Minggu, 21 Juni 2015

Kesusastraan Bali




MAKALAH
BAHASA DAERAH 1
“Karya Sastra Berbahasa Bali
Yang Berkaitan Dengan Ajaran Agama Hindu”

Nama                            : I NYOMAN ALIT
          NIM                              : 14.1.1.1.1.115
          Kelas/Semester           : B2/I
          Fakultas                       : Dharma Acarya
          Jurusan                        : Pendidikan Agama
          Program Studi            : Pendidikan Agama Hindu


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
IHDN DENPASAR
Jalan Ratna No. 51 Tatasan Denpasar
                                                              Tahun 2014





KATA PENGANTAR
þ¾¾sÙsÓísÓu¾¾¾¾.

Kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah melimpahkan rahmat-NYA, sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tidak lupa kita curahkan rasa syukur kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah membimbing umatnya di jalan yang benar. 
Makalah ini bersisi tentang “ Karya Sastra berbahasa bali yang berkaitan dengan Agama Hindu “.  Makalah ini saya buat sebagai tugas Bahasa Daerah I.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :
1.      Ibu Gek Diah Desi Sentana,  selaku Dosen Mata Kuliah.
2.      Orang tua kami yang telah membantu baik moril maupun materi
3.      Rekan-rekan yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini 

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari Dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan datang.

þ¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾ ¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾ ¾¾¾¾}¾¾nÓi;,¾¾¾þ


Denpasar, 1 Januari 2015
Penyusun



I Nyoma Alit
            NIM : 14.1.1.1.1.115








DAFTAR ISI

Cover Judul............................................................................................................................... 1
Kata Pengantar.......................................................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................................................... 3

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang...........................................................................................................................4
Tujuan Penulisan........................................................................................................................4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Karya Sastra  Berbahasa Bali yang berkaitan dengan Agama Hindu................................5
2.2 Analisis karya sastra berdasarkan keterkaitannya dengan Agama Hindu..........................8
2.3 Analisis kruna.................................................................................................................... 13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................ 14




















BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam masyarakat Bali banyak tersebar cerita-cerita rakyat. Cerita rakyat di Bali sering disebut dengan Satua Bali. Secara sempit yang disebut Satua Bali adalah satua-satua yang penyebarannya dari mulut ke mulut dan tidak diketahui siapa penciptanya. Tetapi dalam pandangan luas, satua Bali berasal dari karya-karya pengarang, baik yang berbahasa Bali maupun berbahasa Jawa Kuna. Satua-satua Bali baik yang masih berbentuk lisan maupun yang sudah dicetak, banyak ditemukan di masyarakat.
Dalam era modern, satua-satua masih berfungsi dan dipercaya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya dengan cerita rakyat, misalnya : pada malam hari tidak boleh bersiul, tidak boleh keluar rumah pada sore hari (sandi kala), tidak boleh menduduki bantal, tidak boleh tidur menghadap selatan atau barat, dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Dari berbagai macam satua di Bali, yang menarik untuk diteliti adalah satua yang berjudul “I Cicing Gudig”. Dari segi fungsi, satua ini sangat bermanfaat karena berfungsi sebagai cerita yang menghibur, merupakan alat pendidikan karena mengandung pesan yang sangat mendidik yaitu kecerdikan dan kepintaran dapat mengalahkan kejahatan, selain itu juga berfungsi sebagai pelipur lara.
Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini akan dianalisis satua yang berjudul “Satua I Cicing Gudig”, dan hal yang akan dibicarakan mengenai inventarisasi, klasifikasi, analisis fungsi, dan analisis nilai.
            Oleh sebab itu dalam makalah ini saya menguraikan salah satu karya sastra Bali yang berkaitan dengan Agama Hindu. Karena belakangan ini masyarakat Bali kurang peduli terhadap karya-karya sastra berbahasa bali yang diwariskan oleh leluhur kita terdahulu.

1.2 Tujuan :
Untuk mengetahui keterkaitan karya-karya sastra berbahasa bali dengan Agama Hindu.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karya Sastra Berbahasa Bali yang berkaitan dengan Agama Hindu
2.1.1  Pengertian Kesusastraan Bali
          Kesusastraan Bali adalah karya tulis yang berisi ungkapan dari pikiran, kepandaian, serta menggunakan gaya bahasa yang bagus, yang keluar dari pikiran yang berbudi luhur. Dan ditulis memakai Bahasa Bali, serta boleh ditulis dalam tulisan Bali atau latin.
2.1.2  Pembagaian Kesusastraan Bali
2.1.2.1 Menurut Bentuk / Rupa
A.      Sastra Tembang (Gending / sekar)
a)      Pengertian Tembang
          Tembang adalah karya sastra mengguakan Bahasa Bali, Tulisan Bali atau Latin. Dan dalam pembuatannya menuruti aturan-aturan tembang yang berupa bait. Seperti aturan - aturan banyak baris, banyak suku kata pada baris dan aturan suara. Tembang adalah salah satu cabang kesenian daerah Bali yang termasuk seni vocal tradisional sebagai pencetusan estetika melalui rangkaian nada-nada yang berlaraskan pelog / peluselendra baik yang dibawakan dengan suara maupun instrumentalia (alat musik).

b)      Fungsi Tembang
          Tembang memiliki berbagai fungsi diantaranya :
1.       Sebagai hiburan Manusia
2.       Sebagai sarana untuk mengiringi upacara keagamaan / upacara Yadnya
3.       Sebagai sarana utuk melestarikan budaya
4.       Sebagai sarana untuk menyampaikan nasehat.

c)       Pembagian Tembang
          Mengenai pembagian tembang para sastrawan pada saat munculnya tembang mempunyai pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan pendapatnya masing-masing. Dalam hal ini kita mengambil salah satu pendapat dari bapak I Ketut Sukrata, beliau membagi tembang menjadi 4 bagian yaitu :
1)      Sekar Rare
          Sekar Rare adalah nyanyian atau lagu-lagu yang juga disebut gegendingan. Biasa dinyanyikan oleh anak-anak, dipakai mengiringi gambelen menggunakan bahasa daerah, memakai sajak bebas, isinya sebuah cerita samapi selesai, setiap lagu punya nama tersendiri dan didalamnya selalu diselipkan ajaran- ajaran susila.
2) Sekar Alit
          Sekar Alit adalah nyanyian atau lagu-lagu yang juga disebut geguritan berupa pupuh (macapat) yang susunannya terikat pada banyak baris pada setiap pupuh, banyak suku kata pada setiap baris, labuh suara (lingsa) kata terakhir setiap baris dan berisi ajaran-ajaran agama. Pupuh (tembang) itu dapat dibedakan antara lain :


a)      Pupuh Sinom
b)      Pupuh Semarandana
c)      Pupuh Pucung
d)     Pupuh Pangkur
e)      Pupuh Dandang Gula
f)       Pupuh Durma
g)      Pupuh Ginada
h)      Pupuh Ginanti
i)        Pupuh Mijil
j)        Pupuh Maskumambang



3)      Sekar Madya
         Sekar Madya adalah nyanyian atau lagu-lagu yang berisikan puji-pujian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Yang termasuk Sekar Madya adalah kidung. Kidung adalah nyanyian suci yang dilagukan pada waktu upacara keagamaan. Kidung biasanya dilagukan bersama-sama. Sayair kidung merupakan susunan kata-kata dan kalimat yang indah. Syair itu dilantunkan dengan lagu yang merdu dan suara yang baik sehingga menampilkan karya seni yang bermutu. Nyanyian suci yang hikmat dapat menghantarkan fikiran dan hati kita sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi. Kidung biasaya dilantunkan pada upacara keagamaan yaitu Panca Yadnya. Masing-masing upacara Yadnya memiliki jenis kidung yang berbeda-beda. Kidung juaga dapat dibedakan menjadi 5 macam seperti berikut ini.
a.       Kidung Dewa Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Dewa Yadnya.
b.      Kidung Bhuta Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Bhuta yadnya.
c.       Kidung Manusa Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Manusa Yadnya.
d.      Kidung Pitra Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Pitra Yadnya.
e.       Kidung Rsi Yadnya dalah kidung yang dipakai untuk mengiringi upacara Rsi Yadnya.
4)      Sekar Agung
          Sekar agung adalah nyanyian atau lagu-lagu atau tembang yang terkait pada susku kata dalam setiap baris (wrtta), letak guru lagu atau (matra) dan purwa kanti, tembangnya bebas asal enak didengar dan tidak meninggalkan guru l
agu, berisi ajaran agama. Yang termasuk Sekar Agung adalah :
a.       Palawakya seperti membaca skola-sloka Sarasamuscaya.
b.       Kekawin seperti : Kekawin ramayana, Kekawin Arjuna Wiwaha, dll.

B.      Sastra  Gancaran
          Gancaran adalah karya sastra yang menggunakan Bahasa Bali yang ditulis tidak mengikuti aturan-aturan dalam tembang. Gancaran Bali purwa dibagi menjadi 6 diantaranya :
1)      Cerita (Dongeng)
2)      Cerita Badbad (Hikayat)
3)      Cerita Wiracarita (Epos)
4)      Cerita Dewa-Dewa (Mitos)
5)      Cerita Tempat (Legenda)
6)      Palawakya (Prosalisasi)

2.1.2.2 Menurut Jaman
a.       Sastra Bali Purwa (klasik,kuna)
          Kesusastraan Bali Purwa, ialah kesusastraan yang telah diwarisi sejak jaman lampau dan lekat sekali kaitannya dengan Pustaka Suci Agama Hindu, misalnya : Buku-buku Weda, yang telah menjelma menjadi kesusastraan Nusantara Kuna diantaranya Kesusastraan Bali Purwa. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa itu kalau dilihat dari bentuk dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai tersebut dimuka, yaitu : tembang, gancaran dan palawakya.
b.      Sastra Bali Anyar (Moderen)
          Kesusastraan Bali Anyar, ialah Kesusastraan Bali yang telah mendapat pengaruh dari Kesusastraan Nasional yaitu kesusastraan Indonesia. Kesusastraan Bali Anyar dapat dibedakan berupa :
a)       Satua Bawak (Cerpen)
b)      Satua Dawa (Novel)
c)       Puisi Bali Anyar
d)      Lelampahan (Drama)




2.1.2.3 Kesustraan Bali Menurut Cara Menuturkan
a.       Sastra Gantian
          Sastra gantian ini pada umumnya anonim dan cara penyampaiannya merupakan bahasa lisan secara turun temurun. Bentuknya ada yang merupakan tembang ada yang berupa gancaran.

b.      Sastra Sesuratan
          Sastra sesuratan ini timbul setelah orang-orang Bali mengenal huruf, baik huruf Bali maupun huruf latin. Bentuknya ada berupa tembang, gancaran dan palwakya. Selanjutnya setelah mendapat pengaruh dari kesusastraan Indonesia munculah kesusastraan Bali Modern.

Contoh yang saya ambil pada saat ini adalah Satua Bali yang berjudul I Cicing Gudig

2.2 Analisis berdasarkan keterkaitannya dengan Agama Hindu :

I Cicing Gudig

           
Nah ade kone tuturan satua I Cicing Gudig. I Cicing Gudig, buka adanne berag tegreg tur keskes gudig, sing jalanan mlispis ada dogen anak ngesekang wiadin ngaltig. Sai-sai kone ia maselselan, nyelselang buat kalacuranne tumbuh dadi cicing makejang anake tuara ngiyengin.
Sedek dina anu I Cicing Gudig mlispis di pekene. Ada kone anak madaar di dagang nasine, ento kone nengnenga menek tuunanga dogen. Kene kenehne I Cicing Gudig, “Yan i dewek dadi manusa buka anake ento, kenken ya legan nyete ngamah, mebe soroh ane melah-melah. Ah kene baan, nyanan petenge lakar mabakti ke Pura Dalem, mapinunas teken Batari Durga apang dadi manusa.
Kacrita suba peteng, mabakti kone lantas I Cicing Gudig di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, ”Ih iba Cicing Gudig, dadi iba ngacep nira, apa katunasang?” Masaut I Cicing Gudig, “Inggih paduka Betari, yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas mangda dados manusa.”Kalugra kone pinunasne I Cicing Gudig, lantas ia dadi jlema. Dening I Cicing Gudig tusing bisa ngalih gae, tusing pati kone ngamah. Mara-maraan ngamah ulihan maan mamaling. Pepes kone ia katara mamaling. Lantas buin kone ia mabakti di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, “Ih iba cai I Cicing Gudig, ngenken dadi iba buin mai?” Matur I Cicing Gudig, “Inggih paduka Betari, titiang tan wenten demen dados manusa panjak. Yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas mangda dados “Patih”. Ida Betari Durga lugra.
Nujuang pesan kone dugase ento Ida Sang Prabu ngrereh buin adiri. I Cicing Gudig lantas kandikaang dadi Patih, tur I Cicing Gudig ngiring.“Beh keweh pesan i dewek dadi Pepatih, tusing maan ngenken-ngenken, begbeg pesan kandikayang tangkil ka puri. Yan i dewek dadi Anak Agung, kenken ya legan nyete nunden-nunden dogen.” Keto kenehne I Cicing Gudig. Nyanan petengne buin kone ia mabakti di Pura Dalem, mapinunasang apang dadi Anak Agung. Ida Betari Durga lugra, lantas patuh pesan kone goban I Cicing Gudige teken warna Ida Sang Prabu.
Kacrita sedek dina anu Sang Prabu lunga maboros ka alase, macelig kone I Cicing Gudig ka puri. Dening patuh goban I Cicing Gudige teken Ida Sang Prabu, dadi kasengguh Ida Sang Prabu kone ia baan I Patih muah teken prayogiane ane len-lenan.
Matur I Patih saha bakti, “Titiang mamitang lugra Ratu Sang Prabu, punapi awinan dados Cokor I Ratu paragayan tulak saking paburuan?” Masaut I Cicing Gudig, “Kene Patih, mawinan nira tulak, saking nira ngiringang sabdan Betara, tan kalugra nira malaksana mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin, mawanan tan pairingan nira mulih.” Keto pamunyinne I Cicing Gudig, teka jag ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.
Kacrita sai-sai kone I Cicing Gudig ngraosin anak mawikara. Reh Cicig gudig tuara nawang lud, makejang wikaran anake pelih baana ngundukang, ane patut menang kalahanga, anak patut kalah menanganga. Mawanan kaupet kone I Cicing Gudig dadi Agung, sawai-wai ngencanin anak mawikara dogen. Yan I Dewek okan Anak Agung, kenken ya demene, kema mai malali iringang parekan, di kenkene magandong, buina tusing pesan ngitungan apan-apan, sajawaning ngamah teken malali dogen.
Nyanan petengne, mabakti kone buin I Cicing Gudig di Pura Dalem, mapinunas apang dadi okan Anak Agung. Ida Betari Durga lugra. Patuh lantas gobanne I Cicing Gudig buka warnanida Raden Mantri. Buin mani semenganne, maorta ilang kone lantas Ida Raden Mantri. Ya sedeng ewana jerone ngibukang Raden Mantri, deleng-deleng kone lantas I Cicing Gudig ngapuriang. Reh Cicing Gudig kasengguh Raden Mantri, makesiar kone keneh wang jerone makejang.
Kacrita jani I Cicing Gudig kapurukang malajah masastra. Dening asing ajahina muah takonina I Cicing Gudig tuara karoan baana apa, saapan kone lantas gurune ngemplangin I Cicing Gudig. “Koang,” keto kone aduhanne I Cicing Gudig. Dening keto, buin kone pasangetina ngemplangin I Cicing Gudig. “Koang,” keto kone buin aduhanne. Buin kemplangina tur pasangetina, buin kone I Cicing Gudig makoangan. Brangti kone lantas gurunne, lantas ia nyemak penyalin anggona nigtig I Cicing Gudig, kanti enceh-enceh, mara kone suudanga
Kacrita nyanan petengne kone ka Pura Dalem lantas I Cicing Gudig mabakti, mapinunas apang buin dadi Cicing Gudig buka jati mula. I Cicing Gudig lantas buin dadi cicing gudig.
Unsur Intrinsik Satua I Cicing Gudig
A.Tema :
Keserakahan seekor anjing terhadap apa yang telah diberikan kepadanya.
B.Alur :
Maju. Karena diceritakan secara runtut dari awal sampai akhir.
C.Amanat :
Janganlah menjadi orang yang serakah, dan iri terhadap orang lain, kita harus selalu bersyukur atas apa yang kita terima.
D. Penokohan :
1. Cicing Gudig : serakah dan tidak mau bersyukur atas apa yang diterimanya.
2. Bhatari Durga : bersifat pemurah, dan belas kasihan kepada para penyembahnya.
Berdasarkan Satua Bali di atas. Keterkaitannya dengan Agama Hindu yaitu Lobha. Lobha artinya kerakusan. Artinya suatu sifat yang selalu menginginkan lebih melebihi kapasitas yang dimilikinya. Untuk mendapatkan kenikmatan dunia dengan merasa selalu kekurangan, walaupun ia sudah mendapatnya secara cukup. Seperti misal lobha dalam mendapatkan harta seperti disebutkan dalam :
Sarasamuscaya 267.
Jatasya hi kule mukhye paravittesu grhdyatah lobhasca prajnamahanti prajna hanta hasa sriyam.
Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradryabaharana, hilang kaprajnan ika dening kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangken srinya, halep nya salwirning wibhawanya
Biar pun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain; maka hilanglah kearifannya karena kelobhaanya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah yang menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya.
Ini disebutkan orang yang terlalu rakus dan loba akan kepemilikan orang lain, maka ia akan kehilangan kemuliannya dimulai dari kehilangan kearifannya, karena ia sudah berlaku buruk. Jadi rugi akan segala yang telah ia punya akibat kelobaannya itu.
Apalagi jika rakus sampai menyerobot kekayaan orang lain. Kemiskinan dan hasil buruk di kehidupan yang akan datang akan jadi balasannya. Seperti tercantum dalam:
Sarasamuscaya 360
Musnam daridratyabhihanyate ghnan pujyunamasampujya bhavatyapujyah, yat karmavijam vapate manusyah tasyanurupani phalani bhumkte.
Ikang akelit ring paradrwya nguni ring purwajanma, daridra janma nika ring dlaha, ikang amati nguni pinatyan ika dlaha, sangksepanya, salwining karma wija inipuk nguni, ya ika kabhukti phalanya dlaha.
Yang menyerobot kepunyaan orang lain waktu hidupnya dulu, dilahirkan menjadi orang miskin di kemudian hari ; yang membunuh pada waktu hidupnya dulu akan dibunuh dalam hidupnya kemudian; singkatnya, semua benih perbuatan yang ditabur dan dibiakkan dulu, buahnya itulah yang dinikmati kemudian.
Hal tersebut adalah hukum kamarphala. Maka dihindarilah sebaiknya loba atau rakus akan hak milik orang lain yang mengakibatkan buah hasil perbuatan menjadi buruk di kemudian hari.
Loba dalam sarasamuscaya disebutkan juga sebagai penyebab dari kebodohan. Kebodohan yang juga akan membawa manusia ke jurang kesengsaraan tanpa batas dan tiada bisa mengartikan dan membedakan antara baik dan buruk itu sendiri. Slokanya adalah :
Sarasamuscaya 400
Ajnaphrabhavarin hidam yadduhkhamupalabhyate lobhadeva tadajnanamajnanallobha eva ca
Apan ikang sukhadukha kabhukti, punggung sankanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika, matangyan punggung sangkaning sangsara
Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan yang ditimbulkan oleh loba, sedang loka (keinginan hati) itu kebodohan asalnya; oleh karena itu kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu.
Jadi kesengsaraan adalah berasal dari kebodohan (awidya) yang pangkalnya ditimbulkan dari sifat loba itu sendiri. Sehingga kesengsaraan akan muncul dengan sendirinya bagi manusia yang tanpa bisa mengurangi sifat loba itu sendiri.
Bhagavad Gita XVI. 21
Tri vidham narakasyedam
dvaram nasanam atmanah
kamah krodhas tatha lobhas
tasmad etat trayam tyajet (Bhagawad Gita XVI.21)

Artinya :
Tiga pintu gerbang keneraka, menuju jurang kehancuran diri yaitu kama (hawa nafsu), krodha(marah) dan lobha (rakus),oleh karena itu ketiganya harus ditinggalkan.

Benih rakus atau tamak harus dikendalikan, karena sifat rakus akan menimbulkan sifat-sifat tercela seperti kikir, munafik dan iri hati.
Matsarya
Matsarya disebut juga iri hati. Manusia yang memiliki sifat seperti ini, dalam Sarasamuscaya adalah manusia yang tidak mengalami kebahagiaan abadi dan menimbulkan hanya kesengsaraan dalam kehidupannya. Seperti disebutkan dalam :
Sarasamuscaya 88
Abhidhyaluh parasvesu neha namutra nandati, tasmadabhidhya santyajya sarvadabipsata sukham.
Hana ta mangke kramanya, engin ring drbyaning len, madengki ing suhkanya, ikang wwang mangkana, yatika pisaningun, temwang sukha mangke, ring paraloka tuwi, matangnyan aryakena ika, sang mahyun langgeng anemwang sukha.
Adalah orang yang tabiatnya menginginkan atau menghendaki milik orang lain, menaruh dengki iri hati akan kebahagiannya; orang yang demikian tabiatnya, sekali-kali tidak akan mendapat kebahagiaan di dunia ini, ataupun di dunia yang lain; oleh karena itu patut ditinggalkan tabiat itu oleh orang yang ingin mengalami kebahagiaan abadi.
Jadi iri hati hanya menghasilkan ketidaktenangan dalam hidup. Yang harus manusia lakukan agar terhindar dari iri hati dapat dilihat pada sloka berikut.
Sarasamuscaya 89
Sada samahitam citta naro bhutesu dharayet, nabhidhyayenne sphrayennabaddham cintayedasat
Nyanyeki kadeyakenaning wwang ikag buddhi masih ring sawaprani, yatika pagehankena, haywa ta humayamakam ikang wastu tan hana, wastu tan yukti kuneng, haywa ika inangenangen.
Nah inilah yang hendaknya orang perbuat, perasaan hati cinta kasih kepada segala mahluk hendaklah tetap dikuatkan, janganlah menaruh dengki iri hati, janganlah menginginkan dan jangan merindukan sesuatu yang tidak ada, ataupun sesuatu yang tidak halal; janganlah hal itu dipikir-pikirkan.

Kesengsaraan juga menjadi akibat yang ditimbulkan iri hati kepada sesama. Hal tersebut ada pada sloka berikut :
Sarasamuscaya 91
Yasyerya paravittesu rupe virye kulavaye, sukhasaubhagyasatkare tasya vyadhiranatagah
Ikang wwang irsya ri padanya janma tumon masnya, rupanya, wiryanya, kasujanmanya, sukhanya kasubhaganya, kalemanya, ya ta amuhara irsya iriya, ikang wwang mangkana kramanya, yatika prasiddhaning sanngsara ngaranya, karaket laranya tan patamban.
Orang yang irihati kepada sesanya manusia, jika melihat emasnya, wajahnya, kelahirannya yang utama, kesenangannya, keberuntungannya dan keadaannya yang terpuji; jika hal itu menyebabkan timbulnya iri hati pada dirinya; maka orang demikian keadaannya itulah sungguh-sungguh sengsara namanya, terlekati kedukaan hatinya yang tak terobati
Jadi jika ingin di dunia berbahagia, maka manusia hendaknyalah menghindari sifat iri hati ini. Karena iri hati hanya akan menimbulkan kesengsaraan semata bagi siapa-siapa yang terjangkiti olehnya.

2.3 Analisis Kruna
1.      Kruna Lingga inggih punika kruna sane durung polih wewehan (pengater, seselan, pangiring). Conto : sedek, dina, baan, dewek, anak, lakar, mangda, dados, nawang, kalah, mantri, patut, buin, lantas, dadi, miwah sane lianan.
2.      Kruna teriron inggih punika kruna lingga sane sampun polih wewehan (pangater, pangiring, miwah seselan). Conto : titiang, mabhakti, tuturan, kelacuran, kasengguh, jalanan, kapurukang, mawikara, ngundukang, kalahanga, gurune, miwah sane tiosan.
3.      Kruna polah inggih punika kruna sane sampun polih pangater anusuara (nya, ma, na, nga). Conto : nyemak
4.      Kruna Dwi Sama Lingga inggih punika kruna lingga sane kaucap ping kalih. Conto : enceh-enceh, deleng-deleng
5.      Kruna Aran : cicing gudig, Anak Agung, Raden Mantri.
6.      Kruna kriya : Malajah, maboros
7.      Kruna mangkep rasa : berag tegreg










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

            Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karya – karya sastra yang ada di bali pada khususnya baik itu karya sastra tulis maupun lisan terutama yang memakai Bahasa Bali dalam penyajiannya sangatlah erat kaitannya dengan Agama Hindu di Bali. Karya-karya sastra ini perlu dilestarikan agar tetap ajeg keberadaannya di era globalisasi saat ini. Kita sebagai umat Hindu Bali waji hukumnya untuk melestarikannya, kalau bukan kita yang melestarikannya siapa lagi. Sekarang yang dibutuhkan adalah kesadaran kita untuk melestarikannya agar tetap ajeg. Kita sebagai generasi penerus umat Hindu di bali harus mampu untuk mengaplikasikan karya sastra berbahasa bali ini dalam kehidupan sehari-hari, karena isi dari karya-karya sastra yang ada di bali erat dengan ajaran Agama Hindu.



1 komentar: