WARIGA
Dosen Pengampu : Drs. I Ketut
Mardika, M.Si
Oleh :
I Nyoman Alit
14.1.1.1.1.115
PAH / B2 / VI Denpasar
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2017
Soal :
1) Buat resume cerita, Makna dan Filosofi cerita wuku/
Mitologi wuku!
2) Gambar tempat urip wewaran dalam bentuk
pengider-ider!
Mengapa wewaran itu memiliki tempat dan urip apa
dampaknya terhadap kehidupan manusia?
3) Klasifikasikan wuku-wuku yang bisa digunakan sebagai
pedewasaan!
Jawaban
1) Resume Mitologi Wuku berdasarkan teks Lontar Medang
Kemulan (Dinas Kebudayaan Bali halaman 5-14) dan teks Lontar Purwaning
Watugunung (Dokumentasi Budaya Bali halaman 2-11) dijelaskan mengenai mitologi
wuku yang menjadi dasar sistem pawukon.
Tersebutlah seorang Raja di Kundadwipa yang ernama
Dang Hyang Kulagiri, Raja ini mempunyai dua orang permaisuri. Setelah lama
bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua
istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Sang Raja menyampaikan bahwa
beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga
mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama
beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.
Setelah sekian lama
sang raja bertapa, sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi
Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja
belum datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke
gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa). Kedua istri sang raja berangkat dari
kraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng
Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai
tanda akan melahirkan. Duduklah Dewi
Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil
menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Dewi
Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa
badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan
berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah
Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka
bersedih. Kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang disebut
sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut
beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di
dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa,
danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari,
tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang
dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. dan karena bayinya lahir di atas batu,
Dewa Brahma anugrahi nama I Watugunung. Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang
Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian kembali Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut
Brahma Loka.
Setelah itu sang dewi
keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu
mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan
meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Heranlah
kedua permaisuri itu melihat putranya
demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam
sekali makan tanpa ada sisanya. Pada suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang
Watugunung mendekati ibunya seraya minta
nasi untuk dimakan. Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung
meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya saja mengambill makanan,
merampok terutama dalam hal makanan,
merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat
heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari
penduduk. Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena
penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu,
akhirnya masalahnya dilaporkan kepada
raja Giriswara. Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah
seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk
membunuh Watugunung.
Setelah mendengar
keputusan raja seluruh lapisan kekuatan
daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan bermacam-macam senjata,
serangan datang dari segala sudut yang
kesemuanya tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan
seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun
tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan mengobrak-abrik yang menyerangnya,
menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk
Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan
Watugunung. Sang Raja sangat marah
mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung. Raja Girisrawa dengan
hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk
menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja
Giriswara dengan Watugunung, yang
sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan itu. Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada akhirnya
Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh
sang Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang
Watugunung, mengenai kekalahan kerajaan Emalaya.
Sang Watugunung
melanjutkan serangan mengarah ke
kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa. karena serangan yang
dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah
pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan
Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat
itu. Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya
masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk
kepada Watugunung. Sang Watugunung
melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja
Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang
lainnya dengan mudah dapat ditundukkan.
Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah
27 kerajaan dan sampai semua Rajanya tunduk
kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat beserta
daerahnya menjadi jajahan sang
Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya
pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150
tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Setelah semua raja-raja itu tunduk, Watugunung
melanjutkan serangannya untuk menyerang Kerajaan Kundadwipa yang dipimpin oleh
dua orang raja yang sangat cantik yang bernama Dewi Sintakasih dan Dewi
Sanjiwartia. Sintakasih menyerah dalam 7 hari pertempuran dan Dewi Sanjiwartia
menyerah dalam 1 hari pertempuran. Akhirnya kerajaan Kundadwipa dapat
dikalahkan dan kedua raja perempuan itu dijadikan sebagai permaisuri.
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang
Watugunung menyuruh kedua permaisurinya
untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan
terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang
mengguntur di langit.
Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa
segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya
menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat
ini.
Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki
perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya
berkutu dengan kedua istrinya.
Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka
(Swah Loka). Melaporkan kejadian itu
kepada Dewa Siwa. Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan
menjatuhkan kutukan yang ditujukan
kepada sang Watugunung agar mati ditangan Dewa Wisnu.
Kedua Dewi menjadi amat sedih karena menikah dengan
anak sendiri. Dalam kesempatan itu Dewi Sintakasih menyatakan bahwa dirinya
sedang mengidam untuk menjadikan Dewi Sri (istri Dewa Wisnu) sebagai madu,
Watugunung pun menyanggupinya.
Sang Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana
sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai
pada lapis yang ketujuh. Watugunung masuk ke dalam tanah dan menemui Dewa
Wisnu. Disana ia menyampaikan maksudnya untuk memperistri Dewi Sri. Dewa Wisnu
amat murka dan terjadilah pertempuran dahsyat saling kejar mengejar, tusuk
menusuk, pukul memukul dengan garangnya.
Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang
melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu
kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api berkobar-kobar menyala.
Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau
berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat
dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya.
Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh
dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak
mati dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma),
yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Akhirnya kalahlah sang
Watugunung, tembus dadanya.
Makna dalam
cerita mitologi wuku adalah:
v Mengajarkan manusia untuk tidak berbuat seperti
Watugunung yang sifatnya tidak boleh ditiru karena sifat dari Prabu Watugunung
yaitu tidak bakti dengan orang tua (durhaka) terutama ibunya. Selain itu Prabu
Watugunung mengawini ibunya yang menyebabkan keletehan cuntaka bagi alam
semesta ini dan sudah tentu melanggar ajaran agama Hindu.
v Dalam cerita ini tersirat makna bahwa kita tidak boleh
menganggap diri sakti yang melebihi kemahakuasaan Tuhan (Mambek Acintya).
v Dalam cerita ini juga terkandung nilai Agama seperti
Sad Ripu terutama Kama (Nafsu), Lobha (rakus), dan Mada (Mabuk) karena kesaktian.
v Sapta Timira yaitu kasuran yang artinya mabuk karena
kelebihan yang dimiliki dalam hal ini kesaktian Watugunung yang tak tertandingi
mengakibatkan dirinya mabuk karena kesaktiannya itu.
Mengapa wewaran itu memiliki tempat
dan urip serta apa dampaknya terhadap kehidupan manusia:
Dalam
Lontar Bhagawan Garga lampiran 7-8
dijelaskan sebagai berikut :
Demikianlah
tentang wewaran semuanya lahir dari yoganya Sang Hyang Ketu, begitu juga para
Dewa ada karena Sang Hyang Ketu. Sedangkan Sang Hyang Rahu disusruh oleh beliau
Sang Hyang Licin untuk mengadakan ciptaan yang memenuhi Trimandala, lalu beliau
menjadi warga desa yang bertempat di arah Wayabya (Barat laut), tidak akan
menyaingi keluarga desa di wayabya, bersinar seperti matahari sebanyak sepuluh
ribu. Diperintahkannya semua para dewa dan wewaran untuk menyerang desa yang
ada di wayabya, lalu beliau Sang Hyang
Sangkara berdiri (ada) di wayabya. Itu di adu oleh para kala melawan
para dewa, Sang Hyang Rahu, Sang Hyang Ketu, sebagai pemimpin perang menyerbu
seluruh warga yang ada di wayabya. Sangatlah seru pertempuran itu saling tusuk
menusuk, panah memanah, semua mengeluarkan kesaktiannya, matilah kala semuanya,
kehidupan kembali oleh Sang Hyang Adikala yang telah berhasil yoganya.
Selanjutnya
setelah para kala hidup semuanya, lagi terjadi peperangan yang sangat dasyat,
sehingga akibatnya banyak diantara dewa, wewaran terbunuh menjadi korban
perang, tetapi akhirnya juga kembali dihidupkan. Oleh karena Kala dihidupkan
hanya sekali saja, itulah sebabnya Sang Hyang Kala mempunyai hurip 1 (satu).
Hyang Sangkara dibunuh oleh Kala Mretyu sekali, itulah sebabnya sehingga
mempunyai urip 1 (satu). Batara Siwa dibunuh oleh Kala Ekadasabumi delapan
kali, itu sebabnya Kliwon mempunyai urip 8 (delapan), Hyang Iswara dibunuh oleh
Kala Sanjala lima kali, oleh karenanya Umanis mempunyai urip 5 (lima). Hyang
Brahma terbunuh oleh Kala Wisesa sembilan kali, itulah sebabnya Pahing
mempunyai urip 9 (sembilan), Hyang Mahadewa dibunuh oleh Kala Agung tujuh kali,
karenanya Pon mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka
empat kali, oleh karena itu Wage mempunyai urip 4 (empat). Demikian pula
Saptawara, Hyang Aditya dibunuh oleh Kala Limut lima kali, karenanya Radite
mempunyai urip 5 (lima). Hyang Candra terbunuh oleh Kala Angruda empat kali,
karenanya Coma mempunyai urip 4 (empat). Sang Manggal dibunuh oleh Kala Enjer
tiga kali, oleh sebab itu Anggara mempunyai urip 3 (tiga).sang Buda terbunuh
oleh Kala Salongsongpati tujuh kali, karenanya Buda mempunyai urip 7 (tujuh).
Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat delapan kali, itulah sebabnya
Wraspati mempunyai urip 8 (delapan). Sang Hyang Kawia terbunuh oleh Kala Greha
enam kali, oleh karenanya Sukra mempunyai urip 6 (enam), Dewi Sori terbunuh
oleh Kala Telu sembilan kali, itulah sebabnya Saniscara mempunyai urip 9
(sembilan). Begitu pula Astawara, Hyang Giriputri dibunuh oleh Kala Luang enam
kali, karenanya mempunyai urip 6 (enam), Hyang Guru dibunuh oleh Kala
Durgastana delapan kali, oleh sebab itu Guru mempunyai urip 8 (delapan), Hyang
Yama dibunuh oleh Kalantaka sembilan kali, karenanya Yama mempunyai urip 9
(sembilan). Hyang Rudra terbunuh oleh Kala Pundutan tiga kali, sehingga Ludra
mempunyai urip 3 (tiga), Hyang Brahma dibunuh oleh Kala Agni tujuh kali,
sehingga Brahma mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Kala terbunuh oleh Hyang Guru
sekali, sehingga kala mempunyai urip 1 (satu). Hyang Mreta terbunuh oleh Kala
Padumarana empat kali, sehingga Uma mempunyai urip 4 (empat). Lain lagi halnya
Sangawara, Dangu terbunuh 5 kali. Jangur terbunuh 6 kali, Gigis terbunuh 8 kali, Nohan terbunh 1 kali (sekali). Ogan
terbunuh 8 kali, Erangan terbunuh 3 kali, Urungan 7 kali. Tulus terbunuh 9
kali, Dadi terbunuh 4 kali. Itulah semuanya menjadi uripnya masing-masing.
Mengenai Sadwara, Tungleh terbunuh 7 kali, Aryang terbunuh 6 kali, Urukung
terbunuh 5 kali, Paniron terbunuh 8 kali, Was terbunuh 9 kali, Maulu terbunuh 3
kali Begitu pula halnya Caturwara, Hyang Angga terbunuh 4 kali, sehingga Sri
mempunyai urip 4 (empat), Hyang Bayu terbunuh 5 kali, sehingga Laba mempunyai
urip 5 (lima). Hyang Purusa dibunuh 9 kali, sehingga Jaya mempunyai urip 9
(sembilan), Hyang Kencanawidi terbunuh 7 kali, sehingga mandala mempunyai urip
7 (tujuh)
Demikian
cerita kehidupan Wewaran berperang melawan Kala semuanya yang akhirnya dihidupkan kembali oleh Hyang taya,
itulah sebabnya semua wewaran mempunyai urip/neptu seperti telah tersebut di
atas. Dari sinilah kiranya Padma Anglayang yang juga disebut dengan
pengider-ngider, setiap arahnya mempunyai urip tertentu. Sehubungan dengan terciptanya alam semesta
yang keadaannya sudah stabil, sempurna
dan sejahtera artinya masing-masing dari
benda-benda alam (Brahmanda) telah berdiri sendiri-sendiri disebut dengan
Swastika sebagai lambang suci agama Hindu.
Terutama
para Dewata Nawa Sangga inilah diperintahkan oleh Sang Hyang Widhi untuk
menjaga semua penjuru mata angin dunia supaya stabil dengan memiliki urip
masing-masing seperti yang telah diuraikan dalam Lontar Bhagawan garga seperti di bawah ini:
Sang
Hyang Iswara melawan para Kala, beliau terbunuh oleh Kala Sanjaya 5 kali,
tetapi dihidupkan 5 kali oleh Sang Hyang taya. Sang Iswara diperintahkan oleh
Sang Hyang Widhi mengatur memimpin alam bagian Timur. Itulah sebabnya dalam
pangider-ngider arah Timur mempunyai 5 (lima).
Sang
Hyang Maheswara atau Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat 8 kali,
dihidupkan oleh Sang Hyang Taya 8 kali, sehingga Sang Hyang Maheswara yang
memimpin arah Tenggara mempunyai urip 8 (delapan)
Sang Hyang Brahma terbunuh 9 kali oleh Kala
Wiwesa, kemudian dihidupkan 9 kali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Hyang Brahma
yang diperintahkan memimpin arah Selatan mempunyai urip 9 (sembilan).
Sang
Hyang Rudra dibunuh 3 kali oleh Kala Pundutan dan dihidupkan juga 3 kali oleh
Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Rudra memperoleh tugas dibagian Barat daya
mempunyai urip 3 (tiga).
Sang
Hyang Mahadewa dibunuh 7 kali oleh Kala Agung, tetapi dihidupkan kembali oleh
Sang Hyang Taya 7 kali, sehingga Sang Hyang Mahadewa yang ditugaskan memimpin
arah Barat mempunyai urip 7 (tujuh).
Sang
Hyang Sangkara terbunuh oleh Kala Mretiu sekali, kemudian dihidupkan juga
sekali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Sangkara yang ditugaskan
memimpin arah Barat Laut mempunyai urip 1 (satu).
Sang
Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka 4 kali, juga dihidupkan kembali oleh
Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Wisnu yang ditugaskan menagtur atau
memimpin arah Utara mempunyai urip 4 (empat).
Sang
Hyang Sambhu atau Sang Hyang Kawia dibunuh oleh Kala Greha 6 kali kemudian
dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 6 kali, sehingga Sang Hyang Sambhu yang
ditugaskan memimpin arah Timur Laut mempunyai urip 6 (enam).
Sang
Hyang Siwa terbunuh 8 kali oleh Kala Eka Dasabumi, dihidupkan kembali oleh Sang
Hyang Taya 8 kali juga, sehingga Sang Hyang Siwayang ditugaskan di bagian
Tengah sebagai proses mempunyai urip 8 (delapan).
Dari
uarain diatas maka timbullah Padma Anglayangatau pangider-ngider yang
menunjukkan setiap arah itu memiliki urip/neptu tertentu dan akhirnya menjadi patokan yang nantinya
diikuti oleh Wewaran maupun Wuku.
Dampaknya dalam kehidupan manusia yaitu:
Dapat Menentukan
Sifat dan karakteristik dari manusia yang lahir pada wewaran tetentu dan
menentukan baik buruknya pedewasan
3. Klasifikasi wuku-wuku yang bisa digunakan padewasaan
baik.
Dalam Lontar Wariga Diwasa dijelaskan
mengenai ketetapan ala/ayuning wuku.
Wuku yang dapat digunakan sebagai Padewasan berdasarkan Teks Wariga Diwasa
adalah sebagai berikut :
1.
Sinta
2.
Ukir
3.
Tolu
4.
Gumbreg
5.
Warigadean
6.
Julungwangi
7.
Kuningan
8.
Langkir
9.
Merakih
10.
Matal
11.
Dukut
suksma infonya jro mangku, smoga kedepan lebih banyak info yg bisa dibagi
BalasHapus