BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Umat
Hindu khususnya di Bali sangat erat sekali dengan yang namanya Upacara atau
kegiatan keagamaan lainnya. Dalam melaksanakan sebuah yadnya maka akan ada yang
disebut tri manggalaning yadnya
yaitu, yajamana karya atau orang yang
melakukan yadnya/ upacara, sang
pancagra/tukang banten, dan sang
sadhaka (sulinggih dan pemangku) yang akan muput upakara atau nganteb
banten upacara. Keberadaan Pemangku sangatlah penting dalam upacara yadnya.
Pemangku dalam melaksanakan swadharmanya
harus berlandaskan akan sastra yang menjadi acuan dalam menjalankan sasananya sebagai Pemangku. Dalam
menjalankan swadharmaning Jro Mangku,
seorang Pemangku harus mengetahui tatacara dalam hal beryadnya minimal upacara
piodalan di Pura yang diemongnya.
Sudah
menjadi suatu kewajiban untuk mengetahui landasan sastra daripada gagelaran Pemangku itu untuk diketahui
oleh semua Pemangku. Dalam hal ini salah satu sastra yang kami kaji adalah
Lontar Lingganing Kusumadewa. Di dalam lontar ini dijelaskan tentang gagelaran Pemangku ketika piodalan di
Pura, dan dilengkapi dengan puja saa
atau puja mantranya.
1.2
Rumusan masalah
1.
Apa
isi dari Lontar Kusumadewa ?
2.
Bagaimana
kawenangan Pemangku mempergunakan Genta ketika nganteb upacara?
3.
Nilai
apa saja yang terkandung dalam Lontar Kusumadewa?
4.
Apa
saja larangan-larangan bagi Pemangku dalam Lontar Kusumadewa?
5.
Apa
yang menjadi hakekat bagi Pemangku dalam Lontar Kusumadewa?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
melengkapi tugas mata kuliah Susila II.
2.
Untuk
mengetahui dan mengkaji lontar Lingganing Kusumadewa yang berkaitan dengan
gagelaran Pemangku.
3.
Untuk
mengetahui nilai yang terkandung dalam Lontar Kusumadewa.
4.
Untuk
mengetahui larangan –larangan bagi Pemangku yang terdapat dalam Lontar
Kusumadewa.
5.
Untuk
mengetahui hakekat Pemangku dalam Lontar Kusumadewa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sinopsis Lontar Dharmaning Kusumadewa dan Lingganing Kusumadewa
Lontar
Kusumadewa memaparkan tentang gagelaran Pemangku yang meliputi kegiatan
Pemangku dalam urutan penyelesaian upacara di Pura bersama dengan saa/mantra
yang mengiringinya.
Urutan-urutan
kegiatan itu adalah menyapu, membersihkan coblong, menggelar tikar, memetik
daun, memasang ceniga, membersihkan dan mengisi jun air. Menempatkan dupa di
halaman palinggih, mempersembahkan dupa, mempersembahkan prayascita pada semua
palinggih, menyelesaikan segala sesuatu perlengkapan penyucian. Menghaturkan
pakalahyang, setelah urutan-urutan itu selesai maka pemangku mohon perkenan
Bhatara Siwa sudi hadir secara seksama pada diri Pemangku itu.
Kemudian
dibayangkan Ida Bhatara sudah hadir pada paruman menyertai Bhatara Guru yaitu
Bhatara Siwa. Pemangku lalu anguncaraken
saa/mantra, pasucian, toya kumkuman dan perlengkapan penyucian yang lain.
Kemudian Pemangku melakukan penyucian Banten (ngelukat Banten) serta
menempatkan banten pada masing-masing palinggih.
Dari
palinggih Ida Bhatara dituntun turun ke Pangubengan, yaitu tempat berkumpul
bersama di jaba pura untuk selanjutnya masucian ke Beji (tempat permandian
suci). Di Beji akan berlangsung beberapa proses upacara seperti
mempersermbahkan pasucian, mohon tirta kekuluh, mohon Sang Hyang Ongkara Amerta
untuk bersthana (ngadeg) dalam tirtha. Menyusul panglukatan banten dengan
memercikkan tirta pada semua banten.
Para
Dewa (Ida Bhatara) diiring kembali ke Jaba Pura. Di sini Pemangku memohon agar
Bhatara Baruna berkenan ngaded dan nyejer di Kahyangan Agung karena akan
dipersembahkan Pujawali. Dengan saa yang diiringi dengan genta Pemangku mohon
kepada semua Dewa agar terhindar dari segala marabahaya dan bersih dari segala
noda. Setelah menghaturkan canang pamendak, maka Ida Bhatara dimohon untuk
bersthana di kahyangan masing-masing. Beliau masing-masing di jeroan pura. Pemangku mengucapkan saa mohon agar Ida
Bhatara mapaica waranugraha dan
terhindar dari segala penderitaan. Dalam saa pujian terdapat mantra Dewa-Dewa
dalam pangider-ider yang sesungguhnya adalah Guru Dewa atau Bhatara Siwa.
Kemudian
Pemangku mempersembahkan semua banten piodalan mulai dari Sanggar Agung, lanjut
ke Padmasana, semua Palinggih dan Panggungan. Dalam hal ini saa/mantra pemangku
yang mengiringi upacara mengandung permohonan supaya Ida Bhatara menganugrahkan
sarining amerta, sapta werdhi, panjang umur (dirgayusa), terhindar dari
berbagai penyakit serta mohon pengamunan dari segala kelalaian yang dilakukan
oleh damuh Ida Bhatara.
Bagian
terakhir dari rangkaian upacara ini adalah persembahan kepada Bhatari Durga,
Kala, Bhuta berupa bebangkit dan gelar sanga. Sebagai siddha siddhaning don
Pemangku mempersembahkan peras, dilanjutkan dengan masegeh agung, nglukar dan
terakhir matirta.
Di
dalam lontar ini juga dijelaskan mengenai larangan pemangku, kawenangan
pemangku serta hakikat Pemangku.
5.2 Kewenangan
Pemangku menggunakan Genta
Dalam hal menggunakan Genta pada
saat nganteb seperti yang tersurat dalam Lontar Lingganing Kusumadewa :
“Punika
ilen-ilen yang mangastiti Dewa yan mapiodalan, wenang maka gagelaran Ki
Pemangku Gede, sane sampun puput mawinten, nunas panugrahan ring Ida Pandhita
linuwih Guru Iswara, mangda tan sisip Ki Pemangku manguncarang puja lingganing
Kusumadewa. Ki Pemangku wenang abhusana sarwa petak mwang tatkala amuja yogya
ngagem Gantha, lamakane siddha amangguh swasti sira.”
Terjemahannya :
Itulah tatacara memuja para Dewa
pada waktu Piodalan, patutlah sebagai pegangan Ki Pemangku Gede, yang telah
diwinten, mohon anugrah sang Pandhita sebagai Guru Utama, supaya tidak kualat
Ki Pemangku memanjatkan Puja yang terdapat dalam pustaka Lingganing Kusumadewa.
Ki Pemangku patutnya memakai pakaian serba putih, serta pada waktu memuja
patutlah mempergunakan Genta, dengan harapan berhasil dan mendapatkan
keselamatan.
“Nihan
Pawekasing batara, ring pemangkun ida, yan rawuh patatoyan ida ring madia pada,
kena pamangkun ida angasrening betara, angagem bajra patatoyan, maka weruh
ikang mangku, kawit kertaning betara, yanora ngagem bajra, nora weruh ring
kepamangkuan, angora-ora, angiya-ngiya sira, angasa- asa, nora kayun ida turun,
apan sira tan meling ring kawit-kawitan kandaning pamangku”.
Dari penggalan lontar tersebut
diatas dapat dikatakan Genta dapat menghantarkan persembahan kepada yang
disembah. Sulinggih/Pemangku berperan sebagai penanda atau yang
memberikan tanda dalam bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh
manusia di alam bwah loka, bhuta kala di alam bhur loka
dan dewa-dewa di alam swah loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri
loka mengasosiasikan tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai
pertanda adanya upacara. Skema integrasi yang bersumber dari asosiatif Genta :
Apabila disimak, makna yang terkandung, bahwa dengan maksud mengundang para dewa, manusia menyuarakan kentongan
dewa, suara kentongan yang di dengar menimbulkan reaksi asosiatif dari para
dewa bahwa di dunia ada upacara ritual dan manusia bermaksud mengundang para
dewa. Geger atau hiruk pikuk, gemuruh merupakan wujud nyata dalam bentuk
perilaku yang timbul dari reaksi asosiatif karena mendengar suara genta.
Skema asosiatif Genta sebagai sebuah tanda
Suara atau bunyi merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, melalui suara atau bunyi-bunyian manusia bisa
berkomunikasi untuk menyampaikan segala sesuatu yang ada dalam pikiranya baik
itu berupa pendapat, permohonan, tujuan dan lain-lain. Begitu pula halnya dalam
kegiatan keagamaan sangat dibutuhkan adanya suara dan bunyi-bunyian disesuaikan
dengan tingkat dan jenis upacara yang dilakukan, dengan harapan yang dilandasi
suatu keyakinan bahwa suara dan bunyi-bunyian tersebut mampu menggantarkan dan
menyampaikan maksud, tujuan dan isi dari upacara dan upakara yang dimaksud.
Karena suara/bunyi berperan penting dalam upacara keagamaan sehingga dikenal
adanya istilah panca nada (dalam konteks yadnya), yaitu : (1) kulkul, sunari dan pindekan, (2) kidung atau nyanyian suci, (3) gambelan, (4) genta sulinggih atau pamangku,
(5) mantra/doa.
5.3
Nilai Etika dalam Lontar Lingganing Kusuma
Berbicara mengenai
etika dalam Lontar Lingganing Kusumadewa yang menyangkut gagelaran Pemangku
sangat erat kaitannya dengan kesucian daripada Pemangku itu sendiri. Pemangku
atau Pinandhita merupakan salah satu orang suci yang tergolong kedalam eka
jati. Eka jati secara etimologi berasal dari dua kata yaitu “eka” yang artinya satu, dan jati berasal
dari bahasa sanskerta yaitu “ja” yang
artinya lahir. Eka jati artinya lahir satu kali yang dalam konteks ini seorang
Pemangku itu hanya disucikan dengan upacara pawintenan.
Pemangku dalam menjalankan swadharmanya seorang Pemangku hendaknya memakai
pakaian serba putih. Ketika melakukan pujastawa
hendaknya menggunakan Genta, dengan demikian Pemangku akan kelihatan berwibawa
dan mataksu ketika nganteb upakara.
Dalam lontar ini
sangat jelas sekali diuraikan bagaimana etika seorang Pemangku ketika
menghaturkan sesajen dan berkomunikasi atau mengucapkan pujastawa. Melalui lontar ini Pemangku akan dapat
mengetahui bagaimana etika ketika nganteb
khususnya ketika piodalan di Pura.
2.4 Larangan
Pemangku
Dalam Lontar Kusuma Dewa
diuraikan sebagai berikut:
Iki
Larangan Ki Pemangku
Bratanya
:
”Tan
wenang mangan ulam : bawi, sampi.jen ada ngmatiang deweke upami : siap, bebek,
djag mati, ika pada tan wenang pangan.
Ten
wenanng njelepin longlongan, muah emper-emper, tan wenanng negen tenggala,
lampit, tambah, sorok, tjongkod, antuk njelang ring anak siosan, tan wenang
njumbah sawa.
Tan
wenang bobad ring djatma, tan wenang mangan paridan sawa, tan wenang kabale ne
misi sawa, muah tan wenang adjejuden.
Mangkana
parikramaning larangan pemangku jan sampun nganggen sangkulputih”.
Terjemahannya :
Demikian larangan pemangku yang termuat dalam lontar
Kusuma Dewa, adapun larangan-larangan antara lain sebagai berikut :
1.
Tidak
memakan makanan yang tidak diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi,
minuman beralkohol) maupun makanan yang merugikan kesehatan.
2.
Jika
bisa dalam rangka menyucikan diri alanngkah baiknya semua jenis daging tidak
dimakan.
3.
Dilarang
menyentuh benda-benda cemer.
4.
Dilarang
berjudi,
5.
Dilarang
kawin lagi. Namun apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan
kembali lagi melaksanakan upacara pewintenan bersama dengan istri baru.
6.
Dilarang
ngewintenang pemangku.
7.
Karena
pemangku tidak kena cuntaka, maka ia dilarang pergi kerumah /tempat kecuntakan.
Hal ini tergantung kepada Ida Bhatara yang mepica panugrahan. Ada yang
melarang, ada yang memberikan, hanya saja disertai dengan membuat banten
segehan dan melukat setelah datang datang dari tempat kecuntakan
·
‘Yan Hana pamangku widhi atampak tali, cuntaka dadi pamangku, wenang malih
maprayascita kadi nguni upakarania, wenang dadi pamangku widhi malih yan nora mangkana
phalania tan mahyunin bhatara mahyang ring kahyangan’.
Terjemahan:
“Bilamana seorang pemangku pura
pernah diikat/ diborgol dipandang tidak suci pemangku tersebut, wajib kembali
melaksanakan upacara penyucian seperti sedia kala, dibenarkan ditetapkan
kembali sebagai pemangku bila tidak demikian akibatnya tidak berkenan Tuhan
turun di pura”.
·
‘Yan hana mangku widhi sampun putus madiksa widhi mawinten, mapahayu agung,
ikanang antaka away pinendem, tan wenang ila-ila dahat, ikang bhumi kena
upadrawa ikang panenggeking bhumi’.
Terjemahan:
“Blia ada pamangku pura yang
telah melaksanakan pewintenan hingga tingkat mapahayu agung, tatkala
kematiannya jangan dikubur, bahaya akan mengancam, kena kutukan penguasa
pemerintah”.
·
‘Aja sira pati pikul-pikulan, aja sira kaungkulan ring warung banijakarma, aja
sira munggah ring soring tatarub camarayudha, saluwiring pajudian, mwang aja
sira parek saluwiring naya dusta’.
Terjemahan:
“Pemangku jangan sembarangan
memikul, jangan masuk ke warung tempat berjualan yang tidak diupacarai, jangan
duduk di arena sabung ayam, semua jenis perjudian, dan jangan dekat dengan niat
yang jahat”.
·
‘Yan pamangku mawaywahara, tan wenang kita anayub cor teka wenang adewa saksi’.
Terjemahan:
“Bilamana pemangku bersengketa,
berperkara tidak patut mengangkat sumpah dengan cor, yang patut dilakukan
adalah mohon pesaksi kehadapan Hyang Widhi”.
·
‘Samaliha tingkahing pamangku, tan kawasa keneng sebelan sira pamangku, yan
hana wwang namping babatang tan kawasa sira mangku marika, tur tan kawasa
amukti drewening wwang namping babatang’.
Terjemahan:
“Dan lagi perilaku menjadi
pemangku, tidak dibenarkan dinodai oleh cuntaka, bila ada orang yang punya
kematian (jenasah) tidak dibenarkan pemangku mengunjungi orang yang kedukaan
tersebut, apalagi menikmati makanan dan minuman di tempat tersebut”.
2.5 Hakikat Pemangku
Ling ning Kusuma Dewa:
‘Iki
uttamaning pemangku, yening mangku jagat, mangku dalem ngaranya, wenang masuci
purnama mwang tilem, nganggehang brata, tapa yoga, samadhi, satya ring
tingkahing kadharman, mangkana tingkahing mangku jagat’.
‘Yan
nora pageh ngalaksanayang kadharman, mangku sira mangku sorbet ngaran,
kawenangan sira lumaku ring sor, tan kawenangan sira ngangge pustaka, kawenangan
sira kabasa mangku, cantule sira nampi, dudu weruh ngaku weruh, tuhu sira
dusun, salah tampen’.
‘Iki
ngaran Kusuma Dewa panganggen nira sang mangku jagat, kawenangan pinaka nyuci
adnyana nirmala, ngaran nare pinaka raga, bahu pinaka sirah tripada, sirah siwambha
madaging tirtha, ring selaning lelata, Ongkara sumungsang pinaka candana, citta
nirmala pinaka bija, sucining awak pinaka dipa, nitra manis pinaka dupa, ujar
tuwi rahayu mangenakin pangrengenta, Agni ring Nabi, pinaka sekar tunjung,
kucuping tangan kalih pinaka gentha, tutuknya pinaka hyang ngaran, saika
tingkahing amuja, samangkana sang mangku jagat’.
‘Iki
kaweruhaken tingkahing dadi mangku, wenang sor wenang luhur, sira mangku, kaya
iki sira mangku kaweruhung aji, angganing sapta jati, sapta ngaran pitu, pitu
ngaran pitutur, pitu ngaran putus, tus ngaran tas, tas ngaran tatas, ring
daging raga sariranta’.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian kami diatas dapat disimpulakan bahwa seorang Pemangku atau Pinandhita
dalam melaksanakan tugas dan swadharmanya sebagai orang suci dalam hal melayani
umat dan memiliki kawenangan untuk nganteb
upacara yadnya harus mengetahui gagelarannya
sebagai Pemangku. Gagelaran Pemangku
seperti yang tersurat dalam Lontar Lingganing Kusumdewa itu meliputi tatacara
dalam menyelesaikan urutan kegiatan upacara piodalan
di Pura beserta puja saa atau puja mantra yang digunakan.
Dalam
lontar ini sangat jelas sekali mengenai gagelaran
Pemangku itu. Urutan atau eedan yang
lumbrah disebut dudonan karya dalam piodalan
sangat rinci dan sistematis dijelaskan, dengan demikian Pemangku dalam
menjalankan swadharmanya bisa dijalankan dengan baik. Selain itu ada sebuah gagelaran Pemangku mengenai kewenangan
untuk menggunakan Genta dalam melaksanakan upacara yadnya. Genta tersebut dapat
berfungsi sebagai alat atau sarana yang dapat menghantarkan persembahan kepada
yang disembah.
Selain
itu ada beberapa larangan Pemangku yang harus ditaatinya dalam melaksanakan
kewajibannya.
3.2
Saran
Dalam
hal melaksanakan upacara yadnya seorang Pemangku harus mengindahkan
kaidah-kaidah sastra yang tersurat dalam berbagai sastra seperti sastra lontar
yang ada di Bali. Seorang Pemangku harus memahami rangkaian upacara piodalan di
Puru khususnya Pura yang diemongnya.
Selain mampu menguasai urutan pelaksanaannya juga harus mampu menghaturkannya
atau nganteb dengan puja saa atau puja mantra yang digunakan.
Daftar Pustaka
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
2006. Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar
Kusumadewa. Denpasar: PUSDOK DISBUD Provinsi Bali.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Buleleng. 2003. Alih Aksara
Lontar Lingganing Kusumadewa. Singaraja: UPTD Gedong Kirtya Singaraja.
Zoetmulder. 2004. Bahasa Jawa Kuno. Surabaya: Paramita.
Om Swastyastu,
BalasHapusAmpure sedurungnyane, mohon izin bertanya, misalkan ada seorang pemangku dan statusnya sebagai entah itu duda, sudah beristri namun diizinkan kawin lagi oleh istri sebelumnya karena hal tertentu dan ingin kawin lagi, jika demikian, maka bagaimana jadinya??
Mohon pencerahannya
Suksma
Om Swastyastu,
HapusDalam Kusuma Dewa di bagian Tata Kramaning Dadi Pemangku Widhi dikatakan dengan gamblang, "Yan hana Pemangku Widhi puput upakara mawinten, mapahayu agung, madiksa Widhi yan ngalawat istri, cuntaka dadi Pemangku, urung dadi Pemangku.
Wekasan yan sira siddha mawana wasa setahun mantuk ring umahnia, irika malih ngamimitin sakadi upakara nguni.
Yan sampun puput maprayascitta, malih wenang dadi Pemangku Widhi."
Menikahi calon istri kedua adalah juga ngalawat istri. Jadi cuntakanya sama saja dengan ketika menikah pertama.
Mudah mudahan bisa menjawab pertanyaannya.
Ampura wantah ngutip kemanten.