Minggu, 21 Juni 2015

Lingga Yoni

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Kawi I
Dosen : Gek Diah Desi Sentana, SS., M.Si

Anggota Kelompok :
1.    Ni Putu Wiwid Septini                   (14.1.1.1.1.112)
2.    Ni Ketut Merryasih                         (14.1.1.1.1.114)
3.    I Nyoman Alit                                 (14.1.1.1.1.115)
4.    I Komang Adi Wijaksana               (14.1.1.1.1.116)
5.    I Wayan Susilo                               (14.1.1.1.1.117)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Saiva Siddhanta adalah salah satu mazab dari sekte Saiva, yang berkembang di India dan di Indonesia. Mengutip dari yang ditulis oleh Haryati Soebandi (1971; 70) kata Siddhanta berarti (1) Svetarupa, (2) Sanghyang Aksobhya atau Sanghyang Kamoksan, (3) Sanghyang Sunya-Nirmala (Sastra, 2008; 191). Sedangkan kata Saiva berasal dari ajaran yang memuja dewa Siwa sebagai dewa yang utama, berarti sekte Saiva adalah kelompok atau kumpulan orang-orang yang memuja serta menempatkan Dewa Siva pada tempat yang utama. Jadi Saiva Siddhanta adalah ajaran untuk mencapai jalan menuju kepada Sang Pencipta, atau suatu jalan untuk bersatu dengan Sang Pencipta yang berasal dari Sekte Saiva. Dalam Saiva Siddhanta menyebutkan alam dunia berasal dari Maya (materi yang tidak murni, potensi alam semesta), yang merupakan kesatuan nyata yang abadi, diakui sebagai nyata adanya (Sastra, 2008: 192).
Saiva Siddhanta yang pada awal mulanya berkembang di India, akhirnya berkembang pula di Indonesia terutama di Bali. Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Bhuwana Kosa. Bhuwana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Bhuwana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Bhuwana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Ajaran Saiwa Siddhanta di Indonesia merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Saiva Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Saiva, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Saiva Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Saiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep Saiva, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep tersebut antara lain: Bhuana kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang Mahajnana, Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta. (Sastra, 2008: 193-194)
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa Saiva Sidhhanta menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Salah satu sekte yang termasuk dalam sekte Saiva adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siva sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Saiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Saiva Siddhanta itu sendiri karena Saiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Saiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siva. Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siva adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata (Nurkancana, 1998; 135).
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahannya meliputi:
1.        Apa pengertian dari lingga yoni?
2.        Bagaimana asal mula lingga?
3.        Apa saja bagian-bagian dari lingga?
4.        Apa saja jenis-jenis dari lingga?
5.        Bagaimana bentuk-bentuk lingga?

1.3 Tujuan Penulisan
1.        Untuk mengetahui pengertian tentang lingga
2.        Untuk mengetahui asal mula adanya lingga
3.        Untuk mengetahui bagian-bagian dari lingga
4.        Untuk mengetahui jenis-jenis lingga
5.        Untuk mengetahui bentuk daripada lingga














BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Lingga Yoni
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000:601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa (Agastia, 2002 : 2). Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama di India Selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte Linggayat (Putra, 1975 : 104)
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973 : 41-42). Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102) Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah. Peninggalan purbakala berwujud Lingga banyak ditemukan di Bali dan Jawa, ada yang masih tetap difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada Sang Hyang Siva (disucikan) dan ada yang ditempatkan sedemikian rupa tidak difungsikan lagi, karena umat Hindu setempat tidak mengenal lagi cara melakukan pemujaan melalui lingga. Pura Batumadeg, Besikalung, dan sejenisnya mengisyaratkan adanya pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui sebuah lingga. (Gunawan, 2012: 80).
Dalam ikonografi Hindu, lingga sebagai lambang api ini identik dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki seorang raja. Lingga dalam perwujudannya sebagai lingodbhavamurti ini Siva digambarkan ke luar dari dalam lingga yang terbuka. Dalam bentuk relief umumnya digambarkan sebuah lingga dengan seekor angsa melayang di atasnya, agak ke bawah terpahat arca manusia berwajah babai hutan sedang mencari-cari (lingga) di tanah. Gambaran relief itu didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya adalah Kitab Lingga Purana, Vayu Purana, Brahmanda Purana, Kurma Purana, Siva Purana (Rudra Samhita), dan Skanda Purana. Cerita yang sama dapat juga dijumpai di Indonesia dalam kekawin Bhomantaka atau Bhomakavya dan Narakavijaya. (Gunawan, 2012: 80).
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut:
 
“Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Terjemahan:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).

Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.  Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:

”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.

Terjemahan:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa.

Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.


2.2     Asal Mula Adanya Lingga
Pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva. Hal ini terlihat dari banyaknya peninggalan purbakala berupa “Sailalingga” (lingga dari batu), permata, termasuk dalam bentuk sesajen (upakara) yang disebut “Dewa-Dewi” juga adalah penggambaran sebuah “lingga” (Gunawan, 2012: 75). Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan. Beberapa cerita penting tentang lingga, diuraikan sebagai berikut:
1). Kutukan Bhargava dan Angirasa.
            Siva mengembara ke seluruh penjuru dunia, meratap sedih atas kematian Satidevi pada saat berlangsungnya Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa dan Kamadewa mengikuti dengan panah asmara untuk melepaskan penderitaan dan kesulitan Siva. Siva kemudian masuk ke dalam hutan Daru yang didiami oleh para maharsi beserta istri-istri mereka. Siva memberi penghormatan dan meminta punia kepada mereka, Tetapi para maharsi tidak menyukai kedatangan Siva dan tetap melanjutkan tapanya. Siva pergi meninggalkan tempat tersebut, tetapi istri-istri para maharsi itu banyak yang mengikuti Siva. Dibuat marah atas hal tersebut, para pertapa seperti Bhargava dan Angrasa mengutuk Siva bahwa phallusnya akan jatuh ke bumi. Phallus Siva jatuh dan menyebabkan kegoncangan pada dunia. Brahma dan Wisnu pun mengetahui dan segera datang ke tempat phallus itu terlentang. Wisnu sangat keheranan melihat phallus yang sedemikian panjangnya dan dengan mengendarai garuda turun pergi ke Patala. Brahma dengan kendaraannya, pergi ke arah atas. Brahma dan Visnu gagal dalam usaha menemukan ujung dari phallus tersebut kemudian memuja Siva dan memohon kepadaNya supaya phallusnya diambil kembali dari bumi. Siva meminta dengan tegas supaya para deva memuja phallusnya tersebut. Brahma dan Visnu pun menyetujui. Mahavisnu kemudian menciptakan Catur Varna, menciptakan berbagai sastra atau petunjuk sebagai petunjuk bagi masyarakat untuk memuja phallus atau lingga tersebut. Empat kitab sastra yang dikenal adalah: Sivam, Pasupatam, Kaladamanam, dan Kapalikam. Setelah melaksanakan semua seperti tersebut di atas, Visnu dan Brahma kembali, Siva mengambil kembali phallusnya (Vamana Purana 6) (Gunawan, 2012; 76-77).
2). Balakhilya.
            Delapan puluh delapan ribu Balakhilya lahir dari pikiran Brahma. Mereka menguruskan badan mereka dengan selalu mandi, melakukan puasa dan memuja Siva. Meskipun mereka memuja Siva sampai seribu tahun devata, Siva tidak pernah muncul di hadapan mereka. Parvati yang melihat hal tersebut bertanya kepada suaminya, Siva, mengapa tak datang memperlihatkan diri kepada mereka. Siva menjawab bahwa mereka (pertapa) belum memahami kebajikan, belum terbebas dari nafsu dan kemarahan. Siva pun menjelaskan kepada Parvati dengan pergi turun ke Bhalakilya menjelma menjadi seorang pemuda yang tampan, mengenakan kalung bunga Vanamala, membawa mangkuk untuk memperoleh dana punia di tangannya dan bertelanjang bulat. Para wanita Advaitin (pengikut Advaita) sangat tertarik oleh ketampanan pemuda tersebut (Siva) dan menanyakan tentang tapa apa yang telah dilakukan oleh pertapa muda tersebut. Pertapa (Siva) tidak memberi tahukan tentang tapanya dan hanya mengatakan ia telah melakukan tapa yang sangat rahasia. Para wanita yang penasaran serta terdorong oleh nafsunya, mencoba untuk merayu Siva. Hal itu diketahui oleh para pertapa serta marah kepada pertapa muda (Siva) tersebut. Salah satu pertapa ada yang memuluk phallus pertapa muda itu dengan tongkat dan batu hingga phallus itu jatuh ke tanah yang menyebabkan kegoncangan pada dunia. Siva pun menghilang dari tempat itu. Para pertapa kebingungan dan memohon perlindungan dari dewa Brahma. Merasa telah melakukan kesalahan, kebodohan serta ketidaktahuan, Brahma meminta kepada para pertapa untuk mendinginkan kemarahan serta menyenangkan hati Siva. Para pertapa pun memuja Siva, dan Siva datang memberikan petunjuk tentang pendirian lingga sebagai tempat pemujaannya. Atas bantuan dari Parwati pula, para pertapa berhasil bertemu Siva yang kemudian membantu mendirikan lingga di tepi sungai. Mereka semuanya, yang menyaksikan pendirian Lingga tersebut memperoleh kebebasan yang tertinggi. Ketika phallus (lingga) didirikan, Brahma juga membangun phallus yang lain dari batu. Setelah satu masa, phallus yang kedua menyatu dengan yang pertama dan memancarkan cahaya yang gemerlapan. Mereka yang melihat hal itu juga memperoleh kesempurnaan. Segera saja Brahma mendirikan lagi 7 lingga untuk menyenangkan hati para rsi, dan para rsi pun mencapai kebebasan yang tertinggi setelah mengurapi dirinya dengan debu lingga tersebut. Tempat lingga itu didirikan kini sangat popular dengan nama Sthanutirtha (Vamana Purana 45) (Gunawan, 2012; 78-79).
3). Bhahmasrsti.
            Pada awalnya Brahma memberikan kepercayaan kepada Siva untuk melaksanakan tugas penciptaan, dan untuk mendapatkan kekuatan penciptaan, ia tinggal di bawah air untuk beberapa generasi. Siva tidak kembali meskipun Braham telah lama menunggunya, akhirnya Brahma menciptakan para Prajapati dan mereka yang mengerjakan semua penciptaan itu. Selanjutnya setelah Siva memiliki semua kekuatan yang diinginkan, ia muncul kembali dari air. Siva ternyata sangat marah dan semua ciptaan ketika ia tidak ditempat dirusak, dan ia mencabut phallusnya dan melemparkannya ke atas bumi. ia berkata, sejak saat itu semua ciptaan ditangani oleh Brahma, ia selanjutnya tidak memerlukan phallus tersebut. Phallus yang dilemparkan oleh Siva menancap di Bumi dan tetap tinggal berdiri di sana. Nantinya, siva menari untuk memusnahkan para dewa. Akhirnya atas permohonan para dewa, Siva menyimpan api kemarahannya di dalam air. Api itulah yang mengeringkan air di lautan, sungai-sungai dan lain-lain. Ketika kemarahan Siva telah lenyap dan keadaan menjadi tenang, para dewa memuja phallus (lingga) yang menancap di tanah, dan karenanya pemujaan kepada lingga demikian populer (Mahabharata, Sauptikaparva 17) (Gunawan, 2012;79).

2.3     Bagian-bagian Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai  simbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.

Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.

Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga, sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain : berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 : 93). (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita). (I Nyoman Dauh: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita).

2.4     Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain :
1.      Chalalingga
2.      Achalalingga
2.4.1 Chalalingga
Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
1)      Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang prosesnya dengan cara dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dengan ketentuan, lalu dibakar.
2)      Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
3)      Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan lain-lain.
4)       Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
5)       Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan dilakukannya pemujaan. Lingga yang terbuat dari emas bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Lingga yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila pemujanya mengharapkan makanan, terutama nasi. Adapun lingga tanah liat ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi digunakan untuk menghilangkan penyakit. Lingga dengan bahn dasar mentega umumnya memberikan suasana gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur panjang maka mengadakan pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari bunga-bungaan. Untuk mendapatkan kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat dari sadlewood. (Gunawan, 2012; 81-82).


2.4.2   Achala Lingga
Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1) Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama). Atau dapat dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
2) Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
3) Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
4) Daivika lingga. Lin/gga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
5) Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama. (Putu Mudiantara http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Untuk manusalingga, ada pula yang memberikan pembagian berdasarkan cara pembuatannya yang terdiri dari beberapa bentuk, diantaranya adalah :
1).  Sarvadesika lingga. Jenis ini panjangnya ditentukan oleh perbandingan dengan sisi ruangan dalam candi. Lingga jenis ini ada 3 macam sesuai dengan besarnya. Pembagian terdiri atas uttama, yaitu 3/5 sisi ruangan, madhyama 5/9 sisi ruangan, dan adhama ½ sisi ruangan.
2). Sarvasama, jenis lingga yang perbandingan antara Rudrabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sama tinggi.
3). Saivadhika, jenis lingga ini mempunyai perbandingan panjang, 2 bagian bawah sama panjang dan 1 bagian  (atas) lebih panjang. Perbandingan yang umum adalah 7:7:8, 5:5:6, dan 4:4:5.
4). Svastika, jenis lingga ini yang mempunyai proporsi semakin ke atas semakin panjang (bagian atas terpanjang) dengan perbandingan 2:3:4.
5). Varddhamana, jenis lingga degnan proporsi makin ke atas makin panjang dengan perbandingan 4:5:6, 5:6:7, dan 7:8:9.
6). Trairasika, jenis lingga yang mempunyai proporsi tinggi keseluruhan lingga dibagi 9, dengan ketentuanperbandingan antara Rudrabhaga: Visnubhaga; Brahmabhaga, 6:7:8 (Gunawan, 2012; 82-83).
Manusalingga terbagi atas 3 bagian, yaitu : Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk persegi. (Gunawan, 2012; 83).
Puncak lingga (sirivartthana) jenis ini mempunyai beberapa macam bentuk, diantaranya bentuk chattrakara (bentuk payung), tripusakara (bentuk ketimun), kukkutaudakara (bentuk telur),  ardhacandrakara (bentuk bulan sabit), budolasadrisa (bentuk menggelembung). Pada puncak lingga ditemukan 2 garis vertical yang bertemu dengan 2 garis melengkung. Garis-garis tersebut dinamakan garis Brahmasutra. Jenis-jenis manusalingga yaitu:
(1). Astotarasata “108 lingga kecil”. Manusalingga jenis ini adalah lingga yang pujabhaga (permukaaan lingga)nya dibagi atas garis-garis vertikal dan horizontal, sehingga terlihat seperti dihiasi lingga-lingga kecil.
(2). Dhara, adalah lingga yang bagian pujabhaga-nya dihiasi garis-garis vertikal yang memanjang (fluted vertikal) sebanyak 50-60 buah. Kitab Suprabhedagama menjelaskan garis vertikal tersebut dapat saja berjumlah 5,7,9,12,16,20,24, maupun 28, sedangkan kitab Karanagama memberi ketentuan 16 buah garis.
(3). Sahasra, lingga jenis ini pujabhaga-nya dihiasi garis-garis vertikal dan horizontal. Bedanya dengan astottarasata, pada sahasra garis-garis horizontal dan vertikal itu tidak membentuk lingga-lingga kecil. (Gunawan, 2012; 83)

2.5 Bentuk-Bentuk Lingga
2.5.1 Mukhalingga
Mukhalingga adalah salah satu bentuk lingga yang diberi hiasan berbentuk muka dewa. Hiasan muka tersebut bisa berjumlah 1, 2, 3, 4 atau 5 buah muka. Hiasan muka yang berjumlah 5 itu mengandung arti simbolik dari kelima aspek Siva, yaitu Sadyojata, Vamadeva, Aghoramurti, Tatpurusa dan Isana (Margaret Stutley, 1985: 94). Kelima aspek Siva itu juga berkaitan erat dengan lima unsur (panca maha bhuta), yaitu tanah, air, api, angin, dan udara (akasa). Kelima aspek Siva itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Sadyojata aspek Siva sebagai pencipta (dunia), Vamadeva aspek Siva sebagai pemelihara (dunia), Aghoramurti aspek Siva sebagai pemelihara (dunia), Tatpurusa aspek Siva sebagai pembasmi samsara, dan Sada Siva aspek Siva yang erat hubungannya dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai moksa (Margaret Stutley, 1985; 107). Sebaliknya Gopinatha Rao (1968) menghubungkan kelima aspek Siva itu dengan; Samharamurti sebagai perusak, Anugrahamurti sebagai pemberi anugrah, Nrttamurti sebagai ahli tari, Daksinamurti sebagai ahli musik, filsafat dan Samadhi, dan Bhiksatamurti sebagai  “pengemis”. Selanjutnya kitab Skanda Purana menyebutkan warna masing-masing aspek siva tersebut yaitu: Sadyojata berwarna putih seperti kulit kerang atau bulan, Aghoramurti memeiliki warna yang menyerupai awan hitam, Vamadewa mempunyai warna kuning keemasan, Tatpurusa mempunyai warna kemilau, dan Sada Siva mempunyai warna putih (Margaret Stutley, 1985; 107).

2.5.2 Lingodhavamurti
Salah satu bentuk perwujudan Siva yang sangat menonjol di India adalah lingga dalam perwujudannya sebagai Lingodhavamurti. Dalam perwujudan ini Siva digambarkan ke luar dari dalam sebuah lingga yang  terbuka. Dalam bentuk relief umumnya digambarkan sebagai sebuah lingga dengan seekor angsa terbang di atas lingga agak ke bawah terpahat arca manusia berwajah babi hutan sedang mencari-cari (lingga)  di bawah tanah. Bentuk lain penggambaran linodhavamurti berupa wujud Siva sedang ke luar dari dalam lingga yang terbuka. Di depannya digambarkan Visnu dan Brahma berdiri dalam sikap member hormat dalam sikap anjali. Gambaran pada relief ini didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya kitab Vayu Purana, Brahmanda Purana, Siva Purana (Rudra Samhita), dan Lingga Purana serta Skanda Purana. Dalam lingga Purana diceritakan bahwa para dewa dating bertanya pada Brahma awal mula lahirnya lingga, dan bagaimana Mahesvara dapat berada dalamnya. Brahma kemudian bercerita bahwa lingga adalah pradhana (alam), dan pemilik lingga adalah Dewa Tertinggi, Paramesvara. Kemudian Brahma juga menceritakan pertemuannya dengan Visnu serta kedatangan api lingga yang mempesona. Ia (Brahma) dan Visnu berusaha mencari ujung dan pangkal lingga, namun tidak berhasil. Dalam usaha pencarian itu, Visnu berubah menjadi babi hutan dan ia sendiri (Brahma) berubah menjadi seekor hamsa.

2.5.2.1 Lingodhavamurti dalam bentuk arca dan relief
Kitab Amsumādbhědāgama menjelaskan salah satu penerapan kisah timbulnya  lingga dalam pahatan, yaitu dengan cara memahat tokoh Siva dalam bentuk Chandrasekhamūrti di bagian depan (permukaan) sebuah lingga. Keterangan ini diperjelas oleh kitab Karanagama. Menurut  kitab ini seperlima ujung dan dasar lingga sebaiknya dibiarkan polos, tanpa pahatan. Kaki di bawah lutut  tokoh Siva tidak ada. Sebelah kanan lingga dekat ujung (puncak) lingga dipahat Brahma dalam bentuk seekor angsa, sementara Visnu dalam bentuk seekor babi hutan dipahat pada bagian kiri kaki lingga. Dapat pula tokoh Brahma dan Visnu dipahat di atas kanan dan kiri menghadap lingga dengan tangan dalam sikap anjali. Tokoh-tokoh ini dapat pula diberi warna, warna untuk tokoh Siva merah, Visnu hitam, dan Brahma kuning keemasan. Keterangan yang lebih rinci terdapat dalam kitab Kamikagama. Menurut kitab ini ukuran angsa ditetapkan sama panjang dengan wajah Siva. Tokoh babi hutan digambarkan sedang menggali dan masuk ke dalam bumi. Tokoh Visnu dan Brahma dalam bentuk kedewaan tidak perlu dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus dipahatkan.
 Kitab Silparatna menambahkan bahwa Siva membawa sula pada salah satu tangannya. Kitab Karanagama mengharuskan memahat tokoh Siva dalam bentuk Chaturbhuja dengan ketentuan salah satu tangannya digambarkan dalam sikap abhaya, dan salah satu tangan lainnya dalam sikap varadahasta. Tangan ketiga membawa parasu dan tangan keempat memegang krsnamrga (seekor rusa jantan berwarna hitam). Siva dipahat dengan hiasan mahkotanya berbentuk hiasan bulan sabit. Beberapa bentuk perwujudan Lingodbhavamurti yang ada di India telah ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa of Hindu Iconography, diantaraya 1. Lingodbhavamurti yang ditemukan dalam candi Kailasanathasvami di Conjeevaram yang umurnya lebih dari 1200 tahun lalu. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk Siva Candrase kharamurti bertangan delapan. Beberapa dari kedelapan tangan digambarkan membawa parasu, sula, aksamala, dalam sikap abhaya dan katyavalambita. Keterangan selanjutnya, bahwa seperlima bagian ujung lingga sebelah kirii tidak  ada pahatan, demikian juga dari lutut ke bawah tokoh Siva.
Siva digambarkan mengenakan hiasan bulan sabit pada mahkotanya. Babi hutan sebagai avatara Visnu digambarkan ertangan empat, dua buah tangan sedang menggali bumi, dua buah tangan lainnya digambarkan membawa sankha dan cakra. Menurut kitab Agama, babi hutan juga dapat dipahatkan seakan keluar dari dasar ruang panil. Brahma digambarkan terbang di udara di ujung lingga dalam bentuknyas sebagai seekor angsa. Tokoh Visnu dan Brahma juga dipahatkan dalam bentuk caturbhuja dikanan kiri lingga. Visnu dan Brahma digambarkan dalam sikap memuja (sebuah tangan dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas pinggul masing-masing, dan tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung dipahatkan makara-torana. Selain di candi Kailasanathasvami, relief lingodbavamurti, kita temukan juga didalam candi Siva Ambar Magalam. Disini lingga, digambarkan dengan untaian bunga berbentuk lingkaran keluar dari atas puncak lingga. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk caturbhuja, sebuah tangan dalam sikap abhaya, tangan lainnya dalam sikap katyavalambita, membawa parasu dan rusa jantan hitam. Kaki-kaki tokoh Siva dibawah lutut dan diatas pergelangan kaki dipahatkan bertentangan dengan praturan yang ditetapkan dalam kitap agama, yaitu sebuah kaki disembunyikan dalam lingga. Diatas lingga tergambar angsa dengan paruh yang sangat menonjol. Dibawah sebelah kiri lingga babi hutan yang diwujudkan dalam bentuk setengah manusia dan setengah binatang sedang menggali lubang di bawah bumi. Menurut perkiraan relief lingodbavamurti ini berasal dari abad 11 atau 12 masehi, yaiti periode pertengahan Chola.

Puja terhadap Siva Lingga
Upacara puja lingga atau lebih dikenal sebagai Nitya-Puja dapat berupa Abhiseka, yaitu membasahi lingga dengan cairan berupa air kelapa, madu, air gula, susu sdan sebagainya. Pujaan terhadap lingga dapat pula dilakukan dengan memberi dupa, membakar kayu wangi, lepa dan sebagainya. Selain memberi dupa dapat pula berupa persembahan Naivedya, yaitu upacara pemberian aneka makanan bagi sang lingga. Usai upacara semua makanan dibagikan pada yang hadir untuk di santap bersama. Puja terhadap lingga dapat pula dilakukan di dalam Garbhagrha dengan meletakkan lampu dan untaian bunga atau bunga-bunga lepas. Dalam upacara besar selain menggunakan bunga dan lampu, juga dipersembahkan musik dan tari. Penarinya seorang Devadasis (deva = dewa; dasi = abdi), yaitu seorang wanita cantik yang telah mendapat latihan menari sesuai dengan aturan-aturan puja.
Dalam kitab manasara disebutkan bahwa “di india lingga atau phalli mempunyai banyak sebutan, diantaranya Siva, pasupata, kalamukha, mahavrata, vama, dan bhairava”. (Manasara LII:2-3). Untuk kumpulan lingga mendapat sebutan samakarmna, vardhamamana, Sivanka, dan svastika. Yang masing-masing merupakan media pemujaan untuk kaum brahmana, ksatrya, vaisya, dan sudra. (Manasana LII: 4-5). Sebagai simbol Siva, lingga merupakan aspek skunder dari lambang kelaki-lakian Siva yang baru akan menimbulkan tenaga atau energi setelah bersatu dengan yoni, yaitu lambang kewanitaan sakti Siva yaitu Parvati. Lingga merupakan lambang api, sebagai manisfestasi dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan kekuatan atau energi. Itulah makna pertemuan antara lingga dan yoni.

2.6 Keberadaan Lingga Yoni di Bali
            Berdasarkan sumber dan informasi yang kami dapatkan bahwa Lingga Yoni bisa ditemukan di beberapa tempat seperti dibawah ini :
1.        Pura Luhur Entap Sai terletak di Puncak Gunung Bon pada ketinggian 1364 m dari permukaan laut, dari Desa Bon. Desa Bon terletak di pedalaman dalam wilayah keperbekelan Belok/Sidan Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
2.        Pura Ulun Danu Batur
3.        Pura tambangan badung terletak di pusat kota denpasar, tepatnya di banjar pemedilan kerandan, desa pemecutan denpasar. Lokasi pura ini sangat strategis dan sangat mudah dijangkau, tepatnya di sebelah barat pasar pasah pemedilan, yang terletak di jalan gunung batur denpasar.
4.        Pura Pucak Mangu
5.        Goa Gajah
6.        Pura Mengening di Desa Pakraman Saraseda Tampaksiring
7.        Pura Pucak Gni











BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 :601). Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
            Pemujaan kepada Sang Hyang Siva melalui Sivalingga banyak dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siva dengan menggunakan lingga sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siva. Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai  symbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
                                                                                                      
























DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Sivasiddhanta 1. Singaraja: Tidak diterbitkan.
Nurkancana, I Wayan. 1998. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. BP; Denpasar
Sastra, Gede Sara. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini. Denpasar: Pustaka Bali Post
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar