Selasa, 06 Oktober 2015

Lontar Kusumadewa



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
            Umat Hindu khususnya di Bali sangat erat sekali dengan yang namanya Upacara atau kegiatan keagamaan lainnya. Dalam melaksanakan sebuah yadnya maka akan ada yang disebut tri manggalaning yadnya yaitu, yajamana karya atau orang yang melakukan yadnya/ upacara, sang pancagra/tukang banten, dan sang sadhaka (sulinggih dan pemangku) yang akan muput upakara atau nganteb banten upacara. Keberadaan Pemangku sangatlah penting dalam upacara yadnya. Pemangku dalam melaksanakan swadharmanya harus berlandaskan akan sastra yang menjadi acuan dalam menjalankan sasananya sebagai Pemangku. Dalam menjalankan swadharmaning Jro Mangku, seorang Pemangku harus mengetahui tatacara dalam hal beryadnya minimal upacara piodalan di Pura yang diemongnya.
            Sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengetahui landasan sastra daripada gagelaran Pemangku itu untuk diketahui oleh semua Pemangku. Dalam hal ini salah satu sastra yang kami kaji adalah Lontar Lingganing Kusumadewa. Di dalam lontar ini dijelaskan tentang gagelaran Pemangku ketika piodalan di Pura, dan dilengkapi dengan puja saa atau puja mantranya.

1.2 Rumusan masalah
1.      Apa isi dari Lontar Kusumadewa ?
2.      Bagaimana kawenangan Pemangku mempergunakan Genta ketika nganteb upacara?
3.      Nilai apa saja yang terkandung dalam Lontar Kusumadewa?
4.      Apa saja larangan-larangan bagi Pemangku dalam Lontar Kusumadewa?
5.      Apa yang menjadi hakekat bagi Pemangku dalam Lontar Kusumadewa?

1.3 Tujuan Penulisan
1.      Untuk melengkapi tugas mata kuliah Susila II.
2.      Untuk mengetahui dan mengkaji lontar Lingganing Kusumadewa yang berkaitan dengan gagelaran Pemangku.
3.      Untuk mengetahui nilai yang terkandung dalam Lontar Kusumadewa.
4.      Untuk mengetahui larangan –larangan bagi Pemangku yang terdapat dalam Lontar Kusumadewa.
5.      Untuk mengetahui hakekat Pemangku dalam Lontar Kusumadewa.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sinopsis Lontar Dharmaning Kusumadewa dan Lingganing Kusumadewa

            Lontar Kusumadewa memaparkan tentang gagelaran Pemangku yang meliputi kegiatan Pemangku dalam urutan penyelesaian upacara di Pura bersama dengan saa/mantra yang mengiringinya.
            Urutan-urutan kegiatan itu adalah menyapu, membersihkan coblong, menggelar tikar, memetik daun, memasang ceniga, membersihkan dan mengisi jun air. Menempatkan dupa di halaman palinggih, mempersembahkan dupa, mempersembahkan prayascita pada semua palinggih, menyelesaikan segala sesuatu perlengkapan penyucian. Menghaturkan pakalahyang, setelah urutan-urutan itu selesai maka pemangku mohon perkenan Bhatara Siwa sudi hadir secara seksama pada diri Pemangku itu.
            Kemudian dibayangkan Ida Bhatara sudah hadir pada paruman menyertai Bhatara Guru yaitu Bhatara Siwa. Pemangku lalu anguncaraken saa/mantra, pasucian, toya kumkuman dan perlengkapan penyucian yang lain. Kemudian Pemangku melakukan penyucian Banten (ngelukat Banten) serta menempatkan banten pada masing-masing palinggih.
            Dari palinggih Ida Bhatara dituntun turun ke Pangubengan, yaitu tempat berkumpul bersama di jaba pura untuk selanjutnya masucian ke Beji (tempat permandian suci). Di Beji akan berlangsung beberapa proses upacara seperti mempersermbahkan pasucian, mohon tirta kekuluh, mohon Sang Hyang Ongkara Amerta untuk bersthana (ngadeg) dalam tirtha. Menyusul panglukatan banten dengan memercikkan tirta pada semua banten.
            Para Dewa (Ida Bhatara) diiring kembali ke Jaba Pura. Di sini Pemangku memohon agar Bhatara Baruna berkenan ngaded dan nyejer di Kahyangan Agung karena akan dipersembahkan Pujawali. Dengan saa yang diiringi dengan genta Pemangku mohon kepada semua Dewa agar terhindar dari segala marabahaya dan bersih dari segala noda. Setelah menghaturkan canang pamendak, maka Ida Bhatara dimohon untuk bersthana di kahyangan masing-masing. Beliau masing-masing di jeroan pura.  Pemangku mengucapkan saa mohon agar Ida Bhatara mapaica waranugraha dan terhindar dari segala penderitaan. Dalam saa pujian terdapat mantra Dewa-Dewa dalam pangider-ider yang sesungguhnya adalah Guru Dewa atau Bhatara Siwa.
            Kemudian Pemangku mempersembahkan semua banten piodalan mulai dari Sanggar Agung, lanjut ke Padmasana, semua Palinggih dan Panggungan. Dalam hal ini saa/mantra pemangku yang mengiringi upacara mengandung permohonan supaya Ida Bhatara menganugrahkan sarining amerta, sapta werdhi, panjang umur (dirgayusa), terhindar dari berbagai penyakit serta mohon pengamunan dari segala kelalaian yang dilakukan oleh damuh Ida Bhatara.
            Bagian terakhir dari rangkaian upacara ini adalah persembahan kepada Bhatari Durga, Kala, Bhuta berupa bebangkit dan gelar sanga. Sebagai siddha siddhaning don Pemangku mempersembahkan peras, dilanjutkan dengan masegeh agung, nglukar dan terakhir matirta.
            Di dalam lontar ini juga dijelaskan mengenai larangan pemangku, kawenangan pemangku serta hakikat Pemangku.
5.2    Kewenangan Pemangku menggunakan Genta
Dalam hal menggunakan Genta pada saat nganteb seperti yang tersurat dalam Lontar Lingganing Kusumadewa :
“Punika ilen-ilen yang mangastiti Dewa yan mapiodalan, wenang maka gagelaran Ki Pemangku Gede, sane sampun puput mawinten, nunas panugrahan ring Ida Pandhita linuwih Guru Iswara, mangda tan sisip Ki Pemangku manguncarang puja lingganing Kusumadewa. Ki Pemangku wenang abhusana sarwa petak mwang tatkala amuja yogya ngagem Gantha, lamakane siddha amangguh swasti sira.”
Terjemahannya :
Itulah tatacara memuja para Dewa pada waktu Piodalan, patutlah sebagai pegangan Ki Pemangku Gede, yang telah diwinten, mohon anugrah sang Pandhita sebagai Guru Utama, supaya tidak kualat Ki Pemangku memanjatkan Puja yang terdapat dalam pustaka Lingganing Kusumadewa. Ki Pemangku patutnya memakai pakaian serba putih, serta pada waktu memuja patutlah mempergunakan Genta, dengan harapan berhasil dan mendapatkan keselamatan.
“Nihan Pawekasing batara, ring pemangkun ida, yan rawuh patatoyan ida ring madia pada, kena pamangkun ida angasrening betara, angagem bajra patatoyan, maka weruh ikang mangku, kawit kertaning betara, yanora ngagem bajra, nora weruh ring kepamangkuan, angora-ora, angiya-ngiya sira, angasa- asa, nora kayun ida turun, apan sira tan meling ring kawit-kawitan kandaning pamangku”. 
            Dari penggalan lontar tersebut diatas dapat dikatakan Genta dapat menghantarkan persembahan kepada yang disembah. Sulinggih/Pemangku berperan sebagai penanda atau yang memberikan tanda dalam bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh manusia di alam bwah loka, bhuta kala di alam bhur loka dan dewa-dewa di alam swah loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri loka mengasosiasikan tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai pertanda adanya upacara. Skema integrasi yang bersumber dari asosiatif Genta :



Apabila disimak, makna yang terkandung, bahwa dengan maksud mengundang para dewa, manusia menyuarakan kentongan dewa, suara kentongan yang di dengar menimbulkan reaksi asosiatif dari para dewa bahwa di dunia ada upacara ritual dan manusia bermaksud mengundang para dewa. Geger atau hiruk pikuk, gemuruh merupakan wujud nyata dalam bentuk perilaku yang timbul dari reaksi asosiatif karena mendengar suara genta.





Skema asosiatif Genta sebagai sebuah tanda

Suara atau bunyi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, melalui suara atau bunyi-bunyian manusia bisa berkomunikasi untuk menyampaikan segala sesuatu yang ada dalam pikiranya baik itu berupa pendapat, permohonan, tujuan dan lain-lain. Begitu pula halnya dalam kegiatan keagamaan sangat dibutuhkan adanya suara dan bunyi-bunyian disesuaikan dengan tingkat dan jenis upacara yang dilakukan, dengan harapan yang dilandasi suatu keyakinan bahwa suara dan bunyi-bunyian tersebut mampu menggantarkan dan menyampaikan maksud, tujuan dan isi dari upacara dan upakara yang dimaksud. Karena suara/bunyi berperan penting dalam upacara keagamaan sehingga dikenal adanya istilah panca nada (dalam konteks yadnya), yaitu : (1) kulkul, sunari dan pindekan, (2) kidung atau nyanyian suci, (3) gambelan, (4) genta sulinggih atau pamangku, (5) mantra/doa.
5.3    Nilai Etika dalam Lontar Lingganing Kusuma
Berbicara mengenai etika dalam Lontar Lingganing Kusumadewa yang menyangkut gagelaran Pemangku sangat erat kaitannya dengan kesucian daripada Pemangku itu sendiri. Pemangku atau Pinandhita merupakan salah satu orang suci yang tergolong kedalam eka jati. Eka jati secara etimologi berasal dari dua kata yaitu “eka” yang artinya satu, dan jati berasal dari bahasa sanskerta yaitu “ja” yang artinya lahir. Eka jati artinya lahir satu kali yang dalam konteks ini seorang Pemangku itu hanya disucikan dengan upacara pawintenan. Pemangku dalam menjalankan swadharmanya seorang Pemangku hendaknya memakai pakaian serba putih. Ketika melakukan pujastawa hendaknya menggunakan Genta, dengan demikian Pemangku akan kelihatan berwibawa dan mataksu ketika nganteb upakara.
Dalam lontar ini sangat jelas sekali diuraikan bagaimana etika seorang Pemangku ketika menghaturkan sesajen dan berkomunikasi atau mengucapkan pujastawa.  Melalui lontar ini Pemangku akan dapat mengetahui bagaimana etika ketika nganteb khususnya ketika piodalan di Pura.
2.4 Larangan Pemangku
Dalam Lontar Kusuma Dewa diuraikan sebagai berikut:
Iki Larangan Ki Pemangku
Bratanya :
”Tan wenang mangan ulam : bawi, sampi.jen ada ngmatiang deweke upami : siap, bebek, djag mati, ika pada tan wenang pangan.
Ten wenanng njelepin longlongan, muah emper-emper, tan wenanng negen tenggala, lampit, tambah, sorok, tjongkod, antuk njelang ring anak siosan, tan wenang njumbah sawa.
Tan wenang bobad ring djatma, tan wenang mangan paridan sawa, tan wenang kabale ne misi sawa, muah tan wenang adjejuden.
Mangkana parikramaning larangan pemangku jan sampun nganggen sangkulputih”.
Terjemahannya :
Demikian larangan pemangku yang termuat dalam lontar Kusuma Dewa, adapun larangan-larangan antara lain sebagai berikut :
1.    Tidak memakan makanan yang tidak diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi, minuman beralkohol) maupun makanan yang merugikan kesehatan.
2.    Jika bisa dalam rangka menyucikan diri alanngkah baiknya semua jenis daging tidak dimakan.
3.    Dilarang menyentuh benda-benda cemer.
4.    Dilarang berjudi,
5.    Dilarang kawin lagi. Namun apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan kembali lagi melaksanakan upacara pewintenan bersama dengan istri baru.
6.    Dilarang ngewintenang pemangku.
7.    Karena pemangku tidak kena cuntaka, maka ia dilarang pergi kerumah /tempat kecuntakan. Hal ini tergantung kepada Ida Bhatara yang mepica panugrahan. Ada yang melarang, ada yang memberikan, hanya saja disertai dengan membuat banten segehan dan melukat setelah datang datang dari tempat kecuntakan
·             ‘Yan Hana pamangku widhi atampak tali, cuntaka dadi pamangku, wenang malih maprayascita kadi nguni upakarania, wenang dadi pamangku widhi malih yan nora mangkana phalania tan mahyunin bhatara mahyang ring kahyangan’.
Terjemahan:                                                                                                                  
“Bilamana seorang pemangku pura pernah diikat/ diborgol dipandang tidak suci pemangku tersebut, wajib kembali melaksanakan upacara penyucian seperti sedia kala, dibenarkan ditetapkan kembali sebagai pemangku bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Tuhan turun di pura”.
·             ‘Yan hana mangku widhi sampun putus madiksa widhi mawinten, mapahayu agung, ikanang antaka away pinendem, tan wenang ila-ila dahat, ikang bhumi kena upadrawa ikang panenggeking bhumi’.
Terjemahan:                                                                                                                                  
“Blia ada pamangku pura yang telah melaksanakan pewintenan hingga tingkat mapahayu agung, tatkala kematiannya jangan dikubur, bahaya akan mengancam, kena kutukan penguasa pemerintah”.
·             ‘Aja sira pati pikul-pikulan, aja sira kaungkulan ring warung banijakarma, aja sira munggah ring soring tatarub camarayudha, saluwiring pajudian, mwang aja sira parek saluwiring naya dusta’.
Terjemahan:
“Pemangku jangan sembarangan memikul, jangan masuk ke warung tempat berjualan yang tidak diupacarai, jangan duduk di arena sabung ayam, semua jenis perjudian, dan jangan dekat dengan niat yang jahat”.
·             ‘Yan pamangku mawaywahara, tan wenang kita anayub cor teka wenang adewa saksi’.

Terjemahan:
“Bilamana pemangku bersengketa, berperkara tidak patut mengangkat sumpah dengan cor, yang patut dilakukan adalah mohon pesaksi kehadapan Hyang Widhi”.
·             ‘Samaliha tingkahing pamangku, tan kawasa keneng sebelan sira pamangku, yan hana wwang namping babatang tan kawasa sira mangku marika, tur tan kawasa amukti drewening wwang namping babatang’.
Terjemahan:
“Dan lagi perilaku menjadi pemangku, tidak dibenarkan dinodai oleh cuntaka, bila ada orang yang punya kematian (jenasah) tidak dibenarkan pemangku mengunjungi orang yang kedukaan tersebut, apalagi menikmati makanan dan minuman di tempat tersebut”.

2.5 Hakikat Pemangku
Ling ning Kusuma Dewa:
‘Iki uttamaning pemangku, yening mangku jagat, mangku dalem ngaranya, wenang masuci purnama mwang tilem, nganggehang brata, tapa yoga, samadhi, satya ring tingkahing kadharman, mangkana tingkahing mangku jagat’.
‘Yan nora pageh ngalaksanayang kadharman, mangku sira mangku sorbet ngaran, kawenangan sira lumaku ring sor, tan kawenangan sira ngangge pustaka, kawenangan sira kabasa mangku, cantule sira nampi, dudu weruh ngaku weruh, tuhu sira dusun, salah tampen’.
‘Iki ngaran Kusuma Dewa panganggen nira sang mangku jagat, kawenangan pinaka nyuci adnyana nirmala, ngaran nare pinaka raga, bahu pinaka sirah tripada, sirah siwambha madaging tirtha, ring selaning lelata, Ongkara sumungsang pinaka candana, citta nirmala pinaka bija, sucining awak pinaka dipa, nitra manis pinaka dupa, ujar tuwi rahayu mangenakin pangrengenta, Agni ring Nabi, pinaka sekar tunjung, kucuping tangan kalih pinaka gentha, tutuknya pinaka hyang ngaran, saika tingkahing amuja, samangkana sang mangku jagat’.
‘Iki kaweruhaken tingkahing dadi mangku, wenang sor wenang luhur, sira mangku, kaya iki sira mangku kaweruhung aji, angganing sapta jati, sapta ngaran pitu, pitu ngaran pitutur, pitu ngaran putus, tus ngaran tas, tas ngaran tatas, ring daging raga sariranta’.









BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan uraian kami diatas dapat disimpulakan bahwa seorang Pemangku atau Pinandhita dalam melaksanakan tugas dan swadharmanya sebagai orang suci dalam hal melayani umat dan memiliki kawenangan untuk nganteb upacara yadnya harus mengetahui gagelarannya sebagai Pemangku. Gagelaran Pemangku seperti yang tersurat dalam Lontar Lingganing Kusumdewa itu meliputi tatacara dalam menyelesaikan urutan kegiatan upacara piodalan di Pura beserta puja saa atau puja mantra yang digunakan.
            Dalam lontar ini sangat jelas sekali mengenai gagelaran Pemangku itu. Urutan atau eedan yang lumbrah disebut dudonan karya dalam piodalan sangat rinci dan sistematis dijelaskan, dengan demikian Pemangku dalam menjalankan swadharmanya bisa dijalankan dengan baik. Selain itu ada sebuah gagelaran Pemangku mengenai kewenangan untuk menggunakan Genta dalam melaksanakan upacara yadnya. Genta tersebut dapat berfungsi sebagai alat atau sarana yang dapat menghantarkan persembahan kepada yang disembah.
            Selain itu ada beberapa larangan Pemangku yang harus ditaatinya dalam melaksanakan kewajibannya.

3.2 Saran
            Dalam hal melaksanakan upacara yadnya seorang Pemangku harus mengindahkan kaidah-kaidah sastra yang tersurat dalam berbagai sastra seperti sastra lontar yang ada di Bali. Seorang Pemangku harus memahami rangkaian upacara piodalan di Puru khususnya Pura yang diemongnya. Selain mampu menguasai urutan pelaksanaannya juga harus mampu menghaturkannya atau nganteb dengan puja saa atau puja mantra yang digunakan.


Daftar Pustaka

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2006. Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Kusumadewa. Denpasar: PUSDOK DISBUD Provinsi Bali.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng. 2003. Alih Aksara Lontar Lingganing Kusumadewa. Singaraja: UPTD Gedong Kirtya Singaraja.
Zoetmulder. 2004. Bahasa Jawa Kuno. Surabaya: Paramita.















2 komentar:

  1. Om Swastyastu,

    Ampure sedurungnyane, mohon izin bertanya, misalkan ada seorang pemangku dan statusnya sebagai entah itu duda, sudah beristri namun diizinkan kawin lagi oleh istri sebelumnya karena hal tertentu dan ingin kawin lagi, jika demikian, maka bagaimana jadinya??

    Mohon pencerahannya

    Suksma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Om Swastyastu,
      Dalam Kusuma Dewa di bagian Tata Kramaning Dadi Pemangku Widhi dikatakan dengan gamblang, "Yan hana Pemangku Widhi puput upakara mawinten, mapahayu agung, madiksa Widhi yan ngalawat istri, cuntaka dadi Pemangku, urung dadi Pemangku.
      Wekasan yan sira siddha mawana wasa setahun mantuk ring umahnia, irika malih ngamimitin sakadi upakara nguni.
      Yan sampun puput maprayascitta, malih wenang dadi Pemangku Widhi."
      Menikahi calon istri kedua adalah juga ngalawat istri. Jadi cuntakanya sama saja dengan ketika menikah pertama.
      Mudah mudahan bisa menjawab pertanyaannya.

      Ampura wantah ngutip kemanten.

      Hapus