata, termasuk dalam bentuk sesajen (upakara) yang disebut “Dewa-Dewi” juga
adalah penggambaran sebuah “lingga” (Gunawan, 2012: 75). Kitab-kitab Purana
banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari
Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan.
Beberapa cerita penting tentang lingga, diuraikan sebagai berikut:
1). Kutukan Bhargava dan Angirasa.
Siva mengembara ke seluruh penjuru dunia, meratap sedih atas kematian Satidevi
pada saat berlangsungnya Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa dan Kamadewa
mengikuti dengan panah asmara untuk melepaskan penderitaan dan kesulitan Siva.
Siva kemudian masuk ke dalam hutan Daru yang didiami oleh para maharsi beserta
istri-istri mereka. Siva memberi penghormatan dan meminta punia kepada mereka,
Tetapi para maharsi tidak menyukai kedatangan Siva dan tetap melanjutkan
tapanya. Siva pergi meninggalkan tempat tersebut, tetapi istri-istri para
maharsi itu banyak yang mengikuti Siva. Dibuat marah atas hal tersebut, para
pertapa seperti Bhargava dan Angrasa mengutuk Siva bahwa phallusnya akan jatuh
ke bumi. Phallus Siva jatuh dan menyebabkan kegoncangan pada dunia. Brahma dan
Wisnu pun mengetahui dan segera datang ke tempat phallus itu terlentang. Wisnu
sangat keheranan melihat phallus yang sedemikian panjangnya dan dengan
mengendarai garuda turun pergi ke Patala. Brahma dengan kendaraannya, pergi ke
arah atas. Brahma dan Visnu gagal dalam usaha menemukan ujung dari phallus
tersebut kemudian memuja Siva dan memohon kepadaNya supaya phallusnya diambil
kembali dari bumi. Siva meminta dengan tegas supaya para deva memuja phallusnya
tersebut. Brahma dan Visnu pun menyetujui. Mahavisnu kemudian menciptakan Catur
Varna, menciptakan berbagai sastra atau petunjuk sebagai petunjuk bagi
masyarakat untuk memuja phallus atau lingga tersebut. Empat kitab sastra yang
dikenal adalah: Sivam, Pasupatam, Kaladamanam, dan Kapalikam. Setelah
melaksanakan semua seperti tersebut di atas, Visnu dan Brahma kembali, Siva
mengambil kembali phallusnya (Vamana Purana 6) (Gunawan, 2012; 76-77).
2). Balakhilya.
Delapan puluh delapan ribu Balakhilya lahir dari pikiran Brahma. Mereka
menguruskan badan mereka dengan selalu mandi, melakukan puasa dan memuja Siva. Meskipun
mereka memuja Siva sampai seribu tahun devata, Siva tidak pernah muncul di
hadapan mereka. Parvati yang melihat hal tersebut bertanya kepada suaminya,
Siva, mengapa tak datang memperlihatkan diri kepada mereka. Siva menjawab bahwa
mereka (pertapa) belum memahami kebajikan, belum terbebas dari nafsu dan
kemarahan. Siva pun menjelaskan kepada Parvati dengan pergi turun ke Bhalakilya
menjelma menjadi seorang pemuda yang tampan, mengenakan kalung bunga Vanamala,
membawa mangkuk untuk memperoleh dana punia di tangannya dan bertelanjang
bulat. Para wanita Advaitin (pengikut Advaita) sangat tertarik oleh ketampanan
pemuda tersebut (Siva) dan menanyakan tentang tapa apa yang telah dilakukan
oleh pertapa muda tersebut. Pertapa (Siva) tidak memberi tahukan tentang
tapanya dan hanya mengatakan ia telah melakukan tapa yang sangat rahasia. Para
wanita yang penasaran serta terdorong oleh nafsunya, mencoba untuk merayu Siva.
Hal itu diketahui oleh para pertapa serta marah kepada pertapa muda (Siva)
tersebut. Salah satu pertapa ada yang memuluk phallus pertapa muda itu dengan
tongkat dan batu hingga phallus itu jatuh ke tanah yang menyebabkan kegoncangan
pada dunia. Siva pun menghilang dari tempat itu. Para pertapa kebingungan dan
memohon perlindungan dari dewa Brahma. Merasa telah melakukan kesalahan,
kebodohan serta ketidaktahuan, Brahma meminta kepada para pertapa untuk
mendinginkan kemarahan serta menyenangkan hati Siva. Para pertapa pun memuja
Siva, dan Siva datang memberikan petunjuk tentang pendirian lingga sebagai
tempat pemujaannya. Atas bantuan dari Parwati pula, para pertapa berhasil
bertemu Siva yang kemudian membantu mendirikan lingga di tepi sungai. Mereka
semuanya, yang menyaksikan pendirian Lingga tersebut memperoleh kebebasan yang
tertinggi. Ketika phallus (lingga) didirikan, Brahma juga membangun phallus
yang lain dari batu. Setelah satu masa, phallus yang kedua menyatu dengan yang
pertama dan memancarkan cahaya yang gemerlapan. Mereka yang melihat hal itu
juga memperoleh kesempurnaan. Segera saja Brahma mendirikan lagi 7 lingga untuk
menyenangkan hati para rsi, dan para rsi pun mencapai kebebasan yang tertinggi
setelah mengurapi dirinya dengan debu lingga tersebut. Tempat lingga itu
didirikan kini sangat popular dengan nama Sthanutirtha (Vamana Purana 45)
(Gunawan, 2012; 78-79).
3). Bhahmasrsti.
Pada awalnya Brahma memberikan kepercayaan kepada Siva untuk melaksanakan tugas
penciptaan, dan untuk mendapatkan kekuatan penciptaan, ia tinggal di bawah air
untuk beberapa generasi. Siva tidak kembali meskipun Braham telah lama
menunggunya, akhirnya Brahma menciptakan para Prajapati dan mereka yang
mengerjakan semua penciptaan itu. Selanjutnya setelah Siva memiliki semua
kekuatan yang diinginkan, ia muncul kembali dari air. Siva ternyata sangat marah
dan semua ciptaan ketika ia tidak ditempat dirusak, dan ia mencabut phallusnya
dan melemparkannya ke atas bumi. ia berkata, sejak saat itu semua ciptaan
ditangani oleh Brahma, ia selanjutnya tidak memerlukan phallus tersebut.
Phallus yang dilemparkan oleh Siva menancap di Bumi dan tetap tinggal berdiri
di sana. Nantinya, siva menari untuk memusnahkan para dewa. Akhirnya atas
permohonan para dewa, Siva menyimpan api kemarahannya di dalam air. Api itulah
yang mengeringkan air di lautan, sungai-sungai dan lain-lain. Ketika kemarahan
Siva telah lenyap dan keadaan menjadi tenang, para dewa memuja phallus (lingga)
yang menancap di tanah, dan karenanya pemujaan kepada lingga demikian populer
(Mahabharata, Sauptikaparva 17) (Gunawan, 2012;79).
2.3
Bagian-bagian Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana
Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering
disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai simbol
kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan
lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air,
pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran
air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang
meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan
dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga,
sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu
yoni. (Putu Mudiantara
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai
bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri
atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang
pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut
yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi
empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut
Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga.
Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga
bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah.
Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha.
Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam,
segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi
enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang
berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan
puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara),
berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara),
berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa)
(Gopinatha Rao, 1916 : 93). (Putu Mudiantara
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita). (I Nyoman Dauh:
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29
diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita).
2.4
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang
terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1”
di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan
atas dua bagian antara lain :
1. Chalalingga
2. Achalalingga
2.4.1 Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat
bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam
kelompok lingga ini adalah:
1) Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat,
yang prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa
pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih.
Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk
cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai
dengan ketentuan, lalu dibakar.
2) Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam,
seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
3) Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang
berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue
stone dan lain-lain.
4) Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti
kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam
kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira,
chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
5) Kshanika
Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis
lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha,
janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan
tujuan dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk
mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila
pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat
ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi
digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega
umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur
panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari
bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat
dari sadlewood. (Gunawan, 2012; 81-82).
2.4.2 Achala Lingga
Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat
dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan
Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar
dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya
berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian
lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari
barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang
dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi
sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten
disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali
khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing
jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu
Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1) Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga
dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat
lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat
dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
2) Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan
dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan
dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun
atau apel hutan.
3) Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan
oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah
kelapa yang sudah dikupas.
4) Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan
dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra
(selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
5) Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan
pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga
mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri
bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak).
Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan
utama. (Putu Mudiantara
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Untuk manusalingga, ada pula yang memberikan
pembagian berdasarkan cara pembuatannya yang terdiri dari beberapa bentuk,
diantaranya adalah :
1). Sarvadesika lingga. Jenis ini panjangnya
ditentukan oleh perbandingan dengan sisi ruangan dalam candi. Lingga jenis ini
ada 3 macam sesuai dengan besarnya. Pembagian terdiri atas uttama, yaitu 3/5
sisi ruangan, madhyama 5/9 sisi ruangan, dan adhama ½ sisi ruangan.
2). Sarvasama, jenis lingga yang perbandingan antara
Rudrabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sama tinggi.
3). Saivadhika, jenis lingga ini mempunyai
perbandingan panjang, 2 bagian bawah sama panjang dan 1 bagian (atas)
lebih panjang. Perbandingan yang umum adalah 7:7:8, 5:5:6, dan 4:4:5.
4). Svastika, jenis lingga ini yang mempunyai
proporsi semakin ke atas semakin panjang (bagian atas terpanjang) dengan
perbandingan 2:3:4.
5). Varddhamana, jenis lingga degnan proporsi makin
ke atas makin panjang dengan perbandingan 4:5:6, 5:6:7, dan 7:8:9.
6). Trairasika, jenis lingga yang mempunyai proporsi
tinggi keseluruhan lingga dibagi 9, dengan ketentuanperbandingan antara
Rudrabhaga: Visnubhaga; Brahmabhaga, 6:7:8 (Gunawan, 2012; 82-83).
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu :
Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga
bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga
bagian bawah) mempunyai bentuk persegi. (Gunawan, 2012; 83).
Puncak lingga (sirivartthana) jenis ini mempunyai
beberapa macam bentuk, diantaranya bentuk chattrakara (bentuk payung),
tripusakara (bentuk ketimun), kukkutaudakara (bentuk telur),
ardhacandrakara (bentuk bulan sabit), budolasadrisa (bentuk menggelembung).
Pada puncak lingga ditemukan 2 garis vertical yang bertemu dengan 2 garis
melengkung. Garis-garis tersebut dinamakan garis Brahmasutra. Jenis-jenis
manusalingga yaitu:
(1). Astotarasata “108 lingga kecil”. Manusalingga
jenis ini adalah lingga yang pujabhaga (permukaaan lingga)nya dibagi atas
garis-garis vertikal dan horizontal, sehingga terlihat seperti dihiasi
lingga-lingga kecil.
(2). Dhara, adalah lingga yang bagian pujabhaga-nya
dihiasi garis-garis vertikal yang memanjang (fluted vertikal) sebanyak 50-60
buah. Kitab Suprabhedagama menjelaskan garis vertikal tersebut dapat saja
berjumlah 5,7,9,12,16,20,24, maupun 28, sedangkan kitab Karanagama memberi
ketentuan 16 buah garis.
(3). Sahasra, lingga jenis ini pujabhaga-nya dihiasi
garis-garis vertikal dan horizontal. Bedanya dengan astottarasata, pada sahasra
garis-garis horizontal dan vertikal itu tidak membentuk lingga-lingga kecil.
(Gunawan, 2012; 83)
2.5
Bentuk-Bentuk Lingga
2.5.1 Mukhalingga
Mukhalingga adalah salah satu bentuk lingga yang
diberi hiasan berbentuk muka dewa. Hiasan muka tersebut bisa berjumlah 1, 2, 3,
4 atau 5 buah muka. Hiasan muka yang berjumlah 5 itu mengandung arti simbolik
dari kelima aspek Siva, yaitu Sadyojata, Vamadeva, Aghoramurti, Tatpurusa dan
Isana (Margaret Stutley, 1985: 94). Kelima aspek Siva itu juga berkaitan erat
dengan lima unsur (panca maha bhuta), yaitu tanah, air, api, angin, dan udara
(akasa). Kelima aspek Siva itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Sadyojata aspek
Siva sebagai pencipta (dunia), Vamadeva aspek Siva sebagai pemelihara (dunia),
Aghoramurti aspek Siva sebagai pemelihara (dunia), Tatpurusa aspek Siva sebagai
pembasmi samsara, dan Sada Siva aspek Siva yang erat hubungannya dengan tujuan
hidup, yaitu untuk mencapai moksa (Margaret Stutley, 1985; 107). Sebaliknya
Gopinatha Rao (1968) menghubungkan kelima aspek Siva itu dengan; Samharamurti
sebagai perusak, Anugrahamurti sebagai pemberi anugrah, Nrttamurti sebagai ahli
tari, Daksinamurti sebagai ahli musik, filsafat dan Samadhi, dan Bhiksatamurti
sebagai “pengemis”. Selanjutnya kitab Skanda Purana menyebutkan warna
masing-masing aspek siva tersebut yaitu: Sadyojata berwarna putih seperti kulit
kerang atau bulan, Aghoramurti memeiliki warna yang menyerupai awan hitam,
Vamadewa mempunyai warna kuning keemasan, Tatpurusa mempunyai warna kemilau,
dan Sada Siva mempunyai warna putih (Margaret Stutley, 1985; 107).
2.5.2 Lingodhavamurti
Salah satu bentuk perwujudan Siva yang sangat
menonjol di India adalah lingga dalam perwujudannya sebagai Lingodhavamurti.
Dalam perwujudan ini Siva digambarkan ke luar dari dalam sebuah lingga yang
terbuka. Dalam bentuk relief umumnya digambarkan sebagai sebuah lingga
dengan seekor angsa terbang di atas lingga agak ke bawah terpahat arca manusia
berwajah babi hutan sedang mencari-cari (lingga) di bawah tanah. Bentuk
lain penggambaran linodhavamurti berupa wujud Siva sedang ke luar dari dalam
lingga yang terbuka. Di depannya digambarkan Visnu dan Brahma berdiri dalam sikap
member hormat dalam sikap anjali. Gambaran pada relief ini didasarkan pada
kitab-kitab Purana, diantaranya kitab Vayu Purana, Brahmanda Purana, Siva
Purana (Rudra Samhita), dan Lingga Purana serta Skanda Purana. Dalam lingga
Purana diceritakan bahwa para dewa dating bertanya pada Brahma awal mula
lahirnya lingga, dan bagaimana Mahesvara dapat berada dalamnya. Brahma kemudian
bercerita bahwa lingga adalah pradhana (alam), dan pemilik lingga adalah Dewa
Tertinggi, Paramesvara. Kemudian Brahma juga menceritakan pertemuannya dengan
Visnu serta kedatangan api lingga yang mempesona. Ia (Brahma) dan Visnu
berusaha mencari ujung dan pangkal lingga, namun tidak berhasil. Dalam usaha
pencarian itu, Visnu berubah menjadi babi hutan dan ia sendiri (Brahma) berubah
menjadi seekor hamsa.
2.5.2.1 Lingodhavamurti dalam bentuk arca dan relief
Kitab Amsumādbhědāgama menjelaskan salah satu
penerapan kisah timbulnya lingga dalam pahatan, yaitu dengan cara memahat
tokoh Siva dalam bentuk Chandrasekhamūrti di bagian depan (permukaan) sebuah
lingga. Keterangan ini diperjelas oleh kitab Karanagama. Menurut kitab
ini seperlima ujung dan dasar lingga sebaiknya dibiarkan polos, tanpa pahatan.
Kaki di bawah lutut tokoh Siva tidak ada. Sebelah kanan lingga dekat ujung
(puncak) lingga dipahat Brahma dalam bentuk seekor angsa, sementara Visnu dalam
bentuk seekor babi hutan dipahat pada bagian kiri kaki lingga. Dapat pula tokoh
Brahma dan Visnu dipahat di atas kanan dan kiri menghadap lingga dengan tangan
dalam sikap anjali. Tokoh-tokoh ini dapat pula diberi warna, warna untuk tokoh
Siva merah, Visnu hitam, dan Brahma kuning keemasan. Keterangan yang lebih
rinci terdapat dalam kitab Kamikagama. Menurut kitab ini ukuran angsa
ditetapkan sama panjang dengan wajah Siva. Tokoh babi hutan digambarkan sedang
menggali dan masuk ke dalam bumi. Tokoh Visnu dan Brahma dalam bentuk kedewaan
tidak perlu dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus dipahatkan.
Kitab Silparatna menambahkan bahwa Siva
membawa sula pada salah satu tangannya. Kitab Karanagama mengharuskan memahat
tokoh Siva dalam bentuk Chaturbhuja dengan ketentuan salah satu tangannya
digambarkan dalam sikap abhaya, dan salah satu tangan lainnya dalam sikap
varadahasta. Tangan ketiga membawa parasu dan tangan keempat memegang krsnamrga
(seekor rusa jantan berwarna hitam). Siva dipahat dengan hiasan mahkotanya
berbentuk hiasan bulan sabit. Beberapa bentuk perwujudan Lingodbhavamurti yang
ada di India telah ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa of Hindu
Iconography, diantaraya 1. Lingodbhavamurti yang ditemukan dalam candi
Kailasanathasvami di Conjeevaram yang umurnya lebih dari 1200 tahun lalu. Tokoh
Siva digambarkan dalam bentuk Siva Candrase kharamurti bertangan delapan.
Beberapa dari kedelapan tangan digambarkan membawa parasu, sula, aksamala,
dalam sikap abhaya dan katyavalambita. Keterangan selanjutnya, bahwa seperlima
bagian ujung lingga sebelah kirii tidak ada pahatan, demikian juga dari
lutut ke bawah tokoh Siva.
Siva digambarkan mengenakan
hiasan bulan sabit pada mahkotanya. Babi hutan sebagai avatara Visnu
digambarkan ertangan empat, dua buah tangan sedang menggali bumi, dua buah
tangan lainnya digambarkan membawa sankha dan cakra. Menurut kitab Agama, babi
hutan juga dapat dipahatkan seakan keluar dari dasar ruang panil. Brahma
digambarkan terbang di udara di ujung lingga dalam bentuknyas sebagai seekor
angsa. Tokoh Visnu dan Brahma juga dipahatkan dalam bentuk caturbhuja dikanan
kiri lingga. Visnu dan Brahma digambarkan dalam sikap memuja (sebuah tangan
dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas pinggul masing-masing, dan
tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung
dipahatkan makara-torana. Selain di candi Kailasanathasvami, relief
lingodbavamurti, kita temukan juga didalam candi Siva Ambar Magalam. Disini
lingga, digambarkan dengan untaian bunga berbentuk lingkaran keluar dari atas
puncak lingga. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk caturbhuja, sebuah tangan
dalam sikap abhaya, tangan lainnya dalam sikap katyavalambita, membawa parasu
dan rusa jantan hitam. Kaki-kaki tokoh Siva dibawah lutut dan diatas
pergelangan kaki dipahatkan bertentangan dengan praturan yang ditetapkan dalam
kitap agama, yaitu sebuah kaki disembunyikan dalam lingga. Diatas lingga
tergambar angsa dengan paruh yang sangat menonjol. Dibawah sebelah kiri lingga
babi hutan yang diwujudkan dalam bentuk setengah manusia dan setengah binatang
sedang menggali lubang di bawah bumi. Menurut perkiraan relief lingodbavamurti
ini berasal dari abad 11 atau 12 masehi, yaiti periode pertengahan Chola.
Puja terhadap Siva Lingga
Upacara puja lingga atau lebih
dikenal sebagai Nitya-Puja dapat berupa Abhiseka, yaitu membasahi lingga dengan
cairan berupa air kelapa, madu, air gula, susu sdan sebagainya. Pujaan terhadap
lingga dapat pula dilakukan dengan memberi dupa, membakar kayu wangi, lepa dan
sebagainya. Selain memberi dupa dapat pula berupa persembahan Naivedya, yaitu
upacara pemberian aneka makanan bagi sang lingga. Usai upacara semua makanan
dibagikan pada yang hadir untuk di santap bersama. Puja terhadap lingga dapat
pula dilakukan di dalam Garbhagrha dengan meletakkan lampu dan untaian bunga
atau bunga-bunga lepas. Dalam upacara besar selain menggunakan bunga dan lampu,
juga dipersembahkan musik dan tari. Penarinya seorang Devadasis (deva = dewa;
dasi = abdi), yaitu seorang wanita cantik yang telah mendapat latihan menari
sesuai dengan aturan-aturan puja.
Dalam kitab manasara disebutkan bahwa “di india
lingga atau phalli mempunyai banyak sebutan, diantaranya Siva, pasupata, kalamukha,
mahavrata, vama, dan bhairava”. (Manasara LII:2-3). Untuk kumpulan lingga
mendapat sebutan samakarmna, vardhamamana, Sivanka, dan svastika. Yang
masing-masing merupakan media pemujaan untuk kaum brahmana, ksatrya, vaisya,
dan sudra. (Manasana LII: 4-5). Sebagai simbol Siva, lingga merupakan aspek
skunder dari lambang kelaki-lakian Siva yang baru akan menimbulkan tenaga atau
energi setelah bersatu dengan yoni, yaitu lambang kewanitaan sakti Siva yaitu
Parvati. Lingga merupakan lambang api, sebagai manisfestasi dari kekuatan atau
kekuasaan, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat itu saling
bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan kekuatan atau
energi. Itulah makna pertemuan antara lingga dan yoni.
2.6
Keberadaan Lingga Yoni di Bali
Berdasarkan
sumber dan informasi yang kami dapatkan bahwa Lingga Yoni bisa ditemukan di
beberapa tempat seperti dibawah ini :
1.
Pura
Luhur Entap Sai terletak di Puncak Gunung Bon pada ketinggian 1364 m dari
permukaan laut, dari Desa Bon. Desa Bon terletak di pedalaman dalam wilayah
keperbekelan Belok/Sidan Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
2.
Pura
Ulun Danu Batur
3.
Pura
tambangan badung terletak di pusat kota denpasar, tepatnya di banjar pemedilan
kerandan, desa pemecutan denpasar. Lokasi pura ini sangat strategis dan sangat
mudah dijangkau, tepatnya di sebelah barat pasar pasah pemedilan, yang terletak
di jalan gunung batur denpasar.
4.
Pura
Pucak Mangu
5.
Goa
Gajah
6.
Pura
Mengening di Desa Pakraman Saraseda Tampaksiring
7.
Pura
Pucak Gni
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya
mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Lingga berasal
dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti,
keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam
bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros,
sumbu (Zoetmulder, 2000 :601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam
Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat
duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu
di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh
masyarakat zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang merupakan sekte
pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang
Hyang Siva. Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta”
dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana
dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai symbol kekuatan Tuhan Yang
Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Sivasiddhanta 1.
Singaraja: Tidak diterbitkan.
Nurkancana, I Wayan. 1998. Menguak Tabir Perkembangan
Hindu. BP; Denpasar
Sastra, Gede Sara. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang
Trini. Denpasar: Pustaka Bali Post
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar