UPACARA
PITRA YADNYA
Mata
Kuliah Acara I
Dosen
: Ni Kadek Julia Lingga Dewi, S.Pd.H, M.Pd
Oleh :
1.
Ni
Putu Indrayanti (14.1.1.1.1.111)
2.
Ni
Putu Wiwid Septini (14.1.1.1.1.112)
3.
I
Nyoman Alit (14.1.1.1.1.115)
4.
Putu
Satya Darmatika (14.1.1.1.1.119)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR
2015
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kematian atau
seseorang meninggal, berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia
dikatakan kembali ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang
Maha Esa, sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status
batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya yang
tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Di dalam
perjalanan kematian tersebut diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap
seseorang tidak ada pilih kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga
perbedaan pejabat atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa
pasien, semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan
kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta karmanya.
Jadi mati
adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa,
masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk
memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban
budaya.
Khususnya di
Bali dengan umat yang memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh
masih hidup setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai
upacara yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang
disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal dengan
Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan tingkat dan kedudukan
seseorang yang bernilai “Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
Secara garis
besarnya Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca
Mahabhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan kecintaan
Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam
Pitra.
Kemudian yang
menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat
dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat
selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bias
ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama Hindu di
India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam waktu yang
singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet, hanya perlu Pancaka
tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak
mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada
prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk
menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,
menunggu dewasa (hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari
setahun. Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah
ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan oleh
siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan utama upacara
ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa
(jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah meninggal) harus dipendhem
(dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak menimbulkan sesuatu hal yang tidak
diinginkan, sawa pun dibuatkan upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses
pengembalian Panca Maha Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam
upacara mependhem ini.
PEMBAHASAN
Pengertian
Ngaben dan Pitra Yadnya
Ngaben sering
dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada pula yang
menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin” (menjadikan
abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”, kemudian
mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem P
menjadi B menjadi ngaben. Upacara ngaben merupakan proses pengembalian
unsur Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha
menciptakan adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging),
Akasa (urat-urat), Bayu (tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang
mengartikan lain, ngaben berasal dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben
muncul kata meyanin atau ngabeyanin yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga
disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya
leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah persembahan suci.
Runtutan upacara Pitra Yadnya yaitu :
1. Upacara Atiwa-tiwa.
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
1. Upacara Atiwa-tiwa.
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
Dari runtutan upacara diatas dapat diringkas menjadi empat bagian yaitu:
1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.
1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.
Upacara Atiwa-tiwa memiliki tatanan upacara sebagai berikut:
1. Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).
2. Upacara menghaturkan Saji Pitra
3. Upacara Pepegatan
4. Upacara Pengiriman
5. Upacara Pengrorasan
1. Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).
2. Upacara menghaturkan Saji Pitra
3. Upacara Pepegatan
4. Upacara Pengiriman
5. Upacara Pengrorasan
Makna Upacara Atiwa-tiwa
Asal kata
Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa = terang atau bening atau bersih.
Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan
Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara
pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd
jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan
kesucian Petra menjadi Pitara. Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya
adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2
suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang
Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra
Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra
ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini
kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai
contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:
1. A = kekuatan pada Ati Putih
2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = tulang dada (tulang keris)
5. Ka = pangrengan (telinga)
6. Da = dada
7. Ta = netra (mata)
8. Sa = sebuku-buku (sendi)
9. Wa = ulu hati (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)
2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = tulang dada (tulang keris)
5. Ka = pangrengan (telinga)
6. Da = dada
7. Ta = netra (mata)
8. Sa = sebuku-buku (sendi)
9. Wa = ulu hati (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)
Tubuh manusia
memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2
itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses
pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana.
Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah
atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika
dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi
dijinjing karena masih berstatus Petra.
Filosofis Pengabenan dari gugurnya Rsi
Bhisma
Pengabenan umat Hindu menggunakan
filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma dalam perang Berathayudha
ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya Sang Arjuna. Setelah rebah
bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga ribuan panah. Resi
Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang reinkarnasi menjadi Sri
Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus kekebalan badannya Resmi
Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran sumpahnya Dewi Amba, kemudian
senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya Arjuna menembus seluruh tubuh Resi
Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini adalah:
1.
Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi.
Dari sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma
berasal dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman
atau Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung
filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2.
Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda =
dudonan atau tahapan.
3.
Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4.
Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus
iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur Panca
Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5.
Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma
diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul
indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi
ngulurin indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan sebuah anak panah
(manah = intuisi = keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan).
Ini merupakan dasar filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya
berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya:
pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca
Maha Butha berdasar ketulusan hati.
6.
Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga
mengandung makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7.
Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan
menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala
gemerlap duniawi. Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd
panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh
di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini
diambil filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam
tanpa lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana
pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir
awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka
jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8.
Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna
agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga tirta
pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena,
tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali
kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9.
Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene =
jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10.
Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma tidak menyentuh tanah melainkan
ditunjang oleh panah.
11.
Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.
Upakara Atiwa-tiwa
1.
Upakara Munggah di Kemulan
Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.
2.
Upakara Munggah di Surya
Peras, soda, daksina, tipat kelanan,
canang pesucian
3.
Upakara disamping jenasah
Peras, soda, daksina. Tipat kelanan.
Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh
pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg
(lis gede), bale gading (Kereb Akasa).
4.
Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan
pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.
5.
Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk
pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan
nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.
6.
Upakara Pengentas Bambang
Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak,
soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan,
segehan barak atanding.
7.
Upakara di Sanggah Cucuk
Pejati asoroh, canang payasan, banten
peras tulung sayut.
Jenis-jenis Upacara
Pengabenan
1.
Upacara Pengabenan Mewangun
Semua organ tubuh (sebagai awangun)
memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti
dengan Pengaskaran. Ada dua jenis:
1)
Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang
matah.
2)
Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi
disimbulkan dg adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan.
Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana =
rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an
(simbolis manusia).
2.
Upacara Pengabenan Pranawa
Pengabenan dengan sarana upakaranya
ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata
Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang
dimaksud adalah:
1. Udana (lobang kening), mempengaruhi
baik buruknya pikiran
2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi
baik atau buruk , terobos ke dasendriya
3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri
Kaya, jujur atau tidak
4. Prana (mulut). Dosa bersumber dari
mulut (Tri Mala Paksa)
5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan
mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh
jiwa menjadi loba dan serakah.
7. Naga (lobang lambung) pengaruh
karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi
perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
9. Apana (pantat kemaluan)
pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang
manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga
diikuti dengan upacara pengaskaran.
Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1.
Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2.
Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja.
Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara
pengaskaran.
3.
Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk
pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4.
Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi
pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah
tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan,
ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya
memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5.
Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan
pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra.
Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra
tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata
bambang.
3.
Pengabenan Swastha
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran.
Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang.
Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan,
petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan
peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan
upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan
pengabenan Geni Pranawa. Swasta asal katanya “su” (luwih,
utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti
pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan
swstha terdiri dua jenis:
1.
Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah.
Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah
tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2.
Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang
penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni
hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”.
Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan
penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan
“pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa.
Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama,
tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra
memakai tumpang salu saja.
3.
Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu
yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas
dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4.
Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya
yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.
Tata Cara Nyiramang
Layon
Persiapan sarana
1. Tirta:
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b. Tirta peleletan dari wiku
c. Tirta Pekuluh dari mrajan.
d. Tirta khusus
Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni,
sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak
maka sebelum setahun tidak boleh ngaben
Tirta Sang Hyang Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
Tirta Sang Hyang Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
2. Persiapan sarana pebersihan.
Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin
sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.
3. Persiapan Sarana Penyucian:
a. Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih,
belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran,
semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai
gegaleng.
b. Momon (cincin mirah Windhusara) utk
ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa
hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang
telah meninggalkan jenasah.
c. Beberapa lembar kain putih yang
dirajah huruf Modre (kajang).
d. Simbul penyucian organ tubuh sensitif
yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah:
Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe
(mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
e. Sebatang tebu ratu dan batang kayu
sakti, disurat sbg Panca Datunya.
f. Wewalungan (tulang belulang) yang
dirangkai diletakkan diatas layon.
g. Umbi skapa diiris-iris (usapang pada
setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
h. Daun intaran (simbul ardha Chandra).
Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul Sang Hyang Waruna. Bunga teleng putih (slagan
alis)
i.
Daun delem (untuk telinga) sbg simbul Sang Hyang Kwera.
j.
Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
k. Keramas (santen berisi air dapdap).
Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek
anget-anget. Kapas.
l.
Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
m. Tali penyalin secukupnya
n. Bebek (serbuk cendana) secukupnya.
Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (Sang Hyang Carman).
o. Sebidang daun tunjung berisi kain
hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri
memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2
(anget2) pada kemaluan, simbul Sang Hyang Smara.
p. Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk
mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri
sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak
mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka
Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
q. Dua untai benang tetebus (benang
putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan
Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk
kembali ke Ahamkara.
r.
Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan
kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
s. Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom
dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm,
panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga
tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
t.
Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
u. Kain putih untuk menggulung. Kain
putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
v. Dua lempeng perak dibungkus tiga helai
daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul
Bayu, simbul dari Sang Hyang Bayu.
w. Peti jenasah yang sudah diupacarai,
tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
x. Kain putih berisi sesuratan dedayang
sebagai sarana ulon.
y. Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha
(warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih
oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air
= Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna:
“karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.
4. Persiapan tempat pebersihan yaitu
Pepaga atau pandyusangan atau penusangan.
Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg kawat mas,
perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai.
Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat
tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat
setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok
timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam
sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan
lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante”
(cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki
tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5. Persiapan peti jenasah (simbul
kekuatan maya SHW). Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah)
sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”.
Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia.
6. Upakara ayaban setelah melelet
diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh:
Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya,
Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita,
bayekawonan.
7. Se-ember air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan
kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8. Tata Cara Upacara Ngelelet
a. Mengikuti subha dewasa peleletan,
menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
b. Penurunan layon dari Bale Gede,
dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga
tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih
dahulu.
c. Pada waktu memandikan, layon tidak
langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
d. Wiku nyurat sastra diraga dengan
cincin mirah. (AH = Nabi; Dasaksara = perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu
kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun-ubun.)
e.
Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas
air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om
banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan
sudha nirmalaya namah swaha. Ong Ong angurah candra dimuka ya namah swaha.
f. Keringkan rambut dan muka dengan kain
putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra
lingga (lanang)
g. Setelah keramas barulah busana dibuka
seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
h. Seluruh badan dibilas air biasa ,
gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air
kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira sudaya namah swaha. Om gangga paripurnaya namah swaha.
i. Memakai busana kewikuan. Tirta
Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan
lis degdeg.
j. Wiku memercikkan tirta kekuluh
merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang
sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
k. Sanak keluarga mohon restu ke Sang Hyang Raditya dengan kwangen, posisi tangan di selagan
alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurnaya namah swaha.
Sembahyang:
1. Tangan puyung (utpeti sembah)
1. Tangan puyung (utpeti sembah)
2. Ke Surya (Sang Hyang Siwa Raditya) dengan kewangen: mohon anugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
3. Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama
agar sang lina melepas tresnanya kepada keluarga yang ditinggalkan
Selesai pebersihan (pebersihan hidup),
dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:
a)
Memasang gegaleng di kepala layon
b)
Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
c)
Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku
dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
d)
Memasang sarana Panca Dathu sbb:
Wewalungan di atas dada layon
Cermin di dua mata (simbul teja)
Daun intaran pada kedua alis (ardha
Chandra)
Lempeng waja di gigi (Sang Hyang Bayu)
Bunga celeng putih selagan alis
Malem pada lubang telinga
Daun delem pada daun telinga
Tali itik2 pada dua ibu jari tangan dan kaki
e)
Memasang kwangen:
Penyolasan pd setiap
persendian
Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil-kecilnya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari
kaki. Total membuat 20 tubungan.
Memasang kwangen isi
33 kepeng pd panggul
Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah
berisi 2 kepeng.
Total semua uang
kepeng yang digunakan 225 biji
f)
Penangkeb baga atau purus
g)
Memasang tebu yg sudah ditulis pada tulang punggungnya.
h)
Memasang sepotong kayu sakti yang sudah ditulis pada tulang dada
i)
Memasang momon pada rongga mulut.
j)
Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
k)
Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah
disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang
sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali
lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan
adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka
perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.
l)
Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya
sudah berada diatas tumpang salu.
m)
Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain
11 lapis (kajang solas).
n)
Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga
pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah
simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma
Wasana).
o)
Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
p)
Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).
Tata cara diatas juga merupakan tata cara
untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan untuk ngelelet layon meraga welaka
adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan Sarana Pebersihan
a. Air bersih dan air kumkuman
b. Air keramas, sisig, minyak wangi
c. Berbagai jenis bunga harum
d. Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian
sembahyang lengkap)
i. Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
i. Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
ii. Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
iii. Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah
kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
e. Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f. Tikar
g. Samsan atau sekarura: beras kuning
ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng
dibungkus kain putih.
h. Beberapa jenis tirta:
1. Tirta Penglukatan dan Pebersihan
(untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan jenasah.
2. Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
3. Tirta Pengresikan
4. Tirta sesuhunan keluarga (pura2,
kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalanan lancer.
5. Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang
atma akan menghadap ke kahyangan
6. Tirta pengulung: diperecikkan pada waktu ngulung mayat.
7. Tirta penembak: memandikan jenasah
membersihkan kotoran lahir bathin.
8. Tirta pengentas: tirta pemutus
hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas adalah pisau untuk memutus hubungan.
9. Tirta manah toya ning: adalah petitis
keneh (manah).
10.
Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tidak
ngrebeda.
2. Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku,
hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir. Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana
itu ialah:
1.
Prana (lubang mulut)
2.
Udana (lobang kepala/kening)
3.
Samana (lobang pepusuhan)
4.
Wyana (lobang persendian)
5.
Kurma (lobang mata)
6.
Krkara (lobang hidung)
7.
Dewa Data (lobang bibir)
8.
Dhananya (lobang tenggorokan)
9.
Naga (lobang lambung)
10.
Apana (lobang dubur dan kelamin)
Upacara Pangaskaran
Ngaskara
(askara=penyucian=pebersihan) adalah penyucian roh dari Atma Petra (roh orang
baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika kematian terjadi, prakerti (badan kasar)
terpisah dg atma (roh) (antahkarana sarira) tapi masih diikuti oleh suksma
sarira (alam pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Karenanya roh perlu
dibersihkan dg askara (inisiasi). Oleh krn itu roh yang tidak diaben puluhan
tahun akan berubah jadi Bhuta Cuil (roh yg tidak bersih) yang mengganggu
kehidupan manusia
Pelaksanaan Ngaben
harus diikuti upacara Pengaskaran untuk mengembalikan unsur Panca Maha Butanya
secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus ditingkatkan, dari
Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status Dewa
Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Contoh puja masing-masing status
tersebut adalah:
Status Petra: Om Tigantu Atma Petras ca, Tigantu Atma Petranam, Tigantu Atma Petra,
Sarwa ya namah Swadah.
Status Pitara: Om Jagrantu Pitara Ganem, Jagantu
Pitara Ganem, Jagrantu Pitarah, Sarwa ya namah Swadah
Status Hyang Pitara: Ong Ayantu Pitara Dewa, Ayantu
cariman pujam, Ayantu I A Se Te I, Siprathisto siprathisto, ya namah swadah, Ong nama wah pitaro suksma ya namah swadah. Ong namo wah pitara turya ya namah swadah. Ong nama wah pitaro ktan, ya namah swadah.
Pengabenan
sepatutnya disertakan “Pengaskaran” (Samskara Atma Preta) baik Utama, Madya,
Nista. Prinsipnya Petra itu harus diproses agar menjadi sifat pitara, kemudian
disucikan lagi menjadi Dewa Pitara, disucikan lagi menjadi Hyang Pitara (Betara
Hyang), agar bias distanakan di Pemerajan (Hyang Kemulan). Jika tidak
melaksanakan Pengaskaran berarti belum sempurna penyucian terhadap Sang Petra,
hal inilah yang dapat merusak jagat.
Upakara dasar
Pengaskaran adalah sebagai berikut:
Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan, Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan, dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit, Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan Ketupang.
Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan, Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan, dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit, Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan Ketupang.
Sarana Pengaskaran
- Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan,
Bale Piasan bisa digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
- Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
- Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati,
peras, pengambean, sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan,
pesucian, klungah nyuh gading (dikasturi).
- Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh,
gelar sanga, segehan cacahan.
- Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel
kurenan, sesantun, suci, banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten
pengadang-ngadang, bubuh pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur
warna, caru beten kolong sawa, diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan
(gunting, blayag, tunjung putih), pemanahan, caru siap brumbun (caru
tapakan sawa).
- Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala,
lis bale gading, pengulapan.
- Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci
asoroh, pejati, peras, pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.
Makna
Berbagai Simbol Pengaskaran
1.
Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk
memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu
ke Siwa Merta.
2.
Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong
atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk
mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
3.
Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar
terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
4.
Pengawak Adegan: simbul dari Panca Maha Butha. Wakul simbul pertiwi, sampian simbul akasa,
kwangen simbul apah, tongkat adegan simbul bayu, prerai simbul teja.
5.
Tiga Sampir: untuk memendak toya pemanah dan memendak daun beringin. Tiga sampir sebagai
simbul tiga sosok apsari: Widyadari Nilotama, Widyadari Supraba, Widyadari Ken
Sulasih. Ketiganya utusan Dewata untuk membawakan tirtha pawitra sebagai tirta
penglukatan.
6.
Baju antakesuma: sebagai simbul kekuatan pelepasan dalam proses pengembalian Panca Maha
Butanya kepada sumbernya dalam arti mengandung konsep Moksartham Atmanam.
7.
Payung Pagut: untuk mendak toya pemanah atau mohon daun beringin, sebagai simbul Bale
Salunglung yaitu stana para Dewata mengadakan peparuman untuk memberikan
keputusan kepada setiap mahluk di dunia yang Beliau kehendaki sesuai dengan
kodratnya.
8.
Puspa Lingga: pada upacara pemukuran yang menjadi obyek penyucian adalah badan puspa
lingga. Setelah Panca Maha Butha disucikan, kemudian distanakan di pengawak
adegan. Tapi setelah menjadi puspa lingga, Panca Maha Buta menjadi Panca Tan
Matra dan dibuatkan simbul sebagai berikut:
a.
Tangkai sekah dari bambu buluh gading sbg simbul Ganda Tan Matra
b.
Daun beringin sebagai simbul Rasa Tan Matra
c.
Jemeknya (mirahnya) sebagai simbul Rupa Tan Matra
d.
Menurnya sebagai simbul Sabda Tan Matra
e.
Namenya sebagai simbul Sparsa Tan Matra.
9.
Kwangen Pengerekan (ngereka). Kwangen penyolasan untuk mengisi persendian berisi 225 uang kepeng
(jumlahnya 9 artinya pranawa/pralina). Gegaleng 250 dijumlah menjadi 7 artinya
sebagai simbul sapta sunia.
10.
Daun beringin. Sang Hyang Widhi pada waktu menciptakan se-isi alam bermanifestasi menjadi Sang Hyang Prajapati. Sang Hyang Prajapati bermanifestasi menjadi Sang Hyang Kalpa Wrksa dengan pangkal pohonnya
berada di alam sorga, sedang ujungnya berada di alam semesta (Pohon Beringin Sunya Mertha). Kalpa Wrksa ini bermanifestasi ke alam semesta sebagai:
a.
Ranting (bangsingnya) menjadi sarwa denawa, danuja dan sarwa raksasa
b.
Daunnya bermanifestasi menjadi kekuatan Panca Maha Butha
c.
Batang pohon bermanifestasi menjadi kekuatan urip dari semua mahluk
d.
Cabangnya menjadi karma dari semua mahluk dunia
e.
Bunganya menjadi sarwa dewa, sarwa dewata sbg kekuatan Betara di alam ini.
f.
Buahnya menjadi hukum Rta-nya Sang Hyang Widhi.
g.
Setetes air yang gemerlapan di ujung daunnya sbg percikan atma ke
alam semesta ini (Lontar Praja Pati Tattwa).
11.
Kekecer: sarananya: tangkai bambU, seuntai padi, bulu ayam, bulu angsa, kain
sutra. Digunakan pd waktu jenasah diberangkatkan ke setra , kececer ditancapkan
setiap 9 meter sambil menghaturkan banten peras jalan. Sebagai pembuka jalan
dan mengandung konsep Moksrtam Atmanam. Padi = pada= padang = galang apadang.
Bulu angsa = angesah artinya telahpergi. Bulu ayam = simbul panca maha butha.
Kain sutra = panca maha butanya telah disucikan shg berwujud lebih halus.
Upacara
Pangaskaran
Upacara pengaskaran (Inisiasi)
memisahkan pengaruh suksma sarira terhadap antah karana sarira (roh). Inisiasi
dilakukan terhadap adegan (simbul atman atau roh atau purusa atau antah karana
sarira) dengan melaksanakan dwijati terhadap roh yang meninggal, bukan
jasadnya. Dwijati ditandai dengan acara pemetikan adegan.
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:
1. Ngeringkes kajang, digulung oleh
pemangku dg penglingsir dan keluarga. Letakkan kembali di Bale Pengajuman.
2. Sang Pemuput melakukan:
a. Ngarga Tirta
b. Surya Sewana
c. Ngangge Giri Pati Stawa
d. Ngangge Brahma Stawa.
3. Untuk pengabenan welaka tingkat madya
dan kanista boleh menggunakan tirta sudah puput (wiweka jnana).
4. Mujanin pedudusan selengkapnya
5. Tirta yang dibuat Sang Pemuput:
a. Manah toya (jika belum manah toya
ditempat toya). Membuat tirta pemanahan (manah toya) tiga kali pada tirta jun (air klebutan) dengan panah dan bunga teratai.
b. tirta pareresik, tirta pengajum
kajang, tirta pengringkes kajang, Tirta pasupati kajang dan pasupati adegan.
c. tirta penembak. Air (tirta) ini dicari
oleh keluarga pada tengah malam di air klebutan.
d. tirta pebersihan, tirta saji, tirta
pemerasan, tirta pengentas, tirta pralina, tirta penyaeb, utik gni pemrelina
(Korek api dan kayu api khusus dipakai nyulut api pertama di pemuhunan).
6. Memercikkan tirta ke kajang dan
adegan.
7. Ngutpeti Dewa Damar Kurung sampai
selesai
8. Ngutpeti Butha Petra
9. Nguweci Desa, lalu mesirat keluhur
dengan astra Sriyambhawantu.
10.
Puja ngumpulang Dewa termasuk Hyang Prajapati
a.
Aturin Dewa Pratista
b.
Aturin udanjali dan pedudusan selengkapnya
11. Puja “Banten Penebusan” sampai selesai
pemuktiannya
12. “Lukat Sang Atma Banda”, ngeseng rebegeding atma petra
dening puja “Merta Karani”
13. Angesahakna sang atma petra
saking banten krayunan, surupakna maring adegan, didasari dengan puja
pengupeti atmapetra, dan rangsukakna mantra “Unapa Bhiseka”
selanjutnya disambung dengan Puja Ayantu Atma Petra paweha “Diyus
Kamaligi”, lanjut Puja Tigantu, Tisthantu, lalu henengakna
sang atma.
14. Lanjut “memuja keluhur”,
ngaturang “puja pejaya-jaya” kehadapan Bethara dengan “Pradnya
Paramitha”.
15. Nama Pengaksaran. Tuduhan sang Atma dening idep, muspa
ring Betara Surya, Sang Hyang Prajapati, Betara Guru, dan
kehadapan Betara Siwa Dharma untuk memohon penugrahan sebagai sisya
pengaskaran serta memohon Nama Pengaskaran.
16. Penapakan: Memanggil sang atma untuk
dibersihkan. Berikan wangsuh pada nilah, nyuwun kehadapan Betara Siwa Dharma
kasinanggeh Dang Guru, kemudian ditapak dengan penuntun Surya (Sapta Ongkara)
tidak dengan kaki sang pemuput, hanya dengan kekuatan jnana.
17. Mepetik. Ambil “pengerebodan” tiwakin kepada
adegannya, kemudian mengambil gunting, bunga tunjung putih, lalang seset
mingmang (panca mustika) idep megunting rambutnya secara panca muka,
kenyataannya secara simbul megunting ampyagnya sebanyak 5 kali. Bekas
guntingannya dimasukkan kedalam blayag dan diisi kwangen. Kemudian diberikan eteh-eteh pedudusan selengkapnya.
18. Kemudian dautaknya sang atma maserana bunga kalpika, melaksanaka Puja
Pengesengan, agar menjadi ongkara sungsang nunggal kelawan sang pemuput
mengaran ongkara madumuka. Seolah-olah sudah menunggal sang Sisya kelawan
dangguru. Kemudian berikan tirta
penglukatan, pebersihan
dan puja pejaya-jaya, puja Pitra Byah, nama pitra, rangsukan
mantra ke jero, jaya-jaya dengan Mantra
Swaha Swada, pengidepnia sudah disaksikan oleh para leluhurnya yang
telah berstana di pisang jati , selanjutnya mesirat di pisang jati.
19. Kemudian nguncarang Puja Gangjantu,
Jagrantu, dan nguncarang Puja Dewa Pitara Pratistha, pangidepnia
sang pemuput, disuruh Dewa Pitara mengingat sanak keluarganya, disinilah baru
disertakan membaca Mpu Plutuk Aben dan Pustaka Adhi Parwa.
20. Selanjutnya Sang Pemuput mesirat
keluhur, Ngaturang Dewa Buktem, serta Muktiang ke Dewa,
kemudian mujanin Saji Dewa Tarpana, pemuktian saji kepada Dewa Pitara.
21. Selanjutnya mujanin banten bebangkit
(kalau ada). Kalau tidak ada, hanya banten pengadang-ngadangnya saja,
sampai selesai pemuktian.
22. Nguncarang Puja Pemerelina Butha.
23. Malih mesirat keluhur, jaya-jaya
ring Betara ngangge Puja Indrani Kesama Jagatnatha.
24. Selanjutnya keluarga dituntun
pengubaktiannya kehadapan:
a) Sang Hyang
Surya
b) Sang Hyang
Prajapati
c) Sang Hyang
Siwa Dharma
d) Dewa Pitara
25. Terakhir Sang Pemuput memberikan pewisik
kpd Dewa Pitara. Dilanjutkan Puja Pengelepas Dewa Pitara agar
kembali ke Sangkan Paraning Dumadi. Kalau upacara pengabenannya memakai upacara
matetangi, maka tidak memakai puja pengelepas, hanya memakai puja pesimpen.
1)
Hanya Pandita yang sudah medwijati dan mapulanglingga yang diperkenankan
muput pengaskaran. Pinandita ekajati tidak wenang ngaskara. Apabila dilanggar
maka „nyumuka”.
2)
Setelah pengaskaran dilanjutkan dengan „pejayan-jayan” dan pebaktian
seluruh keluarga.
3)
Dilanjutkan Pemerasan dan tarpana saji, dimana adegan dan kajang
mengelilingi banten pemerasan diikuti oleh sanak keluarga semua termasuk cucu
dan buyut.
UPACARA MEBUMI SUDHA
Upacara pembersihan
dan penyucian ditempat pengesengan sawa berdasar nista, madya, utama. Tujuannya menyucikan tempat pengesengan dengan tirta Kahyangan Tiga, tirta
Kawitan, Tirta Pengentas. Tirta ini tidak kena kecemeran.
Dilakukan pada semua jenis pengabenan.
UPACARA PEMRELINA
DAN MEWANGUN SEKAR TUNGGAL DI SETRA.
Setelah adegan atau
jenasah selesai dibakar, arangnya ditutupi pelepah
daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah disurat bergambar
“Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Kmudian arang tulang diambil satu persatu menggunakan sepit atau cincin permata mirah Windhusara, diletakkan dalam kukusan. Dibersihkan lagi dengan air kumkuman. Selanjutnya dilakukan “pangerekan” diatas “Panca Layuan” serta disucikan
lagi dengan eteh2 pesucian. Kemudian arang tadi digilas diatas sebuah sesenden, kemudian dibungkus menjadi sekah tunggal.
Makna berbagai
uparengga yang
digunakan adalah:
digunakan adalah:
1.
Penutup pelepah daun pinang: makna kembalinya ke
unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya nanti tergantung buah karmanya.
2.
Toya Pemanah yang dipakai: bukan toya penembak.
3.
Arang diambil dengan cincin mirah: sarana pengentas
agar unsur Panca Maha Buthanya cepat kembali ke sumbernya Sang Pencipta.
Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa.
4.
Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada. Setelah
selesai. Wiku melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut. Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di
Pengesengan dengan arah prasawya (kekiri) kemudian
baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk memohon restu.
SAWA MEKINGSAN DI
GENI DAN MEKINGSAN DI PERTIWI (MEPENDEM).
Perlu menggunakan tirta Pekingsan, karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas pekingsan maka tidak diperkenankan ngaben sebelum setahun dipendem (Lontar Yama Purana Tatwa).
Perlu menggunakan tirta Pekingsan, karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas pekingsan maka tidak diperkenankan ngaben sebelum setahun dipendem (Lontar Yama Purana Tatwa).
UPACARA PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN
Mukur asal katanya
Bhuk (alam bawah), Ur atau urdah (swah loka). Mukur adalah proses penyucian lanjutan
dari unsur-unsur Panca Mahabuta agar manjadi status
Dewa untuk dikembalikan kealam kedewataan shg disebut Dewa Pitara dan
pada puncak kesuciannya disebut Hyang Pitara.
Uperengga pada Damar Kurung mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari) sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang ke sumbernya. Ini terlihat dari puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon kepada Kaki Badra Lim (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke sumbernya.
Uperengga pada Damar Kurung mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari) sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang ke sumbernya. Ini terlihat dari puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon kepada Kaki Badra Lim (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke sumbernya.
UPACARA PENGLIWETAN
Upacara pemukuran
disertai upacara Pangliwetan. Pengeliwetan mengandung
maksud dan tujuan Pengeluweran yaitu mengembalikan unsur2 Panca Maha Butha,
unsur Roh dan unsur atmanya kealam masing-masing yaitu: unsur Panca Maha Buthanya ke Prakerthi Tattwa (kekuatan acetana), sedangkan unsur rokhnya kembali ke Purusa Tattwa dan unsur
atmanya kembali ke alam Parana Nirbana (kealam moksa). (lontar Tattwa Jnana). Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak
11 kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur
dengan menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca
Maha Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan
unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108 buah sebagai simbul
titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.
UPACARA NILAPATI
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.
UPACARA NILAPATI
Upacara Nilapati adalah upacara ngeluwuirang Hyang Pitara atau Dewa
Hyang setelah pemukuran atau penyekahan. Nilapati asal katanya Nila (hitam)
yaitu Wisnu sebagai simbul kehidupan setelah kematian. Upacara
Nilapati adalah suatu upacara untuk menstanakan Dewa
yang berada dalam alam kehidupan yang tidak nyata.
INDIK PEDEWASAN
PENGABENAN
Ada hari (dina) yang biasanya dihindari dalam pengambilan dewasa
atiwa-tiwa atau pengabenan. Pelanggaran terhadap pengambilan dewasa dipercaya
akan menimbulkan hal-hal yang fatal dalam kehidupan sosial. Beberapa hari yang
dihindari adalah.
Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan
dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.
Semut Sedulur. Juga tidak boleh. Pahalanya tidak
putus-putusnya ada
penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus-putusnya
menemukan kesusahan.
penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus-putusnya
menemukan kesusahan.
Catus Pemanggawan. Pada perhitungan hari ini tidak
diperkenankan penguburan
atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.
Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.
atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.
Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.
Hari Purnama, Tilem,
Piodalan Kahyangan Jagat. Tidak diperkenankan karena hal ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan urungan kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga).
Pedewasan Sejeroning
Pitung Rahina. Kurun waktu 7 hari dari meninggalnya, dapat dipakai salah satu harinya namun tetap melihat larangan-larangan hari seperti diatas, ternyata dalam kurun waktu 7 hari tersebut ada hari yang dilarang asal
tidak Was Penganten, masih bias memakai hari yang lain berkisar dalam tujuh hari tersebut. Tapi kalau larangan harinya lebih dari satu dan kepepet, carikan pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut, (Lontar Aji
Janantaka).
Jika melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.
Jika melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.
UPACARA NGAJUM
KAJANG
Ngajum = memuji. Ngajum dalam kaitan ngaben adalah menghias atman orang
yang akan diaben. Panjang kajang 1,5 – 2 meter (sedepa astamusti), ditulis
dengan aksara suci (Modre). Aksara kajang terdiri dari Sodasaksara yaitu gabungan Ongkara, dwiaksara, triaksara serta dasaksara. Kajang adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju ke alam sorga. Oleh sebab itu aksara-aksara modre dalam kajang memiliki kaitan
erat dengan tattwa-tattwa agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran Kemoksan yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta.
Ngajum kajang dilakukan sehari sebelum pembakaran. Sarana yang digunakan untuk ngajum
kajang adalah sebagai berikut:
kajang adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan tempat untuk ngajum kajang berupa bale
atau meja.
2.
Kain putih sebagai dasar pengajuman kajang
3.
Selembar kain cepuk
4.
Kajang klasa
5.
Kajang pemijilan
6.
Kajang sari
7.
Ukur/wukur (uang kepeng yg dirangkai sbg manusia
disebut ukur Deling, ukur balung menyerupai tulang). Wukur adalah tempat pekoleman atma.
8.
Jarum sekitar 3 lusin (tergantung banyaknya keluarga yang ikut)
9.
Kwangen
10. Sekar Ura
11. Rurub Sinom
12. Rantasan
13. Minyak wangi
BEBERAPA JENIS
KAJANG
1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih
untuk alas kajang utama atau kajang pemijilan.
2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama:
kajang yang dibuat sulinggih, ditaruh paling atas.
Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau
keluarga terdekat. Ditaruh dibawah kajang utama.
Kajang menurut pemakainya (soroh).
1. Kajang Brahmana : untuk
sulinggih
2. Kajang Kesatria: untuk raja-raja
3. Kajang Jaba: untuk walaka (diluar
untuk pandita dan raja)
4. Kajang soroh: atau kajang sesuai
kawitan masing-masing. Kajang ini selanjutnya menjadi Kajang Utama.
Urutan penempatan
ukur, kajang, cepuk dan kain putih
1. Kasa putih (paling bawah)
2. Kasa putih
3. Kasa putih
4. Kain cepuk
5. Kajang Klasa
6. Kajang pemijilan (paling atas)
7. Ukur (diatas kajang pemijilan)
UPAKARA NGAJUM
KAJANG
1. Ayaban tumpeng lima
2. Sesayut alit
3. Suci
4. Daksina gede (satu)
5. Banten sorohan
6. Banten pemelaspas
7. Sesayut pasupati
8. Pesucian
TATA CARA UPACARA
NGAJUM KAJANG DAN PEMERASAN
1.
Pengabenan Sawa Prateka (ada jenasah) ditaruh
dibersihkan dimandikan ditaruh di semanggen. Sawa Prateka (tanpa
jenasah), dilakukan upacara ngendag dan ngangkid. Jika tidak diketahui kuburnya dilakukan upacara ngulapin.
2.
Sebelum pengajuman, lakukan upacara pengulapan
dg sanggah Urip (tempat roh yang dipanggil akan diaben). Sanggah urip
dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh pada adegan, ditaruh disebelah jenasah
yang akan diaben di semanggen.
3.
Ngajum kajang di natar mrajan disaksikan leluhur dan
Dewa Pitara, dipimpin sulinggih. Kajang dan adegan tidak kena kesebelan.
Adegan adalah simbul atma dan ”atma tan kekeng kesebelan karena
atma percikan dari Brahman.
4.
Kajang adalah selimut kebesaran dari atma yang akan
dibawa ke sorga.
5.
Adegan dan kajang bukan bagian dari raga sarira (badan
kasar/prakerti) yang kena kesebelan, melainkan bagian dr
Antah Karana Sarira (purusa)yang bebas
dari kesebelan.
dari kesebelan.
6.
Pemerasan dilakukan di luar merajan, karena ada upacara
simbolis sang atma turun ke alam manusia.
7.
Setelah kajang selesai di ajum maka Sulinggih mulai memuja
pasupati kajang, kemudian dilanjutkan ngaskara dan upacara
mepetik.
8.
Dilanjutkan dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh
keluarga sebatas buyut. Adegan dan kajang diarak mengelilingi upakara
pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun ke dunia manusia bertemu dg keluarga.
9.
Selanjutnya adegan dan kajang diletakkan diatas
peti jenasah.
10.
Menunggu pemberangkatan ka setra.
URUTAN JALANNYA
NGAJUM KAJANG
1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg
kasur kecil, tikar dan bantal. Tikar dirajah Padma ditengah
padma ditulis aksara Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda.
Diatas bale2 diisi leluhur. Disamping bale ditaruh banten: ayaban
tumpeng 5, sesayut alit, suci, daksina gde, sorohan, banten
pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut pasupati, pesucian.
2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain
putih, selembar kain cepuk, kajang klasa, kajang
pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen, sekar ura, rurub
sinom, rantasan, minyak wangi.
3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar
sbg alas kajang sekaligus sbg pembungkus
4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain
cepuk ditaruh Kajang Klasa
5. Diatasnya kajang sari (bila ada)
(kajang dari dadia atau dari teman-teman)
6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari
sulinggih). Kajang Pemijilan ini kajang inti (kajang
utama) yang akan di Ajum.
7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis
bolong yang berisi dua huruf) menghadap keatas. Untuk
wanita Kerep (empat huruf) menghadap keatas. Membuat ukur harus
memperhatikan Seleh dan Kerep.
8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum
pada kajang melalui lubang uang kepeng sehingga ukur
menyatu dg kajang seperti dijarit. Diawali oleh penglingsir
(pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala. Yang lebih muda dari
yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
9. Dilanjutkan pebersihan dg air
kumkuman, keramas, sisig, minyak wangi, boreh miik
seperti memandikan orang meninggal. Lanjut menghias kepala ukur dengan bunga.
10. Memasang kwangen seperti upacara
nyiramang layon, di kepala 1, ulu hati 1, kedua siku, bahu, pergelangan
tangan, pangkal paha, lutut, pergelangan kaki.
11. Ditabur sekar rura diatas ukur,
semprot minyak wangi. (sekar rura: macam-macam bunga, kembang rampe, boreh miyik).
12. Memasang rurub sinom (dari blangsah
pinang) sebanyak 3 buah (kepala, badan, kaki).
13. Menaruh rantasan diatasnya dan canang
sari diatas rantasan.
14. Pemangku memercikkan tirta
penglukatan, pebersihan, prayascita.
15. Melaspas kajang.
16. Sulinggih memberi tirta Pengajuman
(tirta pasupati kajang) dan Tirta Saji. Bersamaan dengan
pemujaan sulinggih membuat tirta-tirta: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,tirta
penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
17. Setelah ngetisang tirta pengajuman,
tirta pasupati kajang, rurub sinom dan rantasan diambil
sementara lalu dilanjutkan ngeringkes kajang. Kain putih tiga lembar paling
bawah sebagai pembungkus. Sama seperti ngeringkes jenasah, laki: kain
pembungkus sisi kananmenutup, wanita: pembungkus sisi kiri
menutup. Pembungkus diikat dengan benang tukelan dan tali rotan di tiga
tempat, kepala, dada dan kaki. Ketiga ikatan itu disambung dengan
benang memanjang. Rurub sinom kembali dipasang.
18. Setelah Ngaskara Adegan selesai,
dilanjutkan upacara pemerasan. Kajang dan adegan
dipanggul mengelilingi banten pemerasan sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak
keluarga.
19. Kajang ditaruh diatas peti jenasah di
Bale Semanggen. Nantinya akan dibawa ke setra untuk
dibakar.
Pelebon
Pagi-pagi sebelum berangkat ke
kuburan dilakukan mlaspas bade (wadah), petulangan, dan bale gumi. Setelah
mlaspas selesai lalu bersiap-siap
berangkat ke kuburan. Bila karya ngaben
ngwangun, maka banten mlaspas dilengkapi
dengan pula gembal bebangkit. Jadi,
yang berhak muput banten pemlaspas adalah
Sulinggih. Banten pmlaspas ini
digunakan mlaspas bade dan lembu. Misalnya, pelebon di sebuah Griya, yang muput
pemereman dan petulangan adalah Pedanda dengan banten dilengkapi pula gembal
bebangkit sedangkan bagi peniring di-puput
oleh Brahmana walaka dan banten-nya tanpa pula gembal bebangkit.
Setelah upacara mlaspas wadah ini, maka pertama-tama
yang diturunkan adalah peralatan upacara, seperti ganjaran, jemek, tiga sampir, tigasan, canang sari. Lalu disusul
dengan adegan, angenan, sok bekel,
pengrekan, sampai dengan kajang setelah
itu baru tetukon, lis pering, panjang
ilang, dan lain-lain. Kemudian di depan sawa
berjejer tah bakang-bakang, cegceg, dan sekarura.
Terakhir baru sawa diturunkan
perlahan-lahan. Baru turun sawa dismabut
dengan segehan agung dengan caru penghalang dewasa. Dengan menginjak
segehan agung ini sawa digotong ke luar dengan upacara
berjalan terlebih dahulu. Berikutnya sawa
dinaikkan ke wadah atau bade. Turut pula dinaikkan kajang, pengrekaan, dan angenan. Setelah siap bade diberangkatkan. Cegceg dipasang terlebih dahulu di
sepanjang jalan. Orang yang memanjang
menaburkan sekarura. Sawa yang ada dalam bade dituntun oleh pretisentananya.
Peralatan upacara hendaknya
berjalan terlebih dahulu. Tetabuhan, seperti angklung, gong denan tabuh
bebatelan mengiringi bade sedangkan
gender dan wayang ada pada bade,
digelar berjejer melakonkan Bima Swarga. Setiap sampai di simpang empat bade diputar tiga kali maprasawya sebagai simbolik untuk
kembali ke aslanya (pralina).
Demikian pula setelah sampai di kuburan. Setelah berhenti di depan petulangan sawa diturunkan. Lebih dulu
diturunkan upakaranya seperti pangrekaan, kajang dan angenang. Petulangan disapu dengan
rambut pretisentananya sebagai tanda
hormat dan cinta yang mendalam. Setelah itu sawa
perlahan-lahan diangkat dan
diletakkan di petulangan itu. Tah mebakang-bakang dipakai membuka bandusa dan pembungkus sawa itu. Tinggalkan pakaian yang putih
saja. Monmon yang ada di mulutnya
diambil. Sawa dapat dibungkus lagi
dengan kain yang ikut dibakar. Lalu disertakan kain baru untuk segera
dipercikkan tirtha. Pertama diperciki
tirtha penembak, tirtha
panglukatan/pabersihan. Terakhir barulah tirtha pangentas, tirtha di kawitan dan merajan. Setelah selesai diperciki tirtha, sawa ditutup dengan pangrekan,
kajang, gagatuk, ponjem, dan angenang.
Di bawah sawa diletakkan adegan, tatukon, panjang ilang, dan nasi angkeb.
Sawa kemudian dibakar dengan cittagni dan sekarang memakai kompor bukan lagi kayu
api. Begitu api dinyalakan iber-iber dilepaskan.
Setelah sawa terbakar habis, maka
dihaturkan ajengan geblagan dan api
dimatikan dengan air penyeheb.
Mulaialah nyupit galih dan arang
kemudian ditaruh dalam senden disiram
air kumkuman dan dihaluskan di sebuah bale pering. Setelah halus dimasukkan ke dalam klungah nyuh gading yan telah dikasturi dan kemudian dibungkus
dengan kain putih dibuatkan prerai dari
kwangen dan dihias dengan bunga.
Bagian tulang yang kasar di-reka dengan
kwangen setelah itu bersama sekah diletakkan dalam bokor dan diletakkan di jempana yang berfungsi sebagai tumpeng salu. Upacara nganyut dapat dilakukan pada hari itu
juga yang disebut tandang mantra dengan
tujuan untuk mendapat peleburan di laut. Selesai nganyut dilanjutkan dengan mapegat
yang dilaksanakan di pintu masuk pekarangan rumah sebagai pemutusan
hubungan duniawi dengan mereka yang dilepas.
Makelud
Upacara ini dilakukan tiga hari
setelah upacara pembakaran dengan melakukan upacara pecaruan di merajan
dengan caru ayam brumbun dengan penyepuhan
asoroh, sedangkan di halaman rumah dengan caru ayam brumbun dan
bebek belang kalung serta di bale tempat meletakkan jenazah.
Selain kajang yang nunas di
Griya, ada pula yang disebut dengan kajang kawitan. Kajang yang merupakan kulit dan selimut/kemul mulai banyak dicari oleh orang Bali saat mereka mulai mencari
dari mana asalnya, soroh apa, sehingga saat upacara ngaben, kajang yang umum ada berdasarkan lontar yan ditadisikan
secara turun temurun telah membuat masyarakat Hindu di Bali akan mencari kawitan dan kajang yang dibuatkan pula disesuaikan dengan kawitannya berasal dari mana.
Seperti halnya sangsangan yang dipasangkan di kedua
sisi wadah akan disisapkan pula oleh
produsen sehingga bila dalam ngaben
ngiring yang diikuti banyak pengiring akan terlihat hal yang sama sebagai
sebuah produk massal kecuali si konsumen menambhakannya dengan kain (kamen), dan selendang yang serasi dalam
tata warna sehingga ada sesenggakan Bali
mengatakan buka awak penyangsangan
yang artinya apa saja busana yang dikenakan oleh seseorang akan pantas dan
menarik sesuai bentuk tubuhnya.
Dalam mengusung jenazah ke patunon kini memakai teknologi dengan
menepatkan roda di bawahnya. Hal ini akan memudahkan yang akan ngarap sawa tersebut. Hanya semangat
bersama sebagai rasa solidaritas dan perasaan briak-briuk tidak akan tercipta kalau mengusung sawa dengan adanya roda, walaupun itu
memudahkan dalam perjalanan menuju patunon,
tetapi ada sesuatu yang hilang, yaitu rasa kebersamaan sesama karma banjar.
Pada era globalisasi ini
perubahan pekerjaan masyarakat Bali turut menentukan dalam melaksanakan
kegiatan upacara. Misalnya, upacara ngaben
dengan memakai wadah yang berisi
roda di bawahnya itu disebabkan karena masyarakat Bali sekarang sudah tidak
bisa metegenan. Kalau masih dalam
masyarakat agraris sebuah keluarga termasuk ayah dan anak-anaknya akan
melakukan kegiatan metegenan, baik
itu untuk mengangkut hasil panen berupa padi maupun kegiatan lainnya. Kalau
sekarang dengan bekerja di sektor public apalagi di daerah industry/pariwisata,
maka akan pula membawa perubahan dalam hal melakukan pekerjaan. Dengan
demikian, alternatifnya adalah memakia roda. Beliau menambhakan memakai roda
untuk alas sawa menuju ke setra bukan merupakan sebuah aktivitas
yang baru karena di dalam Mahabarata yaitu pada saat kematian Panca Kumara pun
jenazah kelima puta pandawa itu dibawa dengan kereta hanya ditarik oleh kuda.
Sekarang sawa memakai roda tanpa
kuda, tetapi ada beberapa orang di samping-sampingnya.
Pola-pola konsumsi yang telah
melanda masyarakat Bali tidak lepas dari gaya hidup dan budaya konsumen kini
masyarakat meninginkan kepraktisan dalam menyiasati waktu agar bekerja di
sektor public tetap dapat dilakukan dan uoacara ngaben tatap dapat dilaksanakan, maka keefektivan dan keefisenan
dilakukan dengan jalan membeli pada sebuah Griya terutama kepada Griya yang
menjadi Siwa-nya karena keterikatan pada
siwa menyebabkan pembelian komoditas ngaben tetao dilakukan dengan siwa-nya karena siwa juga akan lunga untuk
muput upacara ngaben sisya-nya yang membeli.
Gaya hidup yang mengarah kepada
budaya instan telah pula menjadi pemicu komodifikasi itu terjadi karena
ternyata seorang karma dalam
melaksanakan ritual ingin hidup yang praktis atau instan tingal menyerahkan
uang, maka barang sudah didapatkan.
Chaney (1996:8) menyatakan bahwa
“perubahan pola distribusi menuju konsumsi telah dialami masyarakat Indonesia
mutakhir sejalan dengan sejarah globalisasi
ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan
menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya semacam shopping mall, industry waktu
luang, industry mode atau fashion, industi kecantikan, industry kuliner,
industry nasihat, industry gossip, kawasan huni mewah, apartemen, real estate,
gencarnya iklan barang-barang super mewah, dan liburan wisata ke luar negeri,
dan tentu saja serbuan gaya hidup lewat industry iklan dan televise yang sudah
sampai ke ruang kita yang paling pribadi, dan bahkan mungkin ke relung-relung
jiwa kita yang paling dalam.”
Di tengah gaya hidup kosumerisme
di kalangan sebagian masyarakat, mencuat pula gaya hidup alternative, gerakan
untuk kembali ke alam, ke hal-hal yang diangap bersahaja, semacam kerinduan
akan kampong halaman atau surga yang hilang, dan gaya hidup spiritualisme baru
yang seakan-akan menjadi antithesis dari glamour
fashion yang sekarang sudah tidak malu-malu lagi dipamerkan oleh kaum
borjuas Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia. Siapakah yang tidak menjadi bangga
menjadi orang kaya dan takwa. Lagi pula buat apa susah-susah menjadi kaya dan
hidup sederhana, kalau tidak bisa merasakan enaknya menjadi orang kaya. Mungkin
logikanya begitu sederhana. Rupanya nafsu besar terpendam untuk meraih kekayaan
dan kekayaan sebagai lambang prestise dan prestasi itupun kini harus
dinyatakan, dirayakan, dan diarak di ruang public (Chaney, 1996:6).
Pada saat kesuksesan justru
menguat ke arah yang bersifat materialistic, semangat spiritualisme baru pun
ternyata mengalami polesan lebih canggih lagi dalam budaya konsumen. Chaney
melihat misalnya ketika kebangkitan agama mengambang di level simbolik,
symbol-simbol, tanda-tanda, dan ikon yang diyakini sebagai artefak ketakwaan
seseorang justu telah terkomodifikasi menjadi obek konsumsi. Hari-hari
keagamaan pun bisa menjadi semacam “festival konsumsi”. Semangat pergantian
mode dan fashion dalam tata busana penganut suatu agama tertentu justu
dimanfaatkan oleh industi iklan dan televisi untuk keuntungan bisnis semata. Di
sini, kebangkitan semangat keagamaan di kalangan tertentu juga harus kkita
pahami sebagai kebangkitan gaya hidup.
Chaney (1996 :10) melihat dalam
hal ini tengah ditanamkan semacam idiologi samar-samar terbentuk beragama,
tetapi tetap trendi atau biar religious, tetapi tetap trendi atau biar
religious, tetapi tetap modis. Rupanya para pemikir keagamaan mutakhir harus
mulai melihat bahwa sensibilitas keagamaan pun mulai mengalami komodifikasi
(menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Dia mengira gejala tumbuhnya
pusat-pusat penyemaian dan pemekaran gaya hidup yang mulai marak sejak 1990-an
tampaknya pada awal 2000-an ini sudah tidak bisa dianggap sepele lagi. Gejaola
yang demikian serius dan kompleks sudah tertentu memerlukan pengamatan dan
kajian yang sistematis, ketat, dan mendalam.
Gaya hidup dianggap merupakan
proyek yang lebih penting daripada aktivutas waktu luang yang khas dan Gidens
sendiri mengingatkan bahwa gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh
konsumerisme, meskipun pasar terutama setelah menjadi tema idiologis dalam
politik neoliberal, sepertinya menawarkan kebebasan memilih dan dengan demikian
bermaksud mempromosikan individualism. Komodifikasi kedirian (selfhood) melalui genre-genre narasi
media (media narratives) begitu pula
stategi-strategi pemasaran, menekankan gaya pada biaya investasi makna
personal.
Dalam gaya hidup penampilan diri
itu justru mengalami estetitasi kehidupan sehari-hari dan bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami
estetitasi tubuh (tubuh/diri) dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah
proyek, benih penyemaian gaya hidup “Kamu berada maka kamu ada” atau “kamu
berbelanja maka kamu ada” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan
kegandrungan manusia modern akan gaya.
Ketika gaya menjadi
segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka perburuan penampilan dan
citra diri akan masuk pula ke permainan konsumsi. Bukankah, menurut ahli
sejarah, Johan Huizinga dalam karya klasiknya Homo Ludens dalam permainan gaya
itu sendiri sudah terkandung pengakuan tentang adanya unsur permainan tertentu.
Kalau dalam gaya itu sendiri sudah melekat unsur permainan, maka sudah bisa
dipastikan unsur-unsur yang memebentuk gaya hidup akan menjadi komoditi dan
ajang permainan konsumsi. Konsumsi pun menjadi sebuah tontonan. Apalagi produk
yang memanfaatkan kekuatan citra bisa menjadi perlambang bagi kolektivitas
social terutama dengan memakai asosiasinya denan gaya hidup.
Demikian pulalah yang dilakukan
oleh masyarakat dalam industi pariwisata dalam mengelar upacara ngaben yag sarat dengan penampilan gaya
hidup, walaupun sebenarnya ngaben adalah
upacara kematian yang penuh duka, tetapi upacara dibuat semarak dan penuh
kegembiraam karena jamuan tetap dilaksanakan setiap hari sebelum upacara pelebon dilaksanakan dan sebelum
uapacara pelebon dengan keberangkatan
jenazah ke kuburan dilaksanakan, maka jamuan terhadap undangan dan siapapun
yang datang tetap berlangsung, setelah semua itu terlaksana barulah jenazah
diberangkatkan ke kuburan sehingga keberangkatan itu terjadi pada siang hari.
Sarana
Upacara Ngaben
1.
Bade dan Wadah
Penekun
lontar sekaligus undagi bade asal Kesiman I Wayan Turun mengatakan bade dan
wadah merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade
atau wadah memiliki fungsi sama sebagai sarana pemberangkatan jenazah ke setra
dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara fisik, kedua sarana itu sebetulnya
memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika menggunakan tumpang (atapnya
bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak bertumpang disebut wadah.
Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan palih bade seperti bacem,
batur, taman, sari. ''Perbedaan istilah ini mesti dipahami oleh masyarakat,
terlebih bagi seorang undagi supaya tidak rancu,'' ujarnya seraya menegaskan
seorang undagi mesti tahu sedikit aksara Bali dan senang membaca tatwa-tatwa
atau prasasti karena di sana terdapat bermacam-macam aturan mengenai pembuatan
bade serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Dikatakan,
selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut
bade namun bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti
bangunan balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi
dengan pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir,
brapakat, dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan
manusia di Bali, menurut pegawai Museum Bali ini ada aturan khusus penggunaan
bade. Misalnya, keturunan mana saja yang boleh menggunakan bade bertumpang
solas (11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya.
Sesuai
'Warna'
Turun menegaskan, dalam
lontar-lontar disebutkan penggunaan tumpang-tumpang itu sudah diatur sesuai
dengan warna seseorang. Misalnya keturunan Dalem bisa menggunakan bade tumpang
sebelas (11) lengkap dengan naga banda dan kelengkapan upakaranya.
Dikatakannya,
dalam Babad Arya Kutawaringin disebutkan, para Arya bisa menggunakan bade
tumpang pitu (7) yang berhiaskan simbar dari kertas mas berwarna-warni,
magunung tajak, karang curing, hiasan boma, hiasan garuda marep mungkur --depan
belakang.
Dalam
prasasti Arya Gajahpara, Arya Getas boleh menggunakan bade Taman Agung, yakni
bade yang berisi hiasan bunga-bungaan dan kekarangan. Selanjutnya, keturunan
Arya Kloping bisa memakai bade tumpang pitu (7), mapadma patra, makakitir,
magaruda mungkur. Selain itu, keturunan Dauh Baleagung pun bisa memakai bade
tumpang pitu (7), sebab mereka juga keturunan Arya Kepakisan. Begitu pun
keturunan Abasan bisa memakai bade tumpang pitu (7), berhiaskan boma bersayap.
Namun, dari
sekian keturunan itu, keturunan Dalem Bangkalan (Bali Aga) yang lebih banyak
memiliki pilihan. Sebab, selain bisa memakai bade tumpang sanga (9), mereka
juga bisa menggunakan bade tumpang pitu (7) dan tumpang lima (5).
Sementara
soroh Pematolan Pande Bang, khusus menggunakan bade berwarna putih dan lembu
lembu warna putih pula. Namun, lembu yang digunakan tidak ada kepalanya.
Apa saja
kelengkapan bade? Menurut Turun ada sekitar 20 kelengkapan bade yakni ringring,
kakitir di tiap sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut
berisi hiasan gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda
mungkur, apit lawang, brekapat, masaka anda, palih bade -- bacem, batur, taman
sari, atapnya bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat,
tetamanan atau bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan.
Namun, dari sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring,
kakitir, kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan
magunung tajak.
Lontar
Dharma Laksana
Dikatakan, dalam pembuatan bade,
wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma Laksana.
Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi bade.
Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi harus
sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman, mestinya
seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan sampai karena
kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.
Ditambahkannuya, yang disebut
palih itu sebetulnya palinggih atau tempat suci. Dalam bade, lanjutnya, selain
palih taman ada istilah palih sari, palih batur dan gunug gopel. Jika empat
macam palih itu disatukan disebut palih macira atau petira (agung).
Bagaimana proses pembuatan bade?
Menurut Turun, berdasarkan konsep Gugu Laksana, pembuatan bade diawali dengan
pencarian papah, bagian dari daun pohon kelapa. Papah itu nantinya akan dipakai
untuk mengukur, baru kemudian membuat gegulak yang memiliki pengertian sederhana
''percayalah apa yang saya buat.''
Tahap selanjutnya undagi mengukur
jenazah yang terbagi menjadi tiga bagian -- kepala, badan dan kaki. ''Jika
sekarang mengukur jenazah bisa menggunakan meteran, tetapi beberapa undagi
masih banyak menggunakan cara lama seperti satu cengkang atau guli. Jika
seseorang menggunakan ukuran lama, itu sangat erat dengan keyakinan. Oleh
karena itu, pengukuran dengan cara tersebut harus disertai banten ituk-ituk
yakni canang tempelan, beras, jinah solas keteng (uang kepeng 11 buah), benang
dan banten pejati. Ituk-ituk itu memiliki makna sebagai pemberitahuan bahwa
seseorang undagi akan melaksanakan kerja.
Sanksi apa yang akan diperoleh
jika seorang undagi melanggar Dharma Laksana? Turun mengatakan, secara sekala
sanksi itu tidaklah mengkhawatirkan. Jika seorang undagi melanggar
paling-paling masyarakat bertanya siapa pembuatnya. ''Tetapi secara niskala
kita tidak tahu sanksi apa yang akan diterima, karena itu erat kaitannya dengan
yang di atas --Tuhan Yang Esa yakni Dewa Siwa yang diwakili Bhagawan
Wismakarma. Inilah yang kita takutkan,'' katanya. Dikatakan, jumlah pengusung
bade juga ada ketentuannya. Pengusung bade pada dasarnya empat orang (kelipatan
empat) yang melambangkan catur sanak -- empat saudara yang diajak seseorang
saat lahir. Jadi, menurut Turun bukan pada banyak jumlah pengusung, tetapi
harus kelipatan empat agar sesuai dengan lambang catur sanak.
Selain bade, tambah Turun, ada
sarana penting lagi dalam prosesi ngaben yakni pepagan. Pepagan berasal dari
kata baga yang berarti lamas. ''Bayi lahir kan dibungkus oleh lamas, mati pun
mesti dibungkus oleh lamas yakni pepaga itu sendiri. Kita harus selalu kembali
berprinsip yang sama. Lahir dan mati itu terkait erat,'' katanya.
Nagabandha
Nagabandha
merupakan salah satu cara untuk melakukan upacara pitra yadnya( ngaben ).
Nagabandha berbentuk seperti seekor naga yang panjang ekornya bias mencapai
3000 meter atau 3 kilometer. Di Bali upacara ngaben dengan menggunakan
nagabandha hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja atau orang berkasta
tinggi.
Selain itu
Nagabandha juga memiliki fungsi Untuk menghantarkan roh dari keluarga
raja.Nagabandha juga memiliki tujuan saat dibuat yaitu Untuk mempermudah /
memprcepat proses upacara pitra yadnya.
Petulangan
Fungsi
petulangan dalam upacara ngaben disebutkan sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci,
keramat, memiliki kekuatan dan dijadikanlambang-lambang tertentu. SepertiWahana
– Wahana paradewa Tri Murti dalam petulangan :
1.
Di
Bali kepercayaan terhadap binatang lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu
dipercaya sebagai wahananyaDewaSiwa.
2.
Dewa
Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang
singa.
3.
Sedangkan
Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang
tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan
manifestasinya masing-masing.
Menurut Drs.
Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau
dari segi filosofinya bahwa perwujudan petulangan dengan motif binatang,
mengandung arti sebagai petunjuk jalan kesorga bagi roh orang yang telah
meninggal dunia. Juga menurut lontar awig-awig desa adat di Denpasar milik
Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petulangan diatur
menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut:
a.
Bagi
wangsa sudra memakai petulangan bentuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk
gajah mina.
b.
Sang
Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan.
c.
Sang
Kesatria memakai petulangan bentuk singa.
d.
Brahmana
memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk
lembu putih.
Dengan demikian fungsi petulangan
adalah sebagai berikut :
1.
Dalam
pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara
spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh kealam roh (sorga atau neraka)
sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
2.
Menunjukkan
watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
3.
Menunjukkan
rasa bakti dan penghormatan terhadap paradewa, karena dengan meniru wahananya
sebagai sarana upacara. Maka seolah- olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang
Widhi.
4.
Sebagai
pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang diupacarai,
orang yang menyelenggarakan upacara,
Tujuan dari pembuatan petulangan
:
1. Mengembalikan
unsur panca maha buta
2. Untuk
mengembalikan roh atau atman yang ada dalam diri manusia
Bukur
Bukur biasanya
digunakan saat nyekah atau memukur dalam upacara pitra yadnya. Fungsi dari
bukur adalah Untuk mengembalikan roh atau atman yang ada dalam diri manusia Tujuan
dibuatnya bukur dalam upacara pitra yadnya Sebagai alat untuk menghantarkan roh
atau atman kealamnya.
PENUTUP
Simpulan
Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon,
yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya
menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan
cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang
paling cepat.
Tujuan dari upacara ngaben adalah
agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi
alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh
karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera
harus diaben.
Landasan filosofis ngaben bisa
diuraikan secara umum dan secara khusus. Landasan Landasan pokok ngabensecara
umum adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha
atau lima keyakinan itu adalah:Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan, Moksa.
Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena cinta yang mendalam terhadap
leluhur dan pembebasan dosa.
Upacara ngaben sebagai simbol
pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial
kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang
anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben
merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada
orang tua atau leluhurnya.
Saran
Masyarakat Hinduk hendaknya dapat
meningkatkan wawasannya tentang upacara ngaben. Hal ini dimaksudkan agar banyak
belajar dari sumber-sumber sastra sehingga setiap melaksanakan upacara agama
berdasarkan sastra suci Hindu.
Daftar Pustaka
Kaler, I Gusti Ketut. 1993.
Ngaben Mengapa Mayat Dibakar?.Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha
Girinata, Drs. IMade. M.Ag, Acara Agama Hindu I, Institud Hindu
Dharma Negeri, Denpasar, 2009.
Tim Penulis Dan Penyusun Buku
Agama Hindu, Panca Yadnya, Pemda
Tingkat I, Bali, 1996/1997.
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita
Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002.
Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana
sampai Utama. Surabaya: Paramita.
Tary Puspa, Ida Ayu. 2013. Bali Dalam Perubahan Ritual Komodifikasi
Ngaben di Era Globalisasi. Denpasar: Arti Foundation.
Pemerintah Propinsi Bali. 2006. Lontar Yama Tattwa, Yama Purana Tattwa, Yama
Purwa Tattwa, Yama Purwana Tattwa. Denpasar. UPD PUSDOK Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali
Tulisan ini sangat bermanfaat. Apabila ada literatur tentang tata cara pelaksanaan upacara nilapati dan mantra2nya, saya mohon bantuannya untuk dibagi. Suksma
BalasHapus