Etika
Mendirikan Sanggah Kamulan
SUSILA
I
Oleh :
I Nyoman Alit
14.1.1.1.1.115
B2 / PAH / 2
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2015
MATERI
Etika Mendirikan Sanggah Kamulan
Dasar Hukum Pendirian Sanggah Kamulan.
Secara etimologi kata, Sanggah Kamulan terdiri dari dua
buah kata yaitu Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada
“sanggar”, arti sanggar menurut pengertian lontar keagamaan di Bali
adalah tempat memuja. Misalnya dalam lontar Sivagama disebutkan “nista
sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328).
Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi,
dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an menunjukkan
tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal
atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari
kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari
kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula
(Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik
atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang
merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Lalu muncul suatu pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan Hyang Kamulan atau
kawitan yang merupakan asal manusia itu? Inilah yang perlu kita telaah secara
mendalam dalam uraian selanjutnya. Namun sebelumnya marilah kita ungkapkan dulu
dasar hukum dari pendirian Sanggah Kamulan itu. Dalam lontar Sivagama kita
jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai
berikut;
“……bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati,
umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong
kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe
pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi
wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing……”
Arti kutipan
tersebut ;
“….. Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati,
untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban
kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih
keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20
keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan
kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing
pekarangan…..”
Dengan kutipan di
atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan
tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang
merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu.
Lontar Sivagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siva.
Oleh karena itu ajaran Siva seperti yang tercantum pada lontar Sivagama itu
wajib diikuti oleh pengikutnya.
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma
Kamulan atau kawitan
adalah merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Lalu siapakah yang
dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau
jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal
dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti
roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya
manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi
sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana
Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut
menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma
atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
“ring kamulan ngaran ida sang hyang
atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu
ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme
bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Yang artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar
Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma.
Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu
Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang
menakdirkan).”
Demikian juga lontar
Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana
Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“….. ngaran ira sang atma ring kamulan
tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma,
ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi
sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang
kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu
Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang
Tunggal menyatukan wujud”
Dari dua kutipan
lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan
itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah
(purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang
diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang
Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai
pencipta (upti).
Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan
disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga
disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
“riwus mangkana daksina pangadegan
Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena
ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya
nguni……” (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Terjemahannya :
“Setelah demikian daksina perwujudan
roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki
naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di
sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.”
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami
proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian
atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha
pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada
Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
“Mwah tingkahing wong mati mapendem,
wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing
batur kamulan” (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Terjemahannya :
“Dan prihalnya orang mati yang
ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan
tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”
Dari kutipan-kutipan
di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan
adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan
leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam
lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan
asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti Dewanya
Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan
lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi
dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi
lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi
filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk.
Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah
sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan
menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa.
Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma,
adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan
wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang.
Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga
dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam
semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk
mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa
dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu
adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi,
yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau
Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen .Sadasiwa adalah Tuhan
dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan
dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru,
karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon
gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai
yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa
sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12).
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek
pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam
dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru
Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang
bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
“Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam”
Terjemahannya:
“Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam
(sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para
dewa. Dewa Guru Suci selalu”
Jadi melihat uraian
dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah
Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma,
yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah
Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal
dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri
Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum
juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang
Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung
pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak
lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.
Fungsi Sanggah Kamulan
1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah
dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang
panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni
: Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut
sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan
Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma,
Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya
Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru
Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan
demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi
dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan
Sanghyang Tri Murti.
2.
Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar
Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang
Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra
ring kamulan …”
(Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar
53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan
dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan
dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses
upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa
Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara
(roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika
mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang
telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal
ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai
moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Pemikiran tersebut
didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila
(aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud
mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk
selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat
diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui
proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra
ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales,
dinanya, sawulan pitung dinanya…”.
Terjemahannya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa
pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas
harinya, atau 42 harinya…”.
Jadi upacara
ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau
mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga
disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi,
melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita,
bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja
roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau
Hyang Widdhi).
Fungsi Taksu
Pada areal Sanggah
Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu
sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai
daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para
seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut
“mataksu”.
Dan dalam ajaran
Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan
yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan.
Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya
atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut
“prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan
“prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan
oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara
evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa,
memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki
Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah
Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut
Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.
Menyimak dari uraian
di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang
Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya
dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai
perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”.
Menurut penjelasan Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah
simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili
unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma,
dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal
adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat
itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu
Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan
itulah dianggap dewaning taksu (Wikarman, 1998 : 19).
Kemungkinan dalam
upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan
juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu
“menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu
dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah
pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya.
Khusus palinggih
Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan
untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin
masyarakat dan sebagainya.
Sejarah dan Jenis Sanggah Kamulan
Sejarah Sanggah Kamulan
Sanggah Kamulan,
menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan
etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistim Yoga, Wedanta,
Samkhya, dan Siva Sidhanta. Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban
(swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya.
Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya
Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak
sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha
Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah tangga Hindu, terdapat tempat
pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”. Upacara pemujaannya disebut “pinda
pitara yajna”.
Dengan adanya
data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan leluhur dalam ajaran Agama
Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan tentang pemujaan leluhur
dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan bersumber dari konsep pemikiran
pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian
adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga di Bali,
adalah setua masuknya Agama Hindu di Indonesia.
Sedangkan kata
“Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat suci, telah disebut-sebut dalam
Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang kutipan kalimatnya sebagai
berikut :
“Tatkala Sri Kahulunan manusuk
warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”.
(Wikarman, 1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan
adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis merupakan pemujaan 14 tingkat
leluhur dari raja Cailendra.
Nama Kamulan sebagai
tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang menyebutkan
“Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”. Demikian juga dalam prasasti Klungkung
A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat suci yang bernama kamulan telah
ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu. Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap
rumah tangga digariskan dalam lontar Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut
adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan demikian dapat diperkirakan
Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar setiap karang perumahan bagi umat Hindu di
Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Jenis Sanggah Kamulan
Umat Hindu di Bali
menurut dimensi dan kondisinya, membedakan Sanggah Kamulan menjadi beberapa
jenis antara lain :
a. Turus Lumbung, adalah Sanggah Kamulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu
membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya
hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan. Satu
tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang
permanen.
b. Sanggah Penegtegan, adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat
ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga.
kamulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas.
Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga,
sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
c. Kamulan jajar.
Sesuai dengan namanya, kamulan ini
memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada
bebaturan (palih batur).
Disamping itu, Kamulan jenis ini,
disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian,
yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang
lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan
Kamulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai
simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Apa fungsi ruang
lepitan itu? Belum diketemukan sumber pasti. Namun kita lihat fungsi Kamulan
sebagai Palinggih Atma dapat dijelaskan sebagai berikut :
Batur Kamulan Sthana
Atma yang masih kotor, yang baru mendapat pengentas pendem (lontar Tattwa
Kapatian) Rong tiga, terutama kiri dan kanan adalah tempat Atma suci yang telah
dilinggihkan. Kemungkinan ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh
Atma yang sudah diaben. Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan, Sanggah
Kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos, yakni bebaturan sebagai Bhur Loka atau
pitra loka alamnya para Pitara, yaitu Atma yang sudah diaben, sedangkan Rong
tiga sebagai Swah Loka alamnya para Dewa, yang dapat dicapai oleh atma yang
mencapai alam kedewaan setelah melalui proses upacara memukur.
Demikianlah
jenis-jenis Kamulan yang kita jumpai dalam masyarakat Hindu di Bali.
Bahan/Kayu yang dipakai untuk Sanggah
Kamulan
Dalam lontar
Astakosala-kosali diuraikan kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah :
1.
Cendana tergolong
kayu prabhu (Utama)
2.
Menengen tergolong
katu patih (madya)
3.
Cempaka tergolong
kayu arya (utama)
4.
Majagau tergolong
kayu demung (madya)
5. Suren tergolong kayu
demung (nista)
HULU – TEBEN
Filsafat hulu – teben timbul
karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian “menganggap” Hyang
Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan
kaki. Perhatikan gambar simbol Acintya.Kepala dikatakan sebagai hulu, badan
sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep
ini membawa tatanan kehidupan “skala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata),
misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura.Adanya bagian yang sangat sakral
disebut sebagai “utama mandala”, bagian yang kurang sakral disebut sebagai
“madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai “nista
mandala”.Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat
sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu
karena di timurlah matahari terbit.Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber
energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena
berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung
dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan
tanpa air.“Hulu” artinya arah yang utama, sedangkan “teben”
artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan
terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu, yaitu:Arah Timur, dan Arah
“Kaja”Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan
kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura
adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai
hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau
tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga
perhatikan kompas.Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar
benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur
laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat
sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan
memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN SANGGAH KAMULAN
Bentuk halaman pura adalah
persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan
terdahulu.Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran
panjang atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda, sehingga membentuk halaman
seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan
pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul,
penjor, dan Asta kosala.
PEMEDAL SANGGAH KAMULAN
Pemedal adalah gerbang, baik
berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai
berikut:
- Ukur
lebar halaman dengan tali.
- Panjang
tali itu dibagi tiga.
- Sepertiga
ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal
- Dari
as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa,
tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori.
Yang dimaksud dengan teben dalam
ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal.Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan
gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan,
demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting
untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH
Sesuai dengan Asta Bumi, jarak
antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu
“depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung
tapak nyirang.Pengertian “depa” sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak
bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan.
Yang dimaksud dengan “telung tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat
tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak
kaki kiri dalam posisi melintang.Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah
dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura.Jarak antar
pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari
harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar
pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke
pelinggih-pelinggih.Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten,
misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan”
dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi
bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH YANG DIBANGUN
1.
Padmasari niyasa Sang Hyang Siwa Raditya
2.
Kamulan Rong Tiga niyasa Sang Hyang Tiga Sakti /
Leluhur
3.
Pangrurah/Panglurah niyasa Jro Nyoman Sakti
Pengadangadang
4.
Palinggih Taksu niyasa Dewi Saraswati yaitu saktinya
Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki
pengetahuan.
TATA CARA MEMBANGUN SANGGAH KAMULAN
Upacara/
upakara yang sederhana
- Ngeruwak
sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung Tahun 1987.Penggalian”. lubang
untuk dasar.
- Penyucian
lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha.
- Persembahyangan
dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi stawa. Bunga atau
kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang sebagian dasar.
- Peletakan
dasar/ Nasarin (peletakan batu pertama, dengan materi sesuai dengan
keputusan Pesamuhan Agung tahun 1988.
- Melaspas.
- Upakara-
upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar Dewa
Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.
Nilai dan Makna Keberadaan Sanggah Kamulan
a.
Nilai Agama
Nilai ini adalah
nilai yang dominant terkandung dalam keberadaan Sanggah Kamulan, sebagai salah
satu tempat pemujaan Tuhan/ Hyang Widhi dan Kawitan. Keberadaan Sanggah Kamulan
seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, adalah karena adanya kepercayaan
umat Hindu sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi akibat kepercayaan dari adanya
Brahma, Sang Hyang Triatma atau Siwa. Apalagi sebagai penganut Sekta Siwa.
b.
Nilai Adat
Masalah adat sangat erat sebenarnya dengan agama, karena adanya adat agama
menjadi kuat, dan agama sebagai dasar pandang adat. Kedua hal tersebut berjalan
seiringan dalam masyarakat Bali. Adanya upacara-upacara adat di bali seperti
upacara pengabenan, pernikahan dan upacara-upacara yadnya lain dalam
pelaksanaannya pasti berhubungan dengan Sanggah Kemulan, seperti nunas Tirtha
(air suci). Selain itu misalnya dalam upacara pernikahan. Ketika Sang istri
dinikahi (dipamitkan/dipejatikan) pasti melakukan sembah dinatar Hyang Guru/
Kemulan. Dari gambaran tersebut terlihat jelas betapa ada nilai adat yang
berjalan dalam prosesi upacara tersebut dan berhubungan dengan Sanggah kemulan.
c.
Nilai Etika
Membahas nilai etika
yang berhubungan dengan Sangah Kemulan ini, sangat berkaitan dengan kesucian dari
sanggah Kemulan itu sendiri. Sudah tentu orang-orang yang cuntaka dilarang
masuk ke areal sanggah atau tempat suci lainnya, agar tidak mengurangi kesucian
tempat tersebut. Selain itu ada juga etika-etika lain yang harus dipatuhi,
misalnya saat seseorang melakukan upacara tertentu ketika mohon air suci (nunas
tirtha) harus menghaturkan banten sesuai dengan tingkatan upacaranya. Biasanya
dengan menghaturkan daksina, ajuman, rayunan dan segehan dalam tingkat madya,
yang tergantung dari Desa Kala Patra daerah masing-masing. Dari segi nilai
etika yang lain seperti saat ngunggahang pitara pada Sanggah Kamulan, adalah
bermaksud mengabadikan/ melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah
Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
d.
Nilai pendidikan
Sanggah Kamulan seperti yang dijelaskan, merupakan sthana Batara Guru/
Hyang Guru dan dalam pejelasan pada bab sebelumnya sudah dijelaskan dimana Siwa
Turun ke dunia dengan wujud Sarasuati yaitu Dewi Ilmu pengetahuan yang juga
bersthana sebagai Hyang Guru di Sanggah Kamulan. Jadi dengan memohon kaweruhan
(kepintaran) baik dalam bentuk apapun banyak dilakukan orang di Sanggah
Kamulan.
Makna
Kata
kunci dalam pengertian makna adalah arti atau maksud yang terkandung. Dalam
menganalisis makna Sanggah kamulan kita kembali melihat pengertian Snggah
Kamulan itu sendiri, yaitu tempat pemujaan asal atau sumber yang diartikan
sebagai tempat pemujaan Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Dari setiap
keluarga yang telah memiliki pekarangan sendiri seperti disebutkan dalam lontar
Siwagama, harus membangun/ membuat sebuah tempat pemujaan Hyang Guru yang
disebut Sanggah Kamulan yang letaknya di hulu atau udik pakarangan. Dengan
makna sebagai pelindung dan pemberi anugrah keluarga tersebut agar tidak mendapatkan
halangan apapun.
Kesimpulan
Dengan uraian yang
begitu mendalam, serta tinjauan dari berbagai sistim filsafat Hindu, maka
dapatlah disimpulkan bahwa Sanggah Kamulan adalah :
- Sebagai penghulun karang, menempati posisi hulun dari
konsepsi Rwabinedadan uttama mandala dari konsepsi Tri Hita Karana.
- Sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam wujudnya sebagai
Sang Hyang Tri Atma (Atma, Sivatma dan Paratma) sebagai asal muasal adanya
mahkluk kehidupan khususnya manusia di bumi ini.
- Sthana Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
Sang Hyang Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) sebagai Jiwatman (roh) Bhuana
Agung (alam semesta) dan Hyang Tri Purusa, yakni Siwa, Sadasiwa dan
Paramasiwa yang dianggap sebagai Bhatara.
- Berfungsi sebagai tempat mensthanakan roh suci leluhur
(dewa pitara) yang dianggap manunggal dengan sumbernya, untuk selalu
dipuja oleh keturunannya, guna memohon perlindungan, bimbingan dan
waranugrahanya.
- Konsep pemujaan leluhur bagi umat Hindu di Bali bukan
bersumber dari Pra Hindu, melainkan bersumber dan merupakan bagian dari
ajaran Hindu.
- Mendirikan Sanggah Kemulan berdasarkan petunjuk
“Astakosala” dan “Astabhumi”, khususnya dalam pendiriannya.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan
dan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Meganada, I Wayan, dkk. 1982. Arsitektur
Tradisional Daerah Bali”. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1988.
Sanggah kemulan. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar